x

Iklan

Husnud Diana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Desember 2021

Minggu, 5 Desember 2021 06:04 WIB

Belajar, Mengajar, dan Memanusiakan Hubungan

Refleksi perjalanan sebagai guru selama pandemi covid-19 melanda. Memaknai merdeka belajar sebagai proses menjadi guru sekaligus murid, belajar dimana saja, dengan siapa saja. Mengambil hikmah dan pelajaran, untuk menjadi guru yang lebih berdampak dan memanusiakan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat menulis ini, saya teringat kembali ucapan pak Bukik pada video Temu Pendidik Nusantara. Kata beliau "Pandemi ini menyulitkan, tapi tidak menyurutkan". Benar sekali ! Pandemi ini memang sangat membuat tidak nyaman. Kondisi ini "memaksa" saya mau tidak mau belajar banyak sekali hal-hal baru. Tak pelak di awal-awal pembelajaran jarak jauh, mengajar terpaksa 'Trial and error', karena minimnya pengetahuan dan kesiapan. Kondisi yang  sangat meresahkan.

Gak lucu kalau mengajar melulu dengan cara mengirim materi pembelajaran dalam bentuk powerpoint, sudah begitu hasil download an lagi. Murid-murid juga sudah mulai bosan dengan banyaknya tugas. Mengerjakan iya, paham belum tentu. Beruntungnya, di saat pandemi inilah justru pelatihan-pelatihan guru menjamur. Informasi diklat terbuka lebar dan dapat diakses oleh siapa saja. Ini seperti memetik mangga di musim mangga. Ada yang pro aktif mengambil galah, memanjat pohon, maka dapatlah banyak. Ada juga yang menunggunya jatuh sendiri, ada pula yang hanya bisa memandang menjadi penonton, akhirnya tertinggal jauh.

Seingat saya, pelatihan pertama yang saya ikuti adalah Didamba yang diadakan oleh P4TK IPA Kemdikbud di awal tahun 2020. Dari sinilah saya punya bekal untuk merancang pembelajaran menggunakan LMS (Learning Management System) Schoology. Liburan semester saya habis untuk merancang ini. Rasa lelah terbayar lunas saat murid-murid saya begitu antusias mengikuti pembelajaran menggunakan media yang saya buat ini. Dering notifikasi whatsapp bertubi-tubi menghiasi hari-hari saya. Belajar menggunakan LMS membantu murid-murid belajar lebih fleksibel, namun tetap bertanggung jawab. Beberapa murid menjadi lebih terbuka dengan kondisinya, ada yang meminta diizinkan menggunakan 1 HP bertiga, ada yang mengabari tidak bisa membuka LMS di pagi hari karena harus membantu orang tua, ada pula yang harus berjuang menanti sinyal. Mereka berjuang ! Murid-muridku yang nun jauh dari keramaian kota, di pelosok kaki Rinjani.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Geliat perubahan sangat terasa. Merdeka Belajar menggema di seantero negeri. Murid dan guru terus berdaptasi dengan wabah. Kita menyebutnya dengan masa New Normal. Beruntungnya kami di Lombok Timur, di akhir tahun 2020 pembelajaran secara tatap mulai diadakan. Meskipun terbatas dan beberapa kali harus kembali belajar di rumah jika peningkatan kasus covid-19 terjadi lagi. Meski demikian, rasanya tantangan semakin berat saja.

 Butuh bekal dan amunisi lebih banyak untuk mampu bertahan dan mengatasinya. Belajar dan mengajar jadi satu paket. Semua murid semua guru. Begitulah saya memaknai merdeka belajar. Tanpa keraguan saya mendaftar dalam program Guru Penggerak angkatan 1 kabupaten Lombok Timur. Melangkah seorang diri itu gak enak, kita butuh komunitas yang menginspirasi dan saling menguatkan. Dari program inilah saya mendapatkan pemahaman yang lebih utuh tentang murid. Menumbuhkan empati, menjadi lebih peka dengan masalah murid dalam pembelajaran, membuat inovasi dan aksi nyata yang berdampak pada murid, lebih peduli terhadap teman sejawat dan menumbuhkan jiwa kepemimpinan.

Sembilan bulan lamanya saya mengikuti program ini, dengan semangat yang tidak selalu naik dan menanjak. Ada kalanya surut terlebih saat tugas-tugas menumpuk. Apalagi dibarengi dengan keharusan menunaikan tanggung jawab sebagai ibu di rumah. Saat ini terjadi, perlu untuk berbagi peran dengan pasangan (suami/istri). Menjaga komunikasi, dan duduk bersama mendiskusikan jalan keluar terbaik. Sangat sulit berjalan sendiri, tanpa dukungan dari keluarga.

Ada satu bagian pembelajaran yang sangat berkesan saat menjalani program guru penggerak. Yaitu saat mendapatkan tugas Coaching dengan murid. Saya memilih seorang murid yang paling berulah di kelas 9. Tadinya saya pikir akan sulit membuatnya terbuka, ternyata tidak sama sekali. Pembicaraan kami mengalir dengan sendirinya. Dia banyak terbuka dengan kondisi keluarganya, cita-citanya, termasuk mengapa sering berulah di kelas. Saya baru tahu kalau selama ini dia hidup jauh dari kedua orang tuanya nun jauh di Aceh. Dengan kondisi orangtua yang juga bercerai. Akhirnya menjalani hari-hari bersama kakek dan nenek yang telah renta.

Jiwa sentimentil saya meronta-ronta. Apalagi saat melihatnya berbinar-binar mengatakan, “Ibu saya masih sering telpon koq bu guru”, “saya kangen sekali pengen ketemu Ibu…”. Kalau dia perempuan, mungkin sudah saya peluk erat-erat. Oh Tuhan…

Setelah sesi coaching itu, sedikit banyak perubahan mulai terlihat. Dia tidak lagi seusil biasanya. Seajaib itu ternyata hasil dari proses memahami murid. Memaknai merdeka belajar tidak hanya sebatas belajar menjadi pintar, tetapi lebih kepada memanusiakan hubungan. Jika boleh berujar, kalau bukan karena pandemi, mungkin saya tidak akan mengalami semua peristiwa menakjubkan ini.  

 

 

Ikuti tulisan menarik Husnud Diana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB