x

Anak laki-laki membaca senyap di aula SD Pelita Mutiara, Parulian Medan. Membaca senyap, bagian dari Gerakan Literasi Sekolah. Sejak 2016, Parulian satu-satunya sekolah swasta di Sumut yang mendeklarasikan lembaganya sebagai sekolah literasi

Iklan

Pramaswara

Penulis tinggal di Cirebon. Pernah bergiat di ASAS UPI dan UKSK UPI
Bergabung Sejak: 24 November 2021

Jumat, 3 Desember 2021 04:55 WIB

Merdeka Membaca, Merdeka Belajar

Kondisi pandemi Covid-19 dapat menyebabkan situasi learning loss. Situasi tersebut dapat membuat tingkat literasi membaca siswa Indonesia semakin terpuruk. Hal tersebut perlu disiasati dengan kegiatan dan program yang tepat guna. Melalui slogan "Merdeka Belajar" yang diusung Menteri Nadiem Makarim, bagaimana cara kita sebagai guru untuk dapat membuat siswa memerdekakan kreativitasnya? Membuat siswa merdeka untuk membaca? Dan membuat siswa merdeka untuk belajar?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Bagaimana caranya membiasakan siswa untuk sering membaca?”
    Pertanyaan yang kerap terlintas begitu saja. Awalnya hanya melintas saja, namun lama kelamaan menjadi sering sehingga saya mulai terbiasa dengan pertanyaan itu. Namun, terlalu sering kalimat tersebut menjelma pertanyaan, maka dibutuhkan pula sebuah kalimat jawaban.
    Begitulah kiranya awal mula saya memulai program literasi membaca di SMA Negeri 1 Waled, Kabupaten Cirebon. Berawal dari kekhawatiran adanya learning loss pada siswa saya, membuat saya mesti memutarbalik otak untuk menemukan inovasi bagi kegiatan membaca ini. Terlebih sebagai guru Bahasa dan Sastra Indonesia, rendahnya tingkat literasi membaca yang dimiliki para pelajar di Indonesia, seolah menjadi beban yang tertancap di pundak.
    Awalnya hanya sekadar menyisipkan kegiatan membaca selama sepuluh menit pada setiap awal pembelajaran. Kegiatan ini cukup efektif saat dilakukan pada proses KBM seperti biasanya. Namun, situasi pandemi Covid-19 membuat kegiatan tersebut tidak dapat dilakukan secara tatap muka. Tentunya, ketiadaan saya di antara para siswa membuat kegiatan ini kurang efektif.
    Hal tersebut dapat terlihat dari keseriusan siswa membaca. Tiadanya pengawasan secara langsung, membuat saya kesulitan untuk dapat mengawasi proses membaca siswa. Kondisi tersebut pun semakin menjadi ketika muncul pertanyaan selanjutnya.
    “Bagaimana caranya mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap informasi yang ia baca?”
    Awalnya saya mencoba pada para siswa untuk membuat ulasan terhadap bacaannya. Hal tersebut mulai menemukan titik terang. Siswa mulai membuat berbagai ulasan dari buku yang mereka baca. Ada yang mengulas buku novel, buku puisi, buku biografi dan lain sebagainya. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama. Rasa bosan mulai menghinggapi para siswa. Akhirnya, ulasan yang mereka tulis pun hanya sekadar pemenuhan tugas saja. Tak sedikit pula yang mulai menggunakan hasil ulasan orang lain. Sebuah kekecewaan bagi saya ketika siswa mulai berkurang rasa untuk menghargai karya orang lain. 
Lalu, muncullah pertanyaan berikutnya. “Bagaimana caranya menumbuhkan kebiasaan mengapresiasi sebuah bacaan pada diri siswa?”
    Media sosial! Itulah jawaban yang terlintas. Bagaimana pun, media sosial adalah ruang bagi para remaja untuk mengekspresikan diri. Di ruang itu, mereka dapat mengeksplorasi dirinya secara maksimal. Tentunya hal tersebut didukung oleh sifat alamiah remaja yang ingin dilihat orang lain dan membuktikan kemampuan dirinya.
    Maka, saya pun mencobanya. Menugaskan bentuk ulasan bacaan yang tidak hanya berbentuk tulisan. Mereka dituntut untuk berinovasi dan berkreasi dalam penyampaian ulasan bacaannya. Tentu saja mereka termotivasi untuk melakukannya. Saling ‘berkompetisi’ untuk dapat menghasilkan bentuk ulasan yang terbaik. Mereka memerdekakan kreativitasnya. Mereka merdeka untuk membaca. Mereka merdeka untuk belajar.
    Namun, kegiatan ini tidak terhenti sampai penggunaan media sosial. Sebagai guru, proses pengarsipan tugas dari siswa mesti tetap diperhatikan. Pengarsipan ini penting bagi guru maupun siswa. Bagi siswa, pengarsipan ini berguna sebagai portofolio selama mereka belajar. Bagi guru, ini memudahkan saya untuk dapat mengarsipkan berbagai karya ulasan yang menarik dari siswa. Selain itu, proses penilaian pun akan semakin objektif karena memiliki arsip data ulasan, baik ulasan yang berbentuk tulisan maupun kreasi di media sosial. Sehingga, nilai yang diberikan pun berbasis data yang terekap dengan rapi.
    Maka, bermodalkan pengetahuan dari internet, saya membuat sebuah aplikasi berbasis android yang bisa digunakan pada telepon cerdas bernama “Matja”. Kenapa harus aplikasi berbasis android? Tentu saja seperti yang kita ketahui, siapa pun telah terbiasa dengan telepon cerdas ini. Terlebih siswa SMA, tiap siswa telah memiliki telepon cerdas ini. Seolah menjadi kebutuhan bagi mereka. Seolah menjadi teman yang lebih setia dari bayangannya sendiri. Selain itu, kondisi pandemi pun membuat pembelajaran jarak jauh atau pun daring, tidak dapat terlepas dari penggunaan telepon cerdas.
    Pada tampilan muka aplikasi Matja, siswa akan disuguhkan dua pilihan program, yaitu Saha Saka dan Sami Deka. Saha Saka merupakan akronim dari Satu Hari Satu Karya. Artinya, dalam satu hari siswa dibiasakan untuk membaca satu karya. Karya tersebut berupa teks singkat seperti puisi maupun berita atau teks lainnya yang relevan. Selanjutnya, ada program Sami Deka, akronim dari Satu Minggu Delapan Karya. Program ini merupakan akumulasi karya yang dibaca siswa selama satu minggu, ditambah dengan membaca satu karya yang lebih Panjang dari puisi maupun berita. Karya yang dimaksud dapat berupa cerpen, artikel atau pun karya lainnya yang relevan.
    Pada kedua program ini, terdapat fitur berupa format untuk nama siswa, asal kelas, jenis karya, dan judul karya. Selain itu, terdapat pula tafsiran atau interpretasi siswa terhadap karya. Tafsiran atau interpretasi ini merupakan usaha untuk dapat mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap informasi yang ia baca.
    Selanjutnya, ada pula kolom kesan terhadap karya. Ini merupakan usaha untuk dapat mengetahui tingkat apresiasi siswa terhadap karya yang ia baca. Dan terakhir terdapat kolom untuk tautan ulasan siswa yang telah diunggah ke media sosial.
    Seperti itulah kisah sederhana dalam artikel ini. Sebuah gambaran bagaimana keresahan tidak bisa disikapi dengan diam. Butuh usaha untuk melepaskan diri dari keresahan dan pertanyaan yang membuat langkah kreativitas dan inovasi menjadi tersendat. Maka, usaha untuk memerdekakan kreativitas dan inovasi merupakan langkah awal untuk dapat menciptakan tujuan kita bersama; Merdeka Belajar!

Ikuti tulisan menarik Pramaswara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler