x

Interaksi Sosial selalu mensyaratkan adanya kontak dan komunikasi, namun selain kontak dan komunikasi dalam interaksi sosial juga diperlukan adanya sentuhan emosional agar interaksi sosial tidak kering serta mampu menjaga hakikat manusia sebagai makhluk sosial

Iklan

Guntur Prabowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 November 2021

Kamis, 2 Desember 2021 15:30 WIB

Masih Adakah Peran Guru Di Dunia Pendidikan 5.0?

Melihat kembali peran guru di era keterbukaan informasi dan kemudahan akses ilmu pengetahuan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dimulainya Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT) seolah memberi angin segar pada dunia pendidikan yang selama dua tahun pandemi COVID-19 terasa cukup hambar. Percepatan digitalisasi pada dunia pendidikan selama pembelajaran daring dianggap juga menimbulkan problematika baru. Guru yang merasa kehilangan atensi siswa-siswi, pemberian materi yang dianggap tidak utuh, bahkan ada pula yang sekedar memberikan tugas guna mengisi jam pelajaran.

Melihat dari sisi kesiapan sekolah baik secara sarana dan prasarana maupun kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam penguasan pembelajaran digital, rasa-rasanya juga masih banyak sekolah menganggap bahwa pembelajaran luring atau tatap muka adalah lebih baik ketimbangan pembelajaran daring. Dinamika ini terus berkembang selama dua tahun terakhir sebagai akibat perubahan yang dianggap terlalu cepat. Dalam teori sosial perubahan sosial yang terjadi begitu cepat pasti akan menimbulkan gejolak didalamnya.

Hal ini utamanya terjadi pada guru yang masih menganggap dirinya adalah center of knowledge. Tak banyak guru menyadari revolusi pendidikan yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan tag line “Merdeka Belajar” sesunggungnya untuk merubah orientasi bahwa hari ini guru bukan lagi center of knowledge. Bahkan dalam sistem assessment nya sekolah diberi ruang lebih luas dengan diperbolehkannya assessment dalam bentuk project maupun portofolio.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kemampuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri untuk mengkampanyekan istilah “Merdeka Belajar” sejauh ini masih sebatas narasi yang maknanya belum sepenuhnya dimengerti, apalagi dengan keterbatasan pandemi COVID-19. Lagi-lagi pandemi COVID-19 seolah menjadi satu-satunya kambing hitam dalam revolusi pendidikan. Momentum percepatan digitilasisi pendidikan ini seolah tidak ditangkap oleh banyak pihak pemangku kepentingan di dunia pendidikan utamanya guru.

Kemudahan tranfer informasi yang bergerak begitu cepat di masa Pandemi dua tahun terakhir nyatanya tidak mampu mewujudkan “Merdeka Belajar” yang sesungguhnya. Guru masih terpaku pada materi yang belum dijelaskan secara verbal, siswa-siswi yang menganggap pembelajaran daring sekedar melengkapi tugas, belum lagi orientasi sekolah yang menganggap pembelajaran daring ini hanya bersifat sementara maka dilakukan sealakadarnya. Tanpa kita sadari bahwa sudah lebih dari dua angkatan siswa-siswi mengalami pembelajaran yang stagnan akibat pandangan-pandangan tersebut. Pembelajaran hanya terfokus pada bidang akademik, life skill dan pendidikan sikap sosial seolah terlupakan atau hanya terpenuhi bagaian administatifnya saja.

Dalam hal ini guru seharusnya mampu mengambil peranan penting. Membangun kesadaran siswa-siswi bahwa knowledge dapat mereka peroleh dimanapun selain pada materi-materi verbal yang diajarkan guru. Pembelajaran daring yang sudah berjalan selama ini seharusnya tidak terpaku pada pemberian tugas sebagai syarat administrasi kenaikan kelas, namun pembelajaran harus bisa bersifat kontekstual dan tertuju pada penyelesaian masalah dengan menggunakan materi yang sudah diajarkan. Peran guru digeser dari yang awalnya center of knowledge menjadi fasilitator baik melalui pemberian materi maupun menilai konsep siswa dalam penyelesaian masalah.

Tersedianya sumber belajar melalui berbagai akses seharusnya dapat menjadi media kolaboratif antara guru dan siswa. Sebelumnya guru dan siswa hanya mampu mempelajari sebuah skema/simulasi dalam penyelesaian masalah terkait dengan materi pembelajaran karena keterbatasan waktu tatap muka antara guru dan siswa, maka dengan pembelajaran daring dan didukung berbagai sumber informasi seharusnya guru dan siswa mampu mencoba berbagai simulasi penyelesaian masalah dalam satu waktu yang bersamaan. Sehingga guru dapat menjadi tempat verifikasi dari berbagai simulasi yang diterapkan.

Melihat dari perspektif akademik peran guru bergeser, namun menjadi pertanyaan apakah peran guru masih diperlukan pada hal-hal diluar akademik? Apakah peranan guru sebagai pendidik dapat digantikan oleh internet dan platform pembelajaran digital? Atau dengan peran guru yang bergeser menjadi fasilitator sudah mampu menjawab kebutuhan output pendidikan sesuai kebutuhan revolusi industri 5.0?

Secara tidak sadar siswa-siswi mulai kehilangan kepekaan sosialnya selama pembelajaran daring akibat jarangnya interaksi sosial dan momen-moment emosional. Terutama bagi mereka pada jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan menengah, yang mana mereka memerlukan moment-moment emosional dalam berinteraksi sosial. Kembali peran guru diuji disini.

Pada awal pembelajaran tatap muka terbatas yang mana merupakan bulan pertama diadakan pembelajaran tatap muka di tempat saya, siswa-siswi terlihat canggung ketika berinteraksi dengan teman sekelasnya. Padahal pembelajaran sudah berjalan selama satu bulan. Bahkan ketika diberi kesempatan untuk saling berinteraksi dengan membiarkan ruang kelas kosong tanpa guru mereka lebih memilih berinteraksi dengan gadget. Secara fisik mereka berada dalam sebuah ruang kelas yang sama, memiliki kesempatan untuk saling berinteraksi dan merasakan moment emosionalnya. Fenomena ini tentu menjadi pertanyaan bagi kita bersama, bagaimana cara mengembalikan kepekaan sosial siswa-siswi kita? Hal ini menjadi tugas guru untuk mampu mengembalikan kemampuan interaksi sosial siswa yang selama dua tahun terakhir tidak terasah.

Maka dari itu peranan guru sebegai center of knowledge memang bergeser, namun perananya sebagai center of wisdom di kelas tidak akan mampu tergantikan oleh platform-paltform pembelajaran digital. Adanya kesempatan tatap muka saat ini seharusnya benar-benar dimanfaatkan oleh guru untuk menanamkan bahwa jangan sampai siswa-siswi ter-elienasi dengan adanya gedget sehingga mengabaikan lingkungan sosialnya. Mengembalikan atensi siswa-siswi kembali hidup dalam ruang kelas yang bukan hanya hadir dalam kelas maya mereka. Karena bagaimanapun kebijaksanaan sebagai manusia hanya bisa diajarkan oleh sesama manusia.

Ikuti tulisan menarik Guntur Prabowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu