x

Iklan

Farhan Akbar Muttaqi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Desember 2021

Jumat, 3 Desember 2021 14:42 WIB

Asesmen, Kunci Sukses Merdeka Belajar Bagi Guru

Asesmen Nasional (AN) dan Merdeka Belajar adalah sesuatu yang tak terpisahkan. Agar konsep Merdeka Belajar terwujud, semua pihak dalam dunia pendidikan harus menyadari betapa pentingnya Asesmen.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saking pentingnya Asesmen Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sampai menghapus Ujian Nasional. Seperti kita ketahui, Ujian Nasional yang kerap gonta-ganti nama itu menjadi semacam kegiatan paling penting bagi anak sekolah.

Awalnya, saya heran, mengapa bisa Kemendikbud di era Nadiem Makarim ini 'tega' menghapus UN dan menggalakan AN?

Jadi, saya tak mampu secara jernih mencerna perdebatan di antara pihak yang pro dan kontra terhadap penggantian UN menjadi AN sejak 2019. Sebagai guru biasa yang mengajar di daerah pinggiran, saya nrimo saja tanpa alasan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hingga kemudian, momentum kebingungan di tengah wabah Covid-19 menyadarkan saya, bahwa asesmen itu penting. Bahkan, sangat penting untuk kemajuan pendidikan.

Rangkaian pengalaman selama pandemi telah memberikan kesadaran individual, bahwa program sejenis asesmen ini harus diperbanyak sebagai pondasi suksesnya program merdeka belajar.

Bahkan, bukan hanya dilakukan pemerintah, namun oleh setiap guru di kelasnya masing-masing. Saya pribadi sudah mencobanya di kelas dan mendapatkan pengaruh positifnya.

Gagap Mengajar di Awal Pandemi

Awal 2019, Indonesia dirundung wabah Covid-19. Dunia pendidikan menjadi salah satu sektor yang paling terdampak. 'Disrupsi' dalam mekanisme pembelajaran mau tak mau dilakukan oleh semua guru di Indonesia. Metode tatap muka yang semula menjadi skema baku, harus bertransformasi menjadi metode jarak jauh.

Sungguh, ini adalah ujian yang berat bagi guru-guru. Mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru bukan perkara mudah. Apalagi, jika pendidikan jarak jauh itu dimaknai sebagai penggunaan teknologi komunikasi dalam belajar.

Maklum, tak jauh sebelum Covid-19, pada 2018, Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Kemdikbud, Gogot Suharwoto bahkan menyebut, bahwa hanya 40% guru non TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) yang siap dengan penggunaan teknologi. 

Sayangnya, apakah yang siap dengan teknologi itu otomatis siap juga dengan praktek pembelajaran jarak jauh?

Nampaknya tidak begitu juga. Sebagai bagian dari generasi milenial yang akrab dengan teknologi, saya juga sempat gagap untuk mensukseskan pembelajaran skema baru ini.

Sejak Surat Edaran Nomor 4 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Coronavirus Disease (Covid-19) terbit 24 Maret 2020 dan belajar jarak jauh jadi pakem, saya sempat merasa bingung bagaimana cara belajar di kelas online yang paling ideal. Kebetulan, PJJ di tempat saya mengajar awalnya full online.

Hal ideal yang saya pikirkan untuk membawa suasana kelas tatap muka ke dalam ruang virtual adalah menyelenggarakan kelas di aplikasi meeting seperti Zoom, Google Meet, Webex, dan lainnya. Opsi yang mendekati ideal lainnya adalah membuat video di Youtube dan mempublikasikannya ke dalam kelas online.

Saya perhatikan, saat itu banyak guru di luar tempat saya mengajar berpikir sama menggunakan cara semacam ini. Maka, saya pun mencobanya.

Tak lama, saya membuat channel Youtube dan membuat beberapa konten pembelajaran. Saya habiskan berhari-hari untuk sekedar membuat 1 konten, karena ternyata bicara dengan kamera dan langsung dihadapan siswa itu berbeda. Lumayan susah juga.

Kemudian, saya coba membagikannya ke beberapa kelas online yang saya ampu. 

Betapa menyedihkan, dari lebih 100 siswa yang semestinya melihat, video-video yang saya bagikan hanya dilihat 7 sampai 15 kali. Lalu, saya tau alasannya, ternyata kuota mereka tak cukup besar untuk menonton video di Youtube.

Kalau Youtube tidak bisa mereka akses karena kendala kuota, saya pikir mereka bisa mengakses blog. Karenanya, saat itu saya juga membuat sebuah blog. Saya mengisinya dengan konten-konten pembelajaran bahasa Indonesia untuk SMK, sesuai jenjang yang saya ampu. Lantas, saya bagikan materi itu di kelas.

Bagaimana hasilnya?

Keterlibatan memang meningkat. Namun, saya pikir masih jauh dari ideal. Siswa yang bisa mengakses blog angkanya tak lebih dari 50%.

Mengapa demikian? Ternyata, ada sebagian siswa yang menggunakan kuota semi 'gratisan'. Mereka hanya sesekali saja beli kuota dan ketika habis mereka memanfaatkan kuota gratis. Jenis kuota semacam ini hanya bisa membuka aplikasi WhatsApp atau Facebook mode gratis. Jadi, ketika disodorkan link untuk terhubung dengan blog atau link semacam Google Form, mereka tak bisa membukanya. 

Dengan kenyataan tersebut, maka saya simpulkan, kondisi lingkungan tempat saya mengajar tak bisa ikut-ikutan guru Youtuber, guru Blogger, atau guru yang menggunakan aplikasi LMS.

Setiap siswa, setiap sekolah, setiap lingkungan, punya latar yang berbeda-beda. Salah-salah guru memahaminya, akan membuat pembelajaran yang diberikan jadi tak cocok.

Memvalidasi Realitas dengan Asesmen

Hingga akhir tahun pelajaran 2019/2020 yang saya lalui dengan beberapa uji coba media belajar online, saya sudah punya semacam hipotesis. Bagaimana sebenarnya kondisi fasilitas belajar siswa di rumah, aplikasi, dan media apa saja yang dapat mereka jangkau.

Namun, saya pikir saat itu saya perlu melakukan validasi untuk mendapatkan data sebenarnya anak-anak yang saya kelola di sekolah. Dengan demikian, saya akan benar-benar tahu apa yang saya harus lakukan sebagai guru agar mereka semua dapat belajar maksimal sesuai latar kondisinya masing-masing.

  • HP semacam apa yang mereka punya?
  • Seberapa besar kemampuan RAM HP mereka dalam menampung aplikasi?
  • Jatah kuota mereka dari orangtua berapa banyak (sebelum ada bantuan pemerintah)?
  • Aplikasi apa saja yang sanggup mereka gunakan untuk melakukan pembelajaran?
  • Bagaimana situasi, lingkungan, dan keadaan mereka selama belajar online?

Dengan memanfaatkan aplikasi Google Forms, saat itu saya pun menyusun sejumlah pertanyaan untuk memotret latar belakang masing-masing siswa. Berikut beberapa tangkapan layar dari pertanyaan yang saya bagikan kepada mereka.

Pertanyaan Asesmen

Memang, karena keterbatasan, tak semua siswa mampu mengisi asesmen yang saya bagikan. 

Dari 7 kelas yang saya ajar, hanya 96 orang yang mengisi (rata-rata per kelas 20-30 orang). Namun, sampel yang lebih dari 50% ini saya pikir sudah cukup untuk memberikan gambaran sejauh mana fasilitas belajar yang mereka miliki di rumah.

Lalu, bagaimana hasilnya?

Dari sisi kemampuan HP, ternyata kualitas perangkat yang mereka miliki tidak begitu buruk. Sebagian besar punya kapasitas RAM 2GB, meski tak menutup kenyataan bahwa masih ada juga yang punya HP dengan RAM ratusan MB, HP semacam ini pasti berat mengakses banyak aplikasi.

Kualitas HP yang siswa miliki

Meski sebagian dari mereka punya HP dengan RAM 2GB ke atas, namun tampaknya kuotanya kebanyakan terbatas. Dari data yang saya dapat, mayoritas siswa tak sanggup membuka aplikasi-aplikasi video semacam Youtube, TikTok, apalagi aplikasi meeting online. Mereka rata-rata hanya bisa membuka materi di aplikasi WA dan link-link Google.

Saran Media

Tak mengherankan jika kemudian mayoritas mereka menginginkan agar materi cukup di share via WA saja. Dengan kata lain, hanya modal akses kuota gratisan WA, mereka bisa membukanya. Baik dengan tulisan, gambar, atau voice note yang membuat mereka tak perlu membuka link lain dari grup.

Saran Aplikasi

Selain soal fasilitas, saya juga coba memotret suasana hati dan keinginan mereka secara massal. Selama sekitar 3 bulan belajar daring (Maret 2020 - Juni  2020), bagaimana unek-unek mereka. Mungkin saya bisa menyesuaikan diri jika saya lebih tahu isi hati mereka.

Curahan Hati

Jadi, saya simpulkan bahwa siswa di kelas yang saya ajar itu kondisinya heterogen. Masing-masing punya fasilitas berbeda, latar ekonomi berbeda, latar keluarga berbeda, dan lainnya. Dengan kata lain, untuk mewujudkan merdeka belajar, sebagai guru saya harus lebih empati dengan realitas yang ada agar siswa tetap senang belajar.

Menindaklanjuti Hasil Asesmen

Memasuki tahun ajaran baru, sejak tahun pelajaran 2020/2021 sampai pertengahan tahun pelajaran 2021/2022, saya mencoba membangun pembelajaran yang berpijak pada data-data yang sudah saya temukan.

Siswa dengan beragam potensi dan keterbatasannya harus merdeka dalam belajar. Dalam artian, mereka tetap bisa belajar dengan memaksimalkan fasilitas, kemampuan dan keinginan yang ada di dalam dirinya.

Setidaknya, saya menarik beberapa hal dari data-data tersebut:

  1. Saya harus membuat media belajar yang sederhana, yang hemat kuota dan mudah diakses oleh HP berkualitas rendah sekalipun. Konten-konten video yang memakan kuota besar harus diposisikan sebagai suplemen saja karena aksesnya hanya dimiliki sebagian kecil siswa.
  2. Isi atau konten materi harus dibuat sesederhana mungkin karena penjelasan jarak jauh dengan media non audio visual relatif lebih sulit dicerna. 
  3. Jika memberi tugas, tugasnya juga harus sederhana. Latar fasilitas berbeda membuat saya kurang memungkinkan memberi tugas yang memerlukan dukungan aplikasi dan kuota.

Untuk poin pertama dan kedua, saya tak lagi ‘idealis’ dengan memaksakan media Youtube, Blog, atau hal yang memerlukan aplikasi lain di luar WhatsApp.  Jadi, saya berpikir untuk membuat media yang yang tetap menarik namun siswa bisa mengaksesnya hanya dengan Whatsapp, kuota minimum, dan tak membuat HP mereka berat.

Akhirnya, saya putuskan pilihan pada Microblog. Secara sederhana, Microblog merupakan pesan instan dan singkat yang didalamnya dapat memuat media visual seperti gambar. 

Pesan dengan format gambar hanya memakan puluhan hingga ratusan kilobyte untuk diunduh. Apalagi, sebagian siswa memang ada yang hanya menggunakan kuota Whatsapp. Di beberapa provider yang saya tahu, Whatsapp juga masih bisa diakses meskipun kuotanya habis.

Selain hemat kuota, dengan Microblog juga membuat guru dapat memberikan ilustrasi-ilustrasi visual yang mendukung siswa menangkap penjelasan lebih mudah.

Contoh Kumpulan Microblog yang Dibuat

Ada sejumlah aplikasi yang bisa guru-guru gunakan untuk membuat Microblog. Namun, dalam hal ini saya menggunakan Canva. Platform desain asal Australia ini memiliki fitur yang kaya, mudah digunakan (tinggal drag and drop), dan yang pasti memberikan fasilitas gratis (terbatas) kepada penggunanya.

Untuk mendukung penjelasan pada gambar, saya memaksimalkan voice note dan teks di Whatsapp. Bukan berarti saya tak bisa buat yang lebih canggih, namun sekali lagi, saya mempertimbangkan akses siswa terhadap media pembelajaran yang terbatas. Dan, voice note dan teks bisa siswa akses dengan mudah dengan kebutuhan kuota minimum.

Adapun konten materi dari Youtube, sesekali tetap saya berikan. Namun, sifatnya hanya sebagai suplemen atau tambahan, karena memang tak semua siswa memiliki privilege untuk mengaksesnya.

Cara semacam ini tetap saya gunakan meskipun pada waktu selanjutnya siswa mendapatkan kuota bantuan dari pemerintah. Mengapa?

Sebagian besar provider internet yang siswa gunakan memberikan keterbatasan akses. Selain itu, sebagian siswa memiliki HP yang tak cukup bagus untuk mengakses aplikasi-aplikasi belajar yang bekerjasama dengan pemerintah. 

Kesederhanaan juga saya terapkan dalam tugas. Saya tak lagi meminta tugas-tugas yang membuat mereka pusing atau bingung mengatur waktu mengerjakan tugas yang menumpuk bersamaan dari guru-guru lainnya.

Untuk memastikan bahwa langkah yang saya lakukan ini benar di mata siswa yang punya hak merdeka belajar, saya juga melakukan asesmen lagi untuk mengukur tingkat kepuasan siswa. Saya sebar kuesioner untuk masing-masing kelas untuk mendapatkan data mengenai hal ini. Berikut hasil data dari salah satu kelas.

Hasil

Meski jelas belum sempurna, tapi alhamdulillah mayoritas siswa suka dengan cara semacam ini. Dengan begitu, saya dapat menarik kesimpulan bahwa ada perbaikan dari apa pembelajaran yang saya lakukan. Hal tersebut juga tercermin dari keterlibatan pembelajaran yang meningkat ketimbang awal-awal pandemi ketika saya mengajar tanpa data.

Kesimpulan

Karena apa yang saya lakukan pada mulanya bukan dalam rangka penelitian, jadi memang pengalaman yang saya bagikan ini pasti penuh keterbatasan. 

Semua kegiatan adalah pure dilakukan sebagai rangkaian pengalaman selama pandemi untuk membuat siswa yang saya kelola di kelas lebih merdeka, bahagia, dan optimal dalam belajar online. 

Dari berbagai hal yang saya alami di atas, saya menarik beberapa kesimpulan penting:

  • Asesmen bukan hanya tugas negara, untuk menyukseskan program Merdeka Belajar, semua guru harus belajar untuk membuat asesmen pada siswanya masing-masing. Bagaimanapun, setiap siswa di masing-masing sekolah pasti punya keadaan yang berbeda. Jadi, tak bisa saklek meniru guru lain di luar sekolahnya.
  • Data yang valid mengenai keadaan siswa melalui asesmen sangat membantu untuk melakukan perencanaan, pemetaan, dan berbagai program pembelajaran lainnya untuk meningkatkan minat belajar siswa. Guru akan lebih empati dan mempertimbangkan setiap keputusannya secara lebih bijak dan komprehensif.
  • Ketika guru menganggap sebuah strategi, cara, atau media itu bagus, sesungguhnya itu perlu diverifikasi kepada siswa. Bagaimanapun, ada gap generasi, gap kondisi, dan berbagai gap lain antara guru dan siswa. Bisa jadi, apa yang guru anggap bagus ternyata tidak relevan dengan keadaan siswa. 
  • Asesmen yang dilakukan oleh guru kepada siswa-siswanya di kelas juga secara tidak langsung akan menuntut guru berpikir lebih kreatif dan mau banyak belajar hal-hal baru untuk menyesuaikan diri dengan pluralitas siswanya.

Saya sangat yakin, jika semua guru menyadari pentingnya asesmen semacam ini, program Merdeka Belajar yang digagas oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat ini bisa sukses!

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Farhan Akbar Muttaqi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler