x

Iklan

moh fatoni

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 27 November 2021

Kamis, 2 Desember 2021 17:17 WIB

Memerdekakan Pembelajaran (Curhat seorang guru dengan anak bangsa)

Pembelajaran di sekolah harus menghasilkan produk siswa yg berkompetensi positif sesuai dengan keberadaan siswa yg unik. Kemajemukan siswa yg beraneka macam tingkat dan jenis kecerdasan dan gaya belajarnya harus dikelola secara baik dan demokratis oleh sosok guru yg demokratis pula. Dalam kegiatan belajar, ruang dan waktu belajar baik di kelas dan diluar kelas adalah milik siswa, bukan milik guru. Oleh karena itu siswa harus mampu menggunakan ruang dan waktu tersebut dengan efektif dalam rangka menggali potensi dan kecerdasannya dari waktu ke waktu selama siswa belajar. Demikian pula dalam hal penilaian, bahwa nilai bukanlah angka-angka, tetapi nilai adalah semua kegiatan baik, yang dilakukan oleh siswa selama melaksanakan kegiatan pembelajaran. Akumulasi dari aktifitas baik yang dilakukan siswa selama waktu pemebelajaran, dari situlah baru bisa diubah menjadi angka/nilai raport. Diakhir pembahasan judul ini peneulis memberi saran: tinggalkan tradisi pembelajaran konvensional yang tidak mendidik dan kita lakukan penilaian proses yaitu penilaian yg dilakukan setiap tatap muka pembelajaran. bukan penilaian ulangan/penilain harian, mid semester dan semester. penilaian yg dilakukan setiap tatap muka pembelajaran

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berpikir dan  menunjukkan kebenaran pendidikan di Indonesia terasakan sulit sekali. Terbatasi dengan tembok birokrasi, formalitas,tradisi, kepentingan oknum, dan hal lainnya. Kesulitan itu bukan karena manusia Indonesia yang tidak cerdas, tidak terampil dan tidak sopan, tetapi kesulitan lebih disebabkan karena warisan kolonial yang telah mendarah-daging pada kebanyakan manusia Indonesia di sebagian besar lingkungan pendidikan.., karena egoisme.

 Berat rasanya menapaki jalan untuk mengantarkan masa depan para siswa, perlu dihadirkan guru yang berani menyeberangi jalan sering penuh darah dan nanah agar sampai pada cita-cita luhur pendiri negara ini. Sadar akan kondisi kualitas pendidikan di Indonesia yang sangat tertinggal dengan nega lain (tertinggal) , sangat diharapkan pemikiran yang inovatif agar eksistensi negara tetap jaya di mata dunia.

            Menurut UU No.20 tahun 2003 Pasal 3, tujuan pendidikan nasional berbunyi: "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab"

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

DASAR PEMIKIRAN

Berpijak dan memahami tujuan pendidikan  nasional diatas kiranya sangat jelas untuk disikapi dan ditindak oleh insan pendidikan (guru). Kesulitan terjadi ketika atasan, guru, dan siswa hanya fokus dan terlalu mendewakan administrasi dan angka-angka dalam proses kegiatan dan pembelajaran. Disisi lain (terutama guru) banyak yang belum memahami keberadaan siswanya yang majemuk dalam bergagai: hal kejiwaan, fisik,  gaya belajar (diferensiasi), tingkat kecerdasan, kecerdasan dan berbagai aspek lain yang melekat dalam misi pembelajaran.

Howard Gardner (tokoh pendidikan)  menjelaskan bahwa setiap manusia pasti mempunyai satu atau lebih dari delapan jenis kecerdasan, yakni kecerdasan: linguistik-verbal, logika-matematika, spatial-visual, ritmik-musik, interpersonal, intrapersonal, kinestik dan naturalis. Dari teori multiple intelegences oleh Howard tersebut diyakini akan melahirkan banyak karakter manusia dengan segala keunikannya. 

Access  Center  (2005) : Diferensiasi Instruction adalah sebuah proses  untuk  meningkatkan  belajar siswa  dengan  cara  menyesuaikan karakteristik  siswa dengan pembelajaran dan penilaian, yang tidak hanya  menggunakan  satu  strategi melainkan  menggabungkan  beberapa strategi

 

Mendidik bukanlah angka yang menjadi simbol kecerdasan. Angka bukanlah representasi dari kesuksesan masa depan siswa. Fakta negatif yang ada disekolah adalah adanya siswa: malas, bodoh, indisiplin, penakut, tidak percaya diri, tidak jujur, tidak bertanggung-jawab, asosial, tidak punya cita-cita, dll. Fakta inilah yang harusnya menjadi tanggungjawab pendidikan (guru) dalam mendidik agar hilang dari diri semua siswa.

Diruang pendidikan angka bukanlah nilai seperti yang kebanyakan orang mengatakan, karena nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah, yang memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya (Laboratorium Pancasila IKIP Malang). Senada dengan Robert M.Z.Lawang, nilai adalah pemikiran yang dimiliki setiap orang, namun mampu merubah perilaku sosial dari nilai tersebut. Dari nilai itulah, kehidupan seseorang bisa dilihat, apakah berkarakter baik di lingkungan atau sebaliknya.

Jangan salah memaknai angka dan jangan mendidik siswa dengan cambuk angka. Disadari atau tidak selama ini angka dirapot dan ijazah telah melahirkan banyak pembohong dan perusak tatanan sosial dalam berbangsa dan bernegara. Hal tersebut terjadi karena insan pendidikan (guru) salah dalam mengartikan nilai yang ditulis dengan angka di lembaran-lembaran negara.

Kesalahan guru ketika membuat angka di raport dan/atau ijazah adalah dikarenakan kesalahan proses pemaknaan arti nilai dan egoisme kebijakan sistem pendidikan yang memaksa guru untuk memanipulasi angka-angka dari hasil kebohongan siswa, cara berfikir siswa yang dipaksa sempit dalam berfikir dan keberhasilan siswa dalam membohongi guru.

Keberhasilan pendidikan bukanlah capaian angka-angka di raport dan ijazah, tetapi keberhasilan pendidikan ditentukan oleh tingkatan nilai-nilai yang tertanam pada siswa yang akhirnya terinternalisasi kedalam pribadi siswa yang disebut sebagai karakter. Nilai-nilai tersebut tidak diperoleh dari hasil ulangan melainkan dari proses panjang selama siswa menjadi pelajar. Aktifitas guru dan siswa setiap tatap muka dari setiap mata pelajaranlah yang akan menghasilkan nilai, sekali lagi bukan dari ulangan harian atau ulangan-ulangan lainnya.

Keberanian, semangat, percaya diri, kerjasama, toleransi, berdoa, keyakinan, berusaha, kejujuran yang dilakukan selama proses pembelajaran bahkan diluar sekolah itulah nilai-nilai yanga harus dikembangkan dan merupakan unsur-unsur kecerdasan yang nantinya menghasilkan kesuksesan pendidikan yang secara hakiki sesuai amanat undang-undang.

Ironisme pergantian istilah ulangan menjadi penilaian sampai hari ini masih sama pemahamannya oleh guru bahkan kepala sekolah. Artinya hasil akhir penilaian disetiap topik pelajaran (penilaian harian), pertengahan semester dan diakhir semester masih menjadi tradisi pembuatan angka raport, bukan perilaku siswa secara utuh yang selalu diinventarisir secara sistematis dan berkelanjutan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia definisikan lembaga atau bangunan yang dipakai untuk aktivitas belajar dan mengajar sesuai dengan jenjang pendidikannya “SD, SLTP, SLTA. Sekolah adalah lembaga formal dan sebagai tempat untuk memproses siswa didik agar terjadi perubahan yang lebih baik serta merupakan lahan untuk memproses insan cendekia agar nantinya berharga  dan bernilai tinggi dalam kehidupan, saling melengkapi untuk menghias keindahan kehidupan masyarakat dan bernegara.

Kapasitas dan profesionalan guru adalah faktor utama yang paling menentukan keberhasilan pendidikan. Dalam KBM guru harus memaksimalkan kegiatan mendidik bukan hanya mengajar dan mengukur kehebatan siswanya dengan ulangan-ulangan saja. Mendidik mempunyai pesan lebih mulia yakni usaha mengantarkan siswa kearah kedewasaan agar siswa bisa memanusiakan manusia; yakni dirinya, orang lain, masyarakat, bangsa dan negaranya. Sedangkan mengajar cenderung hanya tranfer of knowledge yang belum tentu bisa direspon dan dikuasai siswa.

 

MISTERI SEKOLAH DAN ANGKA di-RAPORT

            Orientasi siswa dalam ber-KBM umumnya ingin mendapatkan angka tinggi di raportnya, sementara guru sering terjebak dengan target waktu dan materi pelajaran yang akhirnya terseret pula dengan metode pembelajaran konvensinal yang tradisional , yakni sekedar ceramah, pamer kemampuan materi dan tranfer of knowledge yang tidak pasti sampai kepada siswa. Guru pamer kehebatan sementara siswa diam seribu bahasa alias pasif mengungkapkan dan mengekspresikan ide-ide, gagasa-gagasan, ketrampilan berbicara, berbeda pandangan, praktik  serta potensi lainnya dalam kegiatan belajar. 

Sisi lain di sekolah adalah tradisi dalam mengolah angka raport yang selalu diakhir semester dengan menjumlah dan merata-rata angka-angka dari penilaian harian (masih akrab diterjemahkan ulangan), mid semester dan semester. Dari hasil pengolahan angka-angka tersebut kalau mau jujur hasilnya banyak yang tidak mencapai angka yang diharapkan. Sementara target KKM umumnya tinggi; 70, 75 bahkan 80, sehinggga tidak akan mungkin guru memberi angka diraport seorang siswa dibawah angka dibawah KKM. Ironis tetapi suatu keharusan sistem. Dengan kondisi demikian sudah menjadi tradisi para guru yakni dengan mengotak-atik angka akhirnya menjadi laporan kenegaraan dan dalihnya adalah prestasi belajar siswa. Menyulap angka rendah menjadi angka yang fantastis setinggi harapan angka KKM, bahkan lebih tinggi adalah hal biasa. Dapat dibayangkan efek dibelakang masa depan siswa bila gurunya pembohong, orang tuapun bangga dengan pembohongan guru.

            Menyadari arti penting penilaian, harusnya penilaian dilaksanakan setiap ber-KBM, penilaian berproses, berkesinambungan dan bermakna bagi siswa, guru maupun orang tua siswa mulai dari awal hingga akhir semester. Kemajuan nilai siswa dapat dipantau dari hari ke hari, melalui usaha-usaha riil yang dilakukan semua siswa melalui aktifitas bertanya, menjawab, berargumentasi, presentasi dengan kemampuan berpikir, berbahasa, sikap, mental dengan karakter dan gaya masing-masing siswa. Pada kesempatan inilah guru menyadari adanya deferensiasi yang dimiliki para siswa.

Seberapa banyak frekuensi siswa berusaha, sejauh mana keingin tahuan siswa, berekspresi, bereksplorasi, mengeksploitasi diri untuk bisa memahami, mengaplikasi, bersikap dan berbuat dari topik yang dibahas. Dari situlah nilai yang didapat oleh siswa, diketahui oleh guru, melihat perkembangan dan kemajuan kompetensi diri siswa. Dari proses ber-KBM seperti itulah diakhir semester guru dapat memberikan angka kepada para siswanya dengan prestasi sedang, cukup, tinggi atau sangat tinggi. Bukan memanipulasi angka tetapi mengubah frekuensi kegiatan baik siswa (kwalitatif) menjadi angka (kwantitatif). Siswa tidak bisa berbohong, guru tidak terbohongi oleh siswa, guru melihat kehebatan masing-masing siswa dan orang tua tidak terbohongi oleh guru dan anaknya, bahkan jenjang pendidikan yang lebih tinggipun tidak terbohongi oleh siswa, guru dan sekolah.

Menyadari hakekat nilai, tentunya penilaian penilaian dalam pendidikan tidak bisa sembarangan dan tidak bisa sertamerta. Penilaian dalam pendidikan haruslah kontinyu dan berkesinambungan atau berproses selama kurun waktu semester dan dengan selalu menjalankan demokratisasi pendidikan kepada semua siswa.

 

MERDEKA BELAJAR

            (Arends, 2008:123) Dalam buku Inklusif School in Action, kurikulum yang digunakan dalam sekolah inklusi adalah dengan memodifikasi kurikulum, di mana kurikulum itu didesain sesuai dengan kebutuhan siswa yang berisi berupa pelajaran dan keterampilan sesuai dengan tingkat kemampuan anak dengan memberikan materi-materi pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan siswa. Hal tersebut bisa juga dengan mengubah isi dari kurikulum dan strategi pembelajaran yang diberikan guru kepada siswa atau disebut sebagai Differentiated of instruction dan juga menggunakan metode student-center (metode pengajaran berpusat pada anak dan sesuai dengan kebutuhan anak)

Mengubah pola pasti akan menghasilkan hasil yang berbeda, berani mengubah harus berani menjamin hasil “Baik”. Pola pembelajaran dan penilaian lama harus segera ditinggalkan dan segeralah mengubah pembelajaran dengan penilaian yang menyenangkan, membanggakan, mengesankan dan harus bisa membentuk karakter siswa sebagai pembelajar sejati. Merdeka belajar sering mendapat apresiasi yang kurang produktif. Merdeka belajar bukan guru dan siswa semaunya sendiri tetapi  sebaliknya yakni guru harus lebih kreatif, produktif, aktif, menarik dengan segala keberadaanya. Guru harus membekali diri dengan segala kriteria pendidik yang hebat dan bisa dibanggakan oleh siswanya. Kesederhanaan dengan kompetensi paedagogis yang kuat, pembawaan karakter yang menyejukkan, menyemangati, menghargai keberbedaan gaya belajar siswa, perbedaan kemampuan berfikir, berbahasa dan perbedaaan lainnya adalah eksistensi manusia dan wajib untuk dihargai dan dikembangkan. Guru yang demikian nantinya yang akan mendapat tempat dihati para siswanya.

            Memerdekakan kondisi pembelajaran pada setiap mata pelajaran kepada para siswa adalah mutlak dilaksanakan disekolah. Hal demikian akan didapat bila memahami benar-benar teori mulitiple intelegency oleh Howard Gardner dan menyadari atas keberbedaaan gaya belajar setiap orang (siswa). Dalam suatu kelas tidak mungkin semua siswa menyenangi semua pelajaran dan tidak pula semua siswa senang dan tertarik dengan model pembelajaran guru yang selalu begitu-begitu saja (ceramah). Walaupun ceramah tidak mungkin kita tinggalkan 100%, namun guru laksukan sebagai pengantar pembelajaran saja (30%) waktu KBM saja.

 

PEMBELAJARAN MENYENANGKAN

Memerdekakan pembelajaran dalam proses belajar siswa adalah hal yang sangat menyenangkan dan mengesankan. Kebanyakan guru melaksanakan KBM di kelas umunya selalu menguasai ruang dan waktu pembelajaran (teacher center). Guru: menulis topik materi pelajaran, menerangkan/menjelaskan, menuliskan rumus, (bahkan ada yang menyuruh siswa membuat catatan di buku), memberi contoh soal dan dan dikerjakan guru sambal berbicara, memberi tugas soal, jam pelajaran selesai, tugas rumah, selesai ber-KBM dan hal itu sah sebagai guru.

Fenomena demikian mungkin tidak asing di beberapa sekolah oleh beberapa guru. Dari hal tersebut pastinya siswa tidak akan tercapai kompetensi yang didapatkan oleh siswa, kalaupun didapat hanyalah kompetensi teoritis ingatan, hafalan saja. Bukankah semua siswa perlu kompeten berbahasa, berargumentasi, menguatkan mental, menguatkan kepercayaan diri sebagai manusia, kejujuran, tanggungjawab, dan mampu berbicara/presentasi didepan orang lain (banyak) serta kompetensi lain diluar dari materi pelajaran. Disinilah perlunya guru kreatif yang mampu dan berani memodifikasi kurikulum sekolah.

Untuk memerdekakan siswa agar terekplorasi dan terekploitasi semua kemampuan siswa sebagai manusia maka maka ruang dan waktu pembelajaran harus diberikan kepada siswa minimal 70% sedapat mungkin 90% (student center) . Guru adalah motivator, inspirator, dan klarifikator atas apa yang dilakukan oleh siswa melalui: ucapan, pikiran, aktifitas, kerja sama toleransi, tanggungjawab dan lain sebagainya. Dari kegiatan belajar mengajar itu pula guru bisa malakukan penilaian proses dan berkesinambungan. Siswa bertanya, berargumentasi, berdebat, melatih bahasa dan penampilan dan lain-lain yang keluar dari diri masing-masing siswa (memanusiakan manusia/diri siswa). Dari kegiatan pembelajaran dan penilaian proses itu pula kelas menjadi hidup, sebagian besar siswa  aktif, semakin aktif, mentalitas dan karakter pembelajar akan nampak dan muncul. Hasil akhir akhir disetiap semester akan  terbentuk menjadi manusia kecil, dewa dan seutuhnya ketika hidup  bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

 

POLA PENILAIAN PROSES

            Ilustrasi merdeka belajar diatas awalnya sangatlah rumit, merepotkan, menguras tenaga , fikiran dan mental baik siswa dan guru. Pembelajaran dan penilaian proses demikian awalnya terlihat aneh tapi lama kelamaan akan terbentuk tradisi baru  yang mengasyikan di setiap ruang kelas. Akan tetapi bila guru tetap melaksankan dengan menambah pola penilaian proses maka tidak memakan waktu yang lama (sekitar 3 sampai 4 kali pertemuan) siswa mulai saling berkompetisi dan berunjuk kemampuan belajar. Bila setiap aktifitas siswa mendapat point penilaian berupa poin yang bervariasi maka pola dan gaya belajar akan bermunculan secara unik dan luar biasa. Aktifitas yang dimaksud adalah siswa bertanya, menjawab pertanaan teman, berdebat atau jawaban lain dari jawaban temannya, sampai siswa unjuk waktu untuk mempresentasikan materi yang akan dipelajari.

            Pola penilaian proses harus dilakukan bersamaan saat pembelajaran, bukan dilakukan setelah selesai pembelajaran atau diakhir KD (penilaian harian).  Teknik penilaian yaitu dengan pemberian point tolly dengan kriteria : (a) point III bila maju presentasi, (b) point dua bila menjawab, dan (c) point satu bila bertanya.

Dari ilustrasi diatas dapat digambarkan akan terjadi suasana kelas yang ramai, aktif, tetapi produktif dan mulailah pembentukan mental, spiritual, kebangsaan, demokratisasi, karakter yang menyenangkan pada siswa. Penguasaan ruang dan waktu dengan sendirinya akan terkuasai oleh siswa dan kegiatan pembelajaran akan terasa mengesankan. Dua atau tiga bulan pertama biasanya ruang dan waktu dikuasai oleh beberapa siwa dengan kemampuan diatas rata-rata, sehingga siswa lain yang belum nampak kecerdasannya (mental, pengetahuan dan kecerdasan lainnya) akan terlihat.

Mengatasi fenomena diatas guru harus mulai menerapkan strategi inovatif; yaitu dengan menghentikan siswa yang sudah mendapatkan akumulasi point 25 (dua puluh lima) sekalipun baru 4 atau 8 kali pertemuan tidak diperkenankan lagi unjuk bicara langsung tetapi boleh mendapatkan point bintang satu(*) bila mampu mendampingi atau membimbing 3 (tiga) siswa yang pasif beraktifitas, untuk; bertanya, menjawab pertanyaan, dan mendampinginya serta membimbing siswa pasif untuk presentasi. Dari perlakuan pembelajaran dan penilaian proses tersebut, guru akan dapat mengidentifikasi siswa yang sangat aktif sekali, aktif, sedang dan tidak aktif dalam kegiatan belajar dan dari situ pula guru menjalankan perannya memotifasi, memberi pengayaan bukan dalam bentuk materi tapi pengayaan kepercayaan diri dan pengayaan penguatan karakter sebagai pembelajar. Akhir dari pembelajaran (10 menit) guru memberikan klarifikasi dari pertanyaan, jawaban, argumentasi/pendapat para siswa selama KBM berlangsung.

Dengan strategi pembelajaran dan pola penilaian seperti diatas secara tidak langsung guru akan menjalankan tugas dan kewajiba secara utuh, bukan rekayasa membuat angka, dan tidak terjadi pembohongan baik individu maupun pembohongan publik/orang tua siswa. Secara tidak langsung pula pembelajaran berlangsung diferensiasif dan memunculkan tipe-tipe kecerdasan siswa yang sangat unik, bukan hanya pemaksaan apa maunya guru (termasuk bullying). Mungkinkah materi, waktu dan kompetensi bisa tercapai..?

Dengan menerapkan strategi pembelajaran dan penilaian proses, tentunya siswa akan terdidik bersemangat, menjadi pemberani, percaya diri dan jujur dalam keseharianya dan selama menjadi pembelajar. Semua siswa akan aktif menjadi pembelajar, menempa diri tanpa takut salah, mengungkapkan pendapat dengan bahasanya, menampilkan diri melatih emosi dengan kekuatan ekspresinya, bekerja sama dan saling mendukung diantara siswa lainnya. Bukan dibiasakan dan dibiarkan berbohong dengan menyontek, meniru, malas, penakut, tidak percaya diri, main tebakan dan tidak jujur. Bukan kecerdasan yang didapatkan tetapi kebiasaan buruk (karakter) yang akan melekat pada diri siswa.

Pertanyaan akan muncul ketika sekolah masih menggunakan angka untuk mengisi kolom nilai pada raport. Tentunya dari awal guru harus sudah membuat kontrak belajar dan penilaian kepada para siswa. Hal itu akan menghindari gugatan pihak manapun sekalipun masa pihak masa depan siswa.

            Merdeka Belajar mengisyaratkan bahwa angka tidak lagi menjadi simbol keberhasilan seseorang. Membentuk karakter dan menyadarkan para siswa bahwa dirinya adalah manusia-manusia muda yang  pasti dapat menguasai ilmu pengetahuan, ketrampilan, teknologi dan harus berkarakter baik dan berwatak jujur. Belajar adalah berusaha untuk bisa, bukan harus bisa. Sesulit apapun permasalahan pelajaran pasti akan bisa dikuasai bila seseorang punya karakter pembelajar. Bisa tidak harus sempurna, bisa sesuai kemampuan dan keunikan masing-masing siswa adalah luar biasa. Tiada kesulitan dalam belajar, karena kesulitan hanya dimiliki oleh orang malas dan tidak percaya bahwa dirinya punya kemampuan.

Daftar Pustaka :

  1. UU No.20 tahun 2003
  2. Howard gadner; multiple intelegences
  3. Access Center  (2005) : Diferensiasi Instruction
  4. Robert M.Z.Lawang; nilai
  5. Laboratorium Pancasila IKIP Malang
  6. Kamus Besar Bahasa Indonesia
  7. Arends, R. I. 2007. Learning To Teach Belajar Untuk Mengajar

Ikuti tulisan menarik moh fatoni lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler