x

Sumber:www.unsplash.com

Iklan

Wahyu Kris

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 November 2021

Kamis, 2 Desember 2021 17:14 WIB

Habis Pendemi Terbitlah Resilensi

Pandemi menjadi uji resiliensi bagi dunia pendidikan. Kecakapan adaptif mengakrabi tantangan dan kreativitas meracik solusi adalah kunci untuk bangkit dari keterpurukan. Untuk menjadi pemenang, resiliensi adalah kunci!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

HABIS PANDEMI TERBITLAH RESILIENSI

Wahyu Kris

Pandemi menjadi uji resiliensi bagi dunia pendidikan. Kecakapan adaptif mengakrabi tantangan dan kreativitas meracik solusi adalah kunci untuk bangkit dari keterpurukan. Untuk menjadi pemenang, resiliensi adalah kunci!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada banyak definisi tentang resiliensi, tapi semua mengerucut pada kemampuan untuk bangkit kembali. Pepatah klasik Afrika menyebutnya "Nana korobi ya oki" atau jatuh tujuh kali bangkit delapan kali. Bola yang jatuh pasti akan memantul ke atas lebih tinggi. 

Resiliensi dilandasi oleh kesadaran bahwa persoalan adalah bagian dari kehidupan. Hidup tanpa persoalan tak layak disebut hidup karena tak ada lagi yang diperjuangkan. Hanya dengan berjuanglah kita bisa mengukur ketangguhan diri.  Keberanian menghadapi persoalan adalah kemewahan yang dititipkan semesta lewat pandemi agar kita memiliki resiliensi. 

Saya adalah pendidik di Sekolah  Pamerdi di perbatasan Kabupaten Malang. Sebagian besar murid berasal dari keluarga dengan tingkat pendidikan dan ekonomi menengah ke bawah. Ketika pandemi menyeruak, sekolah terguncang. Pembelajaran mesti dilaksanakan secara daring.

Para pendidik yang baru berkenalan dengan digitalisasi pembelajaran tergagap-gagap menyiapkan pembelajaran daring. Para murid yang seumur hidup belajar di ruang kelas bersama teman juga tergagap-gagap ketika harus belajar menatap layar. Orang tua lebih tergagap-gagap karena memikul beban di kedua pundaknya. Pundak kiri berjuang mempertahankan pekerjaan. Pundak kanan bergelut melengkapi  gawai dan kuota data.

Ada satu lagi yang tak boleh diabaikan yaitu ketahanan psikologis. Bagaimanapun juga, ketahanan psikologis anak-anak terpengaruh gelombang pandemi berkepanjangan. Di sisi lain, Kemendikbud Ristek mendorong sekolah menerapkan penguatan karakter berbasis Profil Pelajar Pancasila. Enam karakter utama yang mesti dijadikan kebiasaan dan budaya sekolah adalah Beriman-bertakwa kepada Tuhan YME-berakhklak mulia, Bernalar kritis, Gotong-royong, Kreatif, Mandiri, dan Berkebinekaan global.

Sebagai pendidik, saya berupaya keras membangun resiliensi dan menanamkan Profil Pelajar Pancasila dengan sekali dayung.  Hal yang tampak mustahil itu justru terwujud ketika ada warga sekolah yang bergulat dengan Covid-19.  Mereka adalah keluarga kakak-beradik Timothy dan Naomy.

Timo duduk di SMP kelas 9, sedangkan Omy di SD kelas 2. Mama Timo-Omy mengabarkan bahwa sang Ayah yang seorang tenaga kesehatan terpapar Covid-19.  Ayah harus dirawat di rumah sakit dan keluarga isolasi mandiri di rumah. Selang beberapa hari, Ayah dipindahkan ke rumah sakit yang lebih lengkap di Mojokerto. Timo pun terpapar positif Covid-19 dan harus dirawat di rumah sakit di Malang. Sementara Omy dan Mama isolasi mandiri di rumah. Beberapa hari kemudian, sang Ayah meninggal!

Bagaimana sekolah menyikapi persoalan tersebut? Berdiam diri barangkali menjadi jalan mudah karena kita tak perlu bingung mencari solusi. Namun, diam adalah tanda menyerah pada keadaan. Apabila kita memilih kalah, dengan cara bagaimanakah kita mempertanggungjawabkan hakikat kemanusiaan kita sebagai pemenang? 

Setiap kesempatan mesti dicoba kendati situasi pandemi tak memberikan banyak pilihan. Belajar dari setitik air yang sanggup membelah sebongkah batu, sebiji semangat bisa menjadi kekuatan dahsyat jika dikerjakan bersama secara terus-menerus. Itu sebabnya, saling menautkan hati adalah cara terbaik membangun resiliensi.

Untuk menguatkan Timo dan Omy, saya mengajak murid kelas 9 membuat proyek Resiliensi berbasis Profil Pelajar Pancasila . Murid membuat kalimat motivasi di kertas lalu ber-swafoto. Seluruh karya dikompilasi menjadi video pendek lalu dikirimkan ke Timo dan Omy.

Proyek Resiliensi Pancasila itu sederhana, tapi bermakna. Murid menunjukkan iman-takwa lewat kepekaan mulia terhadap persoalan yang dihadapi teman. Murid mempraktekkan gotong royong ketika berkolaborasi mengompilasi video. Murid menunjukkan kreativitas ketika menulis kalimat motivasi dengan sentuhan artistik. Murid bernalar kritis ketika tetap menolong meski kondisi sedang terbatas. Murid mengasah kemandirian ketika berani mencari solusi mengatasi situasi. 

Kelurga Timo-Omy dikuatkan. Teman sekelas dikuatkan. Guru dikuatkan. Sekolah dikuatkan.  Begitulah sekolah bertransformasi menjadi institusi pendidikan sekaligus ekosistem resiliensi. 

Ikuti tulisan menarik Wahyu Kris lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler