x

Iklan

Rifqah Aprilia

Rifqah Aprilia
Bergabung Sejak: 28 November 2021

Sabtu, 4 Desember 2021 05:53 WIB

Takdir Akhir

Cerita pendek berkisah alur takdir yang ada pada awal dan akhir.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

    Pada awalnya, aku mengira takdirku begitu buruk. Dimana mempunyai keluarga yang retak tapi masih satu rumah dengan berjuta masalah. Aku sebagai anak satu-satunya, masih bersekolah. Komunikasi yang kami jalani setiap hari hanya bertengkar, selain itu tidak ada hal yang kami bicarakan satu sama lain, itu hal yang membuatku menjadi anak pemurung dan kurang bersosialisasi. Tapi, mungkin takdirku sedikit lebih 'bagus' saat aku bertemu dengannya. Pada saat aku mengalami kecelakaan, mungkin aku koma beberapa waktu sampai aku tidak tahu apakah kedua orangtuaku pada saat itu datang menjenguk atau tidak. Yang kuingat hanya aku yang sudah berada di rumah sakit dan langsung pulang seorang diri. Yah, setidaknya berarti sudah ada yang membiayai perawatanku. 

     Saat pulang ke rumah, tidak ada yang menghiraukan kehadiranku. Seperti angin lewat, aku hanya berlalu begitu saja masuk ke kamarku. Dan, mungkin setelah kejadian kecelakaan ini, aku benar-benar diasingkan lebih parah. Saat waktu makan, hanya disediakan dua piring di atas meja. Mereka benar-benar mengacuhkan kehadiranku. Mereka tidak menghargai perasaanku... Tidak, bahkan kehadiranku tidak dihargai. Rasanya aku ingin mati saja. Niat yang membawaku ke pinggir jembatan yang membentang di atas sungai dengan arus kuat. Ya, aku mencoba ingin bunuh diri. Ini bukan percobaan pertama kali, beberapa kali aku sudah lakukan sebelumnya dan masih termasuk gagal. Jadi, pada saat itu aku sudah siap berdiri di atas pembatas jembatan. Telah mengingat masa-masa tersiksaku, aku sudah ingin terjun, namun... Ada yang menangkap dan menarik tubuhku hingga terjungkal. Percobaan bunuh diri yang gagal—lagi. Pemuda dengan kacamata bulat, dialah yang menolongku pada saat itu. Dan dialah yang sedikit merubah takdirku yang buruk. 

   Dan kini, kami berdua sedang duduk di bangku taman. Melewati hari‐hari hanya dengannya. Sekarang keluh kesahku ada yang mendengarkan, air mataku hilang dengan usapan tangannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

     "Jadi, bagaimana keadaan kedua orangtuamu?" Tanyanya. 

      Aku memainkan kaki dan menjatuhkan pandanganku ke bawah, "Masih bertengkar beberapa kali, tapi aku lebih sering mendengar Ibu menangis," jawabku kemudian memandangnya.

     Dia mengangguk, "Kalau penglihatanmu bagaimana?" lanjutnya bertanya.

     "Sepertinya ini bukan halusinasi. Aku yakin aku melihat makhluk yang tidak pernah aku lihat. Tapi, aku tidak apa-apa." Aku tersenyum padanya dan dia juga tersenyum kecil.

      Dia benar-benar selalu ada bagiku. Dia sangat perhatian terhadapku. Aku merasai dihargai dengannya. Dia tahu semua tentangku. Dari masalah keluarga hingga masalah penglihatan yang mulai aneh saat sesuadah kecelakaan. Ya, aku bisa melihat makhluk yang dinamakan hantu. Entah, tapi itu benar... Semua kelihatan, dari yang bentuknya normal hingga bentuk yang aneh, benar-benar aneh. Awalnya aku sangat takut, apalagi jika mereka menyadari aku bisa melihatnya dan akan menyerah atau meneror seperti di film horror. Namun, setelah beberapa lama aku mulai terbiasa dan tidak terjadi apa-apa padaku.

     "Sebenarnya... Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat yang dari awal ingin kutunjukkan padamu." Dia berujar lalu menarik tanganku lembut, mengajak untuk berdiri dan melangkah sambil menggandeng tanganku.

     Aku tidak tahu mau dibawa kemana, jadi aku beranikan diri untuk bertanya. "Memangnya mau kemana kita?" Setelah pertanyaanku terlontar, dia tidak menjawab. Dia hanya melihatku sekilas dan fokus ke arah yang dituju. Ya, mungkin maksudnya aku akan tahu jika sudah sampai tujuan.

     Namun, aku belum mengerti. Karena tempat yang dituju adalah pemakaman umum. Di depan gerbang yang mulai reot, kita berdiri terdiam. Dia bernapas berat, memangnya ada apa? Aku jadi merasa canggung. Tapi setelah itu dia menarikku masuk ke dalam gerbang, melewati beberapa nisan yang tertancap di tanah. Dan tiba dimana dia terdiam di sisi nisan, entah punya siapa karena aku berada di belakangnya. 

     Dia memutar badan, sekarang aku sedikit melihat kesenduan dalam tatapannya. "Aku mempunyai adik. Dia keluarga satu-satunya yang kupunya setelah Ibuku meninggal dan Ayah meninggalkan kami begitu saja." jelasnya, "Tapi... Aku harus kehilangannya ketika aku merantau. Adikku meninggal setelah penyakit paru-parunya telah parah....," lanjutnya yang semakin jelas kesenduan dalam dirinya.

     Aku sendiri juga terenyuh mendengarnya. Dadaku ikut sakit. Karena mungkin aku sedikit mengerti perasaannya. Biarpun aku masih ada kedua orangtua, namun aku sangat amat kesepian. Sama tapi beda.

     "Aku ikut turut berduka cita. Kamu yang tabah, ya," ucapku. Aku mengelus pundaknya, dan mengeratkan peganganku dengannya. "Mari kita doakan adikmu di depan nisannya," lanjutku.

     Aku mengajaknya ke samping nisan yang menjadi tempat terakhir dia berhenti. Dan aku mulai mengangkat tangan. Namun.....

     "Itu bukan nisan adikku," kata dia. 

     "Lalu yang mana?" tanyaku sambil melongok ke segala arah.

      "Itu... Nisanku."

     Aku terkaku. Mencerna perkataan singkat yang baru kudengar. Melihatnya dengan tatapan tak percaya, namun langkahku sedikit kumundurkan. 

      "Bo–bohong kan?" ucapku terbata-bata. "Pasti cuman suatu tipuan... Ya kan?" Aku tidak percaya. Ini bukan suatu lelucon yang lucu kalau benar ini tipuan. Tapi jika benar... Juga tidak lucu.

      "Setelah dikabari bahwa adikku meninggal... Aku buru-buru ingin menyusul, namun na'asnya karena pikiranku kalut ketika berkendara... Aku tertabrak mobil yang melaju kencang." Dia menjelaskan. Namun aku masih belum percaya. Pikiranku masih berputar bahwa aku pasti bermimpi.

     Nama! Aku tahu namanya. Jadi aku harus mengecek nama di nisan itu tertulis oleh nama siapa. 

         RAMZAN ADITYA RIZKY

                            Bin

                    Ahmad Rizki

           Lahir: 22 Agustus 1999

              Wafat: 12 Juni 2020

     Tidak..... Itu pasti salah... Tidak mungkin..... Mengapa... Mengapa sama... Pasti itu bukan.

     Dia mencengkram pundakku. Mataku sendu, menatapnya dengan gamang... Apa maksud semua ini... Aku benar-benar tidak mengerti...

     "Kenapa..... Kenapa aku bisa melihatmu.... Bahkan aku bisa merasakan sentuhanmu..... Pasti kamu manusia kan...? Jujur...!" Aku menutup suara tangisku yang hampir pecah.

     Dia melepas cengkramannya, menjatuhkan tangannya ke samping tubuhnya. Aku melihat dia gemetar... 

     "Bukan. Kamu salah." Dia menatapku sendu, kini lebih dalam. "Karena..... Kamu juga sudah meninggal dunia." 

     Ap–apa maksudnya? Aku tidak mengerti..... Ini tidak masuk akal. "Apa maksudmu? Kau keterlaluan sampai segininya untuk lelucon...," lontarku dengan nada serius.

     Dia menatapku dalam. "Pertama kali aku melihatmu di rumah sakit, kau mengingatkanku pada adikku. Dan juga padaku, karena aku tahu bahwa kau belum menyadari bahwa dirimu sudah bukan manusia lagi. Tapi, kau berjalan layaknya masih hidup, itu mengingatkanku pada awal aku belum menyadari juga bahwa aku sudah mati. Aku mengikutimu. Di rumahmu aku melihat kau yang diacuhkan kedua orangtuamu. Itu bukan karena pertengkaran, melainkan memang kau sudah tiada...," jelasnya yang sungguh aku tak percaya.

     Tanpa sadar aku menitikkan air mata. Bulir bening kian jatuh ke pipi... Aku masih tidak percaya karena... Bagiku ini semua tidak masuk akal...

     "Ap—apa buktinya... Tunjukin...," cecarku. Dia terlihat bimbang, apa dia tidak ada bukti...? 

     Namun, aku salah... Tak lama dia mengangkat tangan, menunjuk ke arah pojok sisi kanan. Lebih tepatnya dia menunjuk ke suatu yang ada di balik pohon yang tak begitu rindang. Apa yang dia ingin tunjukkan? Tapi dia tak berkata lagi setelah menunjuk, jadi aku sendiri yang menghampiri tempat itu. Perasaanku campur aduk, isak tangisku belum berhenti. Apa lagi yang akan kudapatkan? Ternyata... Tempat itu adalah makam. Tapi aku masih gundah untuk melihat nisannya... Apakah mungkin.....

               NAIYA ANILLA MAHESA

                                 Binti

                   Praja Suirya Mahesa

                Lahir: 08 November 200

                Wafat: 24 Agustus 2021

Air mataku makin mengalir... Mengapa? Mengapa... Namaku... Nama Papa...? Hiks... Apa benar, aku... Aku sudah tiada? 

     "Aaaaaaaaa!!" Jeritku melengking. Tangisku menjadi-jadi.... 

     Aku ingat... Kecelakaan itu bukanlah ketidaksengajaan, tetapi memang aku sengaja menabrakan diri ke mobil yang melaju... Di saat itu Mama Papa bertengkar melibatkanku dan aku mau mereka berhenti bertengkar tetapi... Papa bilang lebih baik mati saja untuk berheti mendengar pertengkaran... Ya, aku melakukannya setelah itu. Ternyata, percobaan bunuh diriku berhasil... Karena adanya dorongan. 

     Aku menelungkupkan tubuh ke atas makamku. Pantas... Aku masih disini, karena aku bunuh diri. Aku tidak akan diterima di akhirat... Yah... Itu takdirku. Aku akan di sini sampai menunggu waktu aku akan diterima meski berpuluh-puluh tahun. Aku tidak akan mengangkat kepala meski sedaritadi dipanggil olehnya. Dan juga kini aku mendengar tangisan dan perkataan maaf dari orang yang sangat amat aku kenal. Ya, kedua orangtuaku.

 

 

Ikuti tulisan menarik Rifqah Aprilia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB