x

Iklan

Lilis Erfianti

Guru MTSN Kabupaten Semarang
Bergabung Sejak: 15 November 2021

Kamis, 2 Desember 2021 17:20 WIB

Guru PPPK, Merdeka Belajar, dan Transformasi Pendidikan

Guru menjadi kunci sukses reformasi sistem pendidikan melalui kebijakan Merdeka Belajar ini. Bukan sekadar guru PNS atau PPPK yang baik dan berkualitas, tetapi juga guru yang mempunyai kemauan untuk berinovasi melakukan perubahan dalam pendidikan agar tercipta pendidikan transformatif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keinginan pemerintah untuk merekrut satu juta guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) mulai tahun 2021 hendaknya bisa kita jadikan momentum untuk kebangkitan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia. Sehingga, slogan Merdeka Belajar yang bertujuan memberikan keleluasaan pembelajaran dapat sepenuhnya tercapai atau minimal mendekati ideal. Pasalnya, tercatat hingga tahun 2020 sekolah negeri mengalami kekurangan guru aparatur sipil negara (ASN) sebanyak 1.020.921 orang. Kekurangan ini akan diperparah dengan memperhitungkan jumlah guru yang pensiun sejumlah 291.898 hingga tahun 2024 (Kompas, 25/3/2021).

Tidak ayal bila Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) RI Nadiem Makarim memperkenalkan jargon dengan kata penggerak untuk mentransformasi pendidikan, mulai dari guru penggerak, sekolah penggerak, dan organisasi penggerak yang terorkestrasi dalam konsep Merdeka Belajar. Asumsinya, berbagai macam gerakan ini akan mempercepat transformasi pendidikan. Sekadar bergerak tanpa tujuan jelas bisa menyesatkan. Apalagi kalau yang bergerak hanya elitenya.

Transformasi, menurut Nadiem, dimulai dari guru. Dari berbagai penjelasannya di media, sambutan, dan dialog di hadapan publik, yang dimaksud guru penggerak adalah pendidik yang memiliki kompetensi dan pengetahuan mahir pada bidang yang diampunya. Ia dapat membimbing dan melatih guru-guru lain. Termasuk menyangkut posisi kepala sekolah harus diangkat dari guru penggerak agar menjadi sekolah penggerak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Membaca laporan Programme for International Student Assessment (PISA) yang dirilis pada 3 Desember 2019 menunjukkan skor membaca Indonesia ada di peringkat ke-72 dari 77 negara, skor matematika ada di peringkat ke-72 dari 78 negara, dan skor sains ada di peringkat ke-70 dari 78 negara. Hal ini berarti, masih ada permasalahan mendasar didalam tubuh pendidikan Indonesia, sehingga kehadiran para pendidik terutama mereka yang kelak naik status dari honorer ke guru PPPK dapat menggerakkan kualitas sekolah-sekolah di Indonesia pada keadaan yang lebih baik sangat ditunggu.

Tidak cukup menambah tenaga guru lewat PPPK, skor PISA yang terbilang rendah juga perlu diperbaiki melalui peningkatan kualitas layanan pendidikan secara bertahap dan simultan. Pemerintah dan masyarakat membutuhkan strategi yang pas sesuai dengan konteks dimana hal itu dimulai dari kualitas guru pengajar di sekolah melalui program yang terukur dan berkesinambungan. Dan, sebagian masalah itu dapat terjawab salah satunya melalui program strategis terbaru yang bernama sekolah penggerak Merdeka Belajar.

Transformasi Pendidikan

Reformasi pendidikan harus berawal dan berakhir pada guru. Demikian dikatakan Menristek Nadiem Anwar Makarim saat peluncuran secara virtual Merdeka Belajar Episode 5: Guru Penggerak, Jumat (3/7/2020), di Jakarta. Yang mana, itu dapat ditarik kesimpulan pemerintah menjadikan guru penggerak sebagai ujung tombak transformasi pendidikan. Sehingga, sudah semestinya keberadaan mereka kedepan perlu didukung sarana dan prasarana pendidikan serta politik yang berpihak pada pendidikan.

Kita semua tentu sangat berharap bahwa Program Sekolah Penggerak ini akan memberikan efek ”multiplier” ke sekolah-sekolah di sekitarnya. Adanya efek ini, diharapkan akan bermuara pada percepatan peningkatan mutu pendidikan di daerah. Maka, sekolah penggerak yang diinisiasi pemerintah ini juga perlu didukung oleh masyarakat. Sebab, program sekolah penggerak mempunyai cita-cita menggerakkan komunitas pendidikan Tanah Air pada semua tingkat pendidikan, dasar, dan menengah.

Guru menjadi kunci sukses reformasi sistem pendidikan melalui kebijakan Merdeka Belajar ini. Bukan sekadar guru PNS atau PPPK yang baik dan berkualitas, tetapi juga guru yang mempunyai kemauan untuk berinovasi melakukan perubahan dalam pendidikan agar tercipta pendidikan transformatif. Namun, memeriksa praktik pendidikan saat ini, salah satu hal utama yang masih dikuatkan adalah pembentukan keterampilan untuk mengakomodasi kebutuhan pasar kerja. Misal, ketika bicara pentingnya kemampuan critical thinking, maka hal tersebut ditujukan untuk menyiapkan anak didik memasuki dunia kerja.

Padahal, menurut Yudi Latif (2020) dalam Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformasi menyebut wacana pengembangan sumber daya manusia yang paling penting adalah peningkatan kapabilitas yang merupakan bagian dari peningkatan kualitas hidup. Oleh karena itu, sudah selayaknya perlu ada reorientasi pendidikan dengan mengembalikannya ke garis pendidikan Ki Hajar Dewantara yang dikembangkan secara kontekstual dan lebih maju, bukan sekadar menyiapkan peserta didik sebagai sekrup industrialisasi ekonomi, tetapi merupakan proses belajar seutuhnya.

Reorientasi Pendidikan

Adanya guru PPPK sekira satu juta orang itu penulis optimistis fenomena keberhasilan pendidikan di Indonesia yang selama ini diragukan bahkan dianggap selalu jauh dari harapan perlahan akan terbentuk dan terwujud. Sebab, melalui guru penggerak ini secara tidak langsung akan mengikis ego-ego sektoral bidang pendidikan yang selama ini masih terasa berat sebelah. Tidak hanya itu, adanya ketimpangan jumlah sekolah berkualitas unggul di setiap provinsi bakal berakhir seiring datangnya para guru penggerak.

Inilah reorientasi pendidikan ala Ki Hajar Dewantara di era 4.0. Latar belakang Mendikbud Nadiem Makarim yang lama menggeluti dunia teknologi juga merespons cepat atas minimnya media yang secara khusus memberi ruang bagi konten-konten edukatif mengenai kekayaan budaya Indonesia, baik dalam bentuk audio, visual, teks, maupun audiovisual dengan kemunculan Kanal Indonesiana TV. Di era kiwari, ketika segala sesuatu menuntut digitalisasi dan mesti ramah teknologi, kehadiran platform seperti Kanal Indonesiana TV tentu saja mengembuskan angin segar--jika bukan sebuah keharusan.

Lalu, pada tataran kampus misalnya, melalui konsep Merdeka Belajar jika sebelumnya uang kuliah per mahasiswa ditetapkan sama, yakni Rp 2,4 juta di mana pun mereka belajar, sekarang besarannya berbeda, tergantung akreditasi program studi (prodi). Bagi mahasiswa yang menempuh pendidikan di prodi dengan akreditasi C, maksimal bantuan yang diberikan adalah Rp 2,4 juta per semester.

Mereka yang belajar di prodi terakreditasi B mendapat bantuan maksimal Rp 4 juta, sedangkan bagi mahasiswa dengan prodi akreditasi A bantuan maksimalnya hingga Rp 12 juta  per semester. Perubahan lainnya pada skema Kuliah Merdeka adalah pada biaya hidup yang majemuk berdasarkan indeks kemahalan. Jika pada tahun 2020 biaya hidup yang diberikan adalah Rp 700 ribu, tahun ini angkanya naik menjadi Rp 800 ribu hingga 1,4 juta rupiah, tergantung lokasi perguruan tinggi.

Kuliah Merdeka dibuat untuk mendorong anak-anak dengan kondisi ekonomi kurang dan tidak mampu agar tetap berani melanjutkan pendidikan setinggi mungkin, menggapai cita-citanya, mendapatkan pengalaman di luar daerah, tanpa memberatkan ekonomi keluarga. Melihat progress yang ada itu, tentu kita tidak ingin menunda lagi cita-cita Indonesia emas di 2024 mulai dirasakan sedari sekarang. Dan pasti kita juga sangat berbangga manakala melihat, membaca berita generasi bangsa Indonesia berprestasi di tingkat dunia melalui berbagai bidang yang digelutinya. (*)

Penulis:

Lilis Erfianti, guru di MTS Negeri Kabupaten Semarang, Jawa Tengah

Ikuti tulisan menarik Lilis Erfianti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler