x

pssi

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 4 Desember 2021 19:33 WIB

Bila Penghambat Tak Disingkirkan, Mustahil Sepak Bola Nasional Bangkit

Rangkuman kusutnya sepak bola nasional oleh Drs. Supartono, M.Pd. (Supartono JW). Pengamat sepak bola dan pendidikan nasional. Dalam beberapa waktu saya sudah enggan menulis persoalan sepak bola nasional, pun enggan menulis perihal pendidikan nasional yang setali tiga uang masalahnya seperta sepak bola, kusut dan bikin Indonesia terus tercecer.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rangkuman kusutnya sepak bola nasional oleh Drs. Supartono, M.Pd. (Supartono JW). Pengamat sepak bola dan pendidikan nasional.

Dalam beberapa waktu saya sudah enggan menulis persoalan sepak bola nasional, pun enggan menulis perihal pendidikan nasional yang setali tiga uang masalahnya seperta sepak bola, kusut dan bikin Indonesia terus tercecer.

Ironisnya, saat saya enggan dan coba menghindar, justru saat bertemu dan bersinggungan dengan para pegiat sepak bola, baik di lapangan atau Stadion saat ada menyaksikan laga sepak bola. Atau melalui komunikasi media sosial, saya justru semakin sering mendapatkan pertanyaan dari publik menyoal sengkarut sepak bola nasional yang seolah untuk membuat sepak bola Indonesia bangkit, tingkat kesulitannya ibarat mencari sebuah jarum di dalam tumpukan jerami.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Biang keladi kusutnya sepak bola kita

Karenanya, berikut saya rangkum hasil kegelisahan publik yang sampai kepada saya, dan saya coba tulis dengan pendekatan sesuai fakta dan data di lapangan.= Perlu saya sampaikan, ada publik pecinta sepak bola nasional yang berharap pemerintah membekukan PSSI. PSSI di-nol-kan, lalu buat PSSI baru.

Ada publik yang bingung, betapa ringannya prasyarat seseorang mengambil lisensi pelatih sepak bola di Indonesia.

Ada yang terus bertanya, apakah instruktur pelatih untuk Kursus Lisensi Pelatih Sepak bola di Indonesia sudah ada penyegaran? Kompetensi dan profesionalisme Instruktur juga memenuhi syarat dari segi berbagai bidang keilmuan instruktur pelatih modern dan ada kualifikasi sertifikasi atau ijazahnya?

Banyak publik yang sangat prihatin, sepak bola akar rumput ( Usia anak dini atau PAUD di sekolah formal) justru di ampu oleh pembina/pelatih sepak bola yang hanya berlisensi Pelatih D. Sementara syarat bisa ikut kursus Lisensi D PSSI hanya rekomendasi surat dari SSB (untuk yang diselenggarakan Asprov/ Askab/Askot), setelah mengantongi Lisensi D lalu diizinkan melatih SSB/grassroots.

Hal ini tentu bukan tak disadari oleh PSSI maupun pemerintah. Dan, mengapa pemain timnas terus bermasalah? Karena di sektor akar rumput, sepak bola nasional dibiarkan dikelola oleh pihak yang salah atau pihak yang tak berkompeten secara profesionalismenya.

Seseorang yang tak pernah sekolah formal, seseorang yang bahkan tak pernah bersentuhan dengan sepak bola, seseorang yang sama sekali tidak tahu kehidupan dan bagaimana menghadapi anak-anak usia dini, bisa mengantongi Lisensi D, dan bisa menjadi pelatih di sepak bola akar rumput (Pondasi kehidupan, pondasi timnas). Padahal Pelatih=Guru!!!

Di jalur formal, anak usia PAUD, wajib di ampu oleh tenaga pendidik (guru) yang telah di atur dalam permendiknas. Untuk menjadi tenaga pendidik PAUD seseorang harus memiliki kualiikasi akademik minimum diloma empat (D4) atau strata sarjana (S1) dalam bidang pindidikan anak usia dini atau psikologi yang di peroleh dari progam studi yang terakreditas.

Pendidikannya, minimal ditempuh 4 tahun. Guru PAUD juga wajib memiliki syarat kompetensi, yaitu Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Profesional, Kompetensi Pedagogik, serta Kompetensi Sosial.

Apakah pemegang Lisensi D di Indonesia dalam kursus yang ditempuh hanya seminggu dibekali empat kompetensi yang wajib dikuasai pelatih/guru bagi anak usia dini? Juga pemegang Lisensi C, B, hingga A yang juga menjadi pelatih di sepak bola akar rumput?

Ayolah buka mata kita semua. Inilah pangkal benang kusut sepak bola nasional. Pondasinya tak diurus oleh pihak yang berkompten, tapi tak pernah disetop, tak pernah diurus, tak diperhatikan. Dibiarkan menjamur, sampai wadah sepak bola akar rumput bernama Sekolah Sepak Bola (SSB) yang juga tidak pernah lahir acuan bakunya dari PSSI, malah diselewengkan dan dibikin gaya-gayaan oleh para pegiat yang juga tak paham dunia pembinaan, pelatihan, dan pendidikan. Tak puas dengan nama SSB, lalu ada yang sok-sok-an bikin Soccer-Socceran, Akademi-Akademian, Diklat-Diklatan, tanpa tahu harus ada syarat apa untuk bikin wadah itu.

Konyolnya lagi, sudah gaya-gayaan bikin wadah lain dengan nama bukan SSB, berfestival, berturnamen, dan berkompetisi juga bareng dengan sesama SSB. Lucu sekali.

Meski begitu, saya juga mencatat, sudah ada SSB, Akademi, dan Diklat Sepak Bola di negeri ini yang dilahirkan, dibentuk, serta dikelola dengan syarat dan manajemen yang benar.

Usia PSSI jelang 92 tahun, lho

Usia PSSI menjelang 92 tahun (30 April 1930-2022). Seharusnya sudah banyak Karya Tulis, Karya Ilmiah, Skripsi, Tesis, sampai Disertasi dan lainnya, yang berbicara mengapa Timnas sulit berprestasi. Sehingga tak terus terjadi praduga negatif. Bila ada penelitian, maka ada hipotesis (praduga yang dapat dibuktikan kebenarannya) bahwa selama ini apakah benar sepak bola nasional terus bermasalah, timnas tak kunjung berprestasi, naturalisasi pemain menjadi jalan pintas, dan PSSI menjadi biang keladi dari semua benang kusut itu?

Bila sepak bola nasional mau bangkit, pemerintah pun wajib melihat dan sadar (see and aware) atas apa yang seharusnya dilakukan oleh PSSI yang terus menambah sepak bola nasional kusut dari masalah dan prestasi serta terus tertinggal oleh bangsa Asia Tenggara. Bukan malah setuju dan mendukung naturalisasi pemain demi meraih prestasi dengan cara instan dan potong kompas.

Tak pernah minta kritik dan saran=Kerajaan

Bila selama ini, ratusan bahkan ribuan artikel sudah saya tulis, khusus tentang sepak bola nasional, juga oleh para pengamat dan praktisi serta berbagai pihak yang mencintai dan peduli kepada sepak bola nasional, sepertinya bagi yang berada dan tetap duduk manis di PSSI, artikel-artikel itu sekadar bacaan koran, yang setelah lewat tanggal terbit, menjadi usang, lalu teronggok di lapak pedagang sayuran, lapak barang rongsokan, asongan, hingga tukang gorengan. Lebih bermakna untuk menjadi membungkus atau menjadi rupiah demi didaur ulang.

Itu semua terus lewat dan lewat saja. Bahkan, layaknya Perusahaan/Instansi/Instansi, yang selalu melakukan survei kepuasan dan ketidak puasan khalayak/nasabah/pengunjung/masyarakat dll, sekadar melakukan survei kepada publik sepak bola nasional terhadap kinerja PSSI dan jajaran pengurusnya karena sepak bola nasional terus melempem, itu pun tidak pernah dilakukan.

Jutaan kritik dan komentar dari berbagai pihak baik melaui media massa, media sosial, hingga media televisi, juga seperti angin lalu. Masuk kuping kiri langsung numpang lewat dan ke luar via kuping kanan.

Saat rapor pemain timnas Indonesia diusik dan melempem dalam hal TIPS (Teknik, Intelegensi, Personaliti, dan Speed) seperti yang sudah ditemukan, dirasakan, dihadapi, di lihat mata kepala sendiri oleh pelatih timnas Indonesia yang diimpor dari Korea Selatan, Shin Tae-yong (STy). Lalu, berbagai pihak juga mengungkap, meski sampai 40 tahun ke depan, timnas Indonesia akan sulit berprestasi. Terus tertinggal, bahkan sekadar di kawasan Asia Tenggara. Tercecer di bawah negara-negara kecil sekelas provinsi di wilayah Indonesia. Atau mungkin akan menunggu setelah 100 tahun. Sepertinya juga tetap hanya menjadi berita usang yang tak perlu ditanggapi oleh mereka.

Sifat pesimistis juga terus muncul di masyarakat. Bahkan, ada pihak secara gamblang mengungkap dengan alasan dan data bahwa pasukan Garuda yang diasuh STy, akan sulit menjadi juara Piala AFF edisi ke-13.

Kalau begitu, sebenarnya PSSI itu siapa? Mereka, yang ada di dalam PSSI, siapa sih? Harusnya amanah kepada publik sepak bola nasional, tapi ini malah PSSI menjadi 

Kerajaan. Bertindak semaunya sendiri? Tak pernah menggubris kritik, saran, dan masukan publik pecinta sepak bola nasional, yang notabenenya adalah pembiaya semua gelaran dan kontestasi sepak bola nasional.

Meski musim pandemi, sponsor masih mau menjadi pendukung PSSI dan Klub karena keberadaan ratusan juta suporter Indonesia yang menjadi pemirsa dan sasaran sponsor dan media televisi baik melalui saluran gratis maupun berbayar.

Atas kondisi ini, sejatinya, pemilik seutuhnya sepak bola nasional itu adalah rakyat Indonesia, bukan PSSI yang terus membikin kusut sepak bola nasional.

Bagaimana harapan publik sepak bola nasional dapat terwujud untuk melangkah dan berprestasi di tingkat Asia? Lalu, dunia? Bila benang kusut sepak bola nasional tak segera digunting. Ambil benang baru yang tahan tak kusut dan penuh kompetensi.

PSSI di-nol-kan

Banyak pihak yang berpikir, PSSI itu wajib di nol kan. Artinya, pengurusmya dibubarkan, bersihkan dari rezim yang terus menggerogoti dan terus bikin kusut, voternya diperbaharui, dan otomatis statutanya juga disesuaikan dengan kondisi dan perubahan zaman. Pemerintah harus hadir mengatasi hal ini. Lebih baik PSSI dibekukan oleh pemerintah dan disanksi FIFA beberapa tahun, namun setelah PSSI diperbaharui di semua lini, sepak bola nasional bisa bangkit, tak harus menunggu puluhan tahun baru bisa berprestasi. Tak perlu kebakaran jenggot karena cara instan naturalisasi pemain dan potong kompas.

Pemerintah wajib menyadari bahwa yang bisa membantu masalah sepak bola nasional memang harus Pemerintah, karena rakyat memang sudah dibikin lemah oleh statuta dan keberadaan voters yang bak pemilik kerajaan PSSI.

Rajanya para voters. Para voters inilah yang dijadikan tameng dan dikendalikan oleh wajah-wajah lama yang tak pernah mau lepas dari PSSI demi uang dan kepentingan pribadi, kelompok, golongan, dan politik dan terus bersembunyi di balik Atatuta PSSI yang mereka cipta sendiri, dan berlindung di balik Statuta FIFA.

Sepak bola nasional dibiayai oleh ratusan juta rakyat Indonesia, lho. Namun, Pemerintah dan rakyat tidak dapat menyentuh PSSI dan sepak bola nasional, karena sudah dibentengi oleh Statuta FIFA maupun PSSI, dengan kekuatan voters yang hanya peduli pada kepentingan mereka sendiri dan uang. Bukan kepentingan publik.

Lihatlah, dalam Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI terakhir, siapa voters itu? Ternyata jumlahnya hanya 86 voters yang terdiri dari 34 Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI, 18 klub Liga 1 2019, 22 klub Liga 2 2019, 10 klub Liga 3 2019, 1 Asosiasi Futsal, dan 1 Asosiasi Sepak Bola Wanita. Di mana keberadaan pemerintah dan publik sepak bola nasional?

Di seluruh dunia, sepak bola telah menjadi kebanggaan dan prestise untuk sebuah negara. Setiap federasi sepak bola di negara lain terus berjibaku dan berjuang membikin timnas berprestasi dengan melakukan tindakan dan perbuatan komprehensif, terstruktur, dan terprogram.

Disentuh oleh individu yang kompeten dan profesional di bidangnya. Itulah sebabnya, di kawasan Asia Tenggara saja, siapa yang sepak bolanya tambah maju, siapa yang sepak bolanya terus terpuruk, ranking FIFA adalah jawaban nyata. Di mana posisi Indonesia?

Posisi Indonesia ada di bagian yang terus terpuruk. Karenanya, publik sudah sangat gerah. Publik berharap PSSI di-nol-kan alias dibekukan saja. Lalu bikin PSSI wajah baru. Bersihkan sepak bola nasional dari rezim lama sampai ke akar-akarnya. Jangan biarkan.

Ibarat menanam dan merawat pohon yang benar= Bila kita menanam pohon yang benar, maka langkahnya dapat dimulai dari menanam dari biji, stek batang, cangok, atau beli pohon jadi dari penjual tanaman.

Bila pembinaan dan regenerasi sepak bola nasional saya analogikan dengan empat cara menanam dan merawat pohon, maka cara menamam dengan biji adalah cara konvensional. Di sepak bola akar rumput sama dengan membina dan melatih anak-anak usia sejak dini dengan cara dan asupan yang benar, pun dididik oleh pelatih=guru yang berkompeten.

Sehingga dasar Teknik, Intelegensi, Personaliti, dan Speed (TIPS) anak-anak diolah, diasuh, dirawat, di evaluasi dengan cara yang benar sesuai teori dan praktik akademis.

Bila membentuk calon pemain timnas dengan stek batang atau cangkok, itu ibarat meminta pemain keturunan yang sudah di bina ilmu dan praktik sepak bolanya di negara lain, Indonesia tinggal memetik tanpa menanm, dengan menyetek batang (baca: pemain) gabung dalam timnas Indonesia setelah melalui proses naturalisasi warga keturunan.

Cara yang paling instan adalah membeli pohon yang sudah jadi di tukang tanaman. Ini sama saja dengan menaturalisasi pemain dari Warga Negara Asing (WNA) dengan prasyarat naturalisasi.

Jadi, untuk membentuk timnas yang handal, tidak melempem fisik (speed) tidak lemah berpikir, cerdas otak dan emosi (intelegensi dan personaliti), serta kompeten dalam passing-control (teknik), harus dengan cara menanam dari biji? Dari stek batang? Cangkok? Atau beli tanaman jadi di penjual tanaman?

Apakah sepak bola akar rumput akan terus dibiarkan dikelola olah orang yang tidak kompeten dan bukan ahli di anak usia dini? Sehingga anak-anak akan terus dicekoki dasar teknik dan speed sepak bola yang salah, pun tak pernah mendapat keseimbangan asupan untuk intelegensi dan personaliti karena pembina dan pelatihnya tak memenuhi prasyarat mengampu anak usia dini dengan benar.

Meski hanya sekadar permainan sepak bola, dalam pembelajaran, pelatihan, pembinaan, dan pendidikan usia dini, pembina dan pelatih wajib memiliki kecakapan Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Profesional, Kompetensi Pedagogik, serta Kompetensi Sosial.

Sudah menjadi persoalan klasik, individu yang memilih menjadi pesepak bola di Indonesia, rata-rata nilai rapor di sekolah formalnya sekadar formalitas. Tak belajar tapi ada nilai di rapor. Pertanyaannya, kapan dan di mana siswa yang menggeluti sepak bola, terdidik di sekolah formal dengan benar? Artinya intelegensi dan personaliti tak tersentuh, siswa hanya dicekoki teknik dan speed sepak bola, tanpa dasar kecerdasan otak dan emosi yang kuat.

Bagaimana siswa atau pesepak bola yang tak kuat asupan intelegensi dan personalitinya dapat cerdas dan tak emosional dalam bermain sepak bola? Karena itu, fisiknya pun tetap lemah, passing-control bermasalah, karena asupan pembinaan dan pendidikan untuk intelegensi dan personaliti kurang atau tak pernah diberikan. Fatal.

Lihatlah kabar terbaru, di laga Liga 3 di salah satu provinsi Indonesia, mantan pemain yang pernah berjersey timnas Indonesia, bisa terprovokasi penonton. Lalu naik ke tribun dan menendang penonton. Wasit pun melayangkan kartu merah. Apakah cukup dengan hukuman kartu merah? Lalu di laga-laga lain, betapa sepak bola Indonesia jadi ajang adu bogem mentah, meski di lapangan bola?

Semoga, di tangan STy, timnas yang ditugasi membawa nama bangsa dapat lepas dari kutukan spesislis runner-up Piala AFF yang tinggal hitungan jam lagi bergulir.

Dan bagaimana pemerintah? Tidak susah mencari jarum di tumpukan jerami lho. Seperti bagaimana membuat sepak bola nasional bangkit.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler