Mata saya tetap mengawasi mereka. Sesekali saya berdehem keras untuk menandakan saya tidak setuju dengan sikap dan tingkah laku yang dilakukan.
Saya pindah berdiri ke lokasi terdekat dari sumber kegaduhan. Saya berdiri disana dan diam saja memperhatikan. Terjadi perubahan, siswa yang dari awal ujian berlangsung selalu ribut, menjadi tenang dan kemudian menunduk saja.
Sayangnya, satu sisi berhasil saya kendalikan, namun di sisi lain kejadian yang sama juga berulang. Mereka "seenaknya" saja melihat lembar jawaban peserta ujian lain, berbicara satu sama lain, seakan-akan saya yang berada di depan, hanyalah patung dan bukanlah Pengawas Ujian.
Pengalaman pertama kali mengawas ujian di Sekolah pada Tahun 2014 itu selalu membekas di benak saya. Waktu itu, saya merupakan guru muda yang baru saja lulus seleksi dan mulai melaksanakan tugas di satuan pendidikan tempat saya ditempatkan.
Pemandangan ujian yang saya saksikan, juga dirasakan oleh teman-teman saya yang sama-sama baru lulus seleksi.
"Mereka sama sekali tidak menghargai kita". Guru berkacamata berkata.
"Mungkin mereka tahu kita guru baru yang tidak pernah mengajar mereka". Teman satu lagi berkomentar.
Saat itu saya hanya diam saja, namun dalam hati, saya punya tekad yang jelas.
"Saya akan abdikan diri saya untuk mendidik mereka".
Saya mulai merasakan menjadi seorang guru seutuhnya pada Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2014-2015. Tepatnya Juli 2014, genaplah saya mengemban amanah sebagai seorang guru dan pendidik. Sesuatu yang memang sudah menjadi cita-cita saya semenjak kecil.
Hari pertama masuk kelas, saya sama sekali tidak mengajar. Hari itu saya hanya mengajak bercerita dan mengobrol peserta didik. Mulai dari perkenalan diri saya, perkenalan diri peserta didik hingga kemudian kita tertawa bersama, karena ada tingkah dan kelucuan dari peserta didik ketika mereka saya minta untuk memperkenalkan diri di depan kelas.
Selesai dari game perkenalan diri, kegiatan kami lanjutkan dengan membuat kesepakatan kelas. Kesepakatan kelas tersebut merupakan hasil musyawarah antara guru dengan peserta didik, yang tujuannya jelas, menjamin hak dan kewajiban peserta didik.
Poin-poin kesepakatan tersebut berbeda di setiap kelas, namun secara prinsip kesepakatannya terdiri dari : 1. Guru dan siswa masuk kelas sesuai jadwal yang telah ditentukan 2. Siswa mengerjakan semua kegiatan belajarnya dengan mandiri dan tanggung jawab 3. Tidak ada yang tidak hadir kecuali dalam keadaan sakit. 4. Kejujuran merupakan Penilaian paling utama, Dalam setiap ujian, Sekali mencontek nilai gagal dan tidak akan pernah dituntaskan. 5. Yang mempunyai masalah silahkan langsung diskusi dengan guru.
Kesepakatan yang terbangun diawal, kemudian dilaksanakan sesuai komitmen bersama dalam proses pembelajaran di ruang kelas atau labor komputer, karena saya mengampu mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Dalam ruang kelas, kesepakatan tersebut juga didukung dengan program-program penguatan karakter bagi peserta didik.
Pertama, Karakter beriman kita lakukan dengan selalu memulai kelas dengan berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Kedua, karakter disiplin kita tanamkan dengan cara yang terlambat, baik guru mapupun siswa harus berdiri di depan kelas dan menyatakan bahwa saya meminta maaf karena terlambat.
"Ananda semua, mohon maaf dan izin bahwasanya hari ini Bapak terlambat masuk kelas karena ada rapat yang harus dihadiri".
"Teman-teman semua, mohon maaf saya terlambat"
Permohonan maaf tersebut harus diterima lebih dahulu oleh seluruh kelas, baru kemudian yang terlambat diizinkan masuk mengikuti kegiatan pembelajaran.
Ketiga, karakter saling menghormati dan menghargai. Setiap satu orang berbicara, maka yang lain mendengarkan dan baru boleh menanggapi ketika temannya telah selesai. Begitu juga ketika guru menjelaskan dan menerangkan, siswa juga harus melihat dan mendengarkan apa yang disampaikan oleh guru, setelahnya mereka dipersilahkan untuk melanjutkan pekerjaannya.
Keempat, Karakter Kejujuran. Karakter yang paling menjadi prioritas utama saya dari mulai pertama mengajar. "Sekali kalian mencontek dan berdiskusi dengan teman ketika ujian, maka nilainya langsung nol dan tidak akan pernah saya tuntaskan. Jadi silahkan kerjakan sendiri, dan jika tidak tuntas nanti kita akan pelajari kembali".
Pada bagian ini, saya merasakan perubahan yang sangat besar pada peserta didik. Di awal-awal saya mulai mengajar, ada yang mencoba-coba untuk menguji saya. Namun, karena sudah kesepakatan dari awal, yang mencontoh dan berkerja sama waktu ujian tersebut, lembar jawabannya langsung saya robek di depan mereka dan teman-teman sekelas.
"Saya tidak butuh isi otak teman-teman kamu. Saya lebih menghargai apa yang kamu dapatkan dari usaha sendiri walaupun itu nilainya rendah, dibandingkan kamu mendapatkan nilai tinggi namun dengan cara-cara curang". Kata-kata itulah yang sampai sekarang masih saya terapkan dalam pembelajaran.
Bagi saya, penekanan utama saya kepada siswa adalah soal prinsip nilai. "Nilai bukanlah tujuan utama kita belajar, nilai hanya efek samping akibat proses pembelajaran yang ananda lakukan. Maka berhenti belajar dengan saya kalau hanya untuk sekedar nilai, karena saya bisa memberikan ananda nilai berapa saja, namun tujuan utama kita belajar adalah memberikan ananda pengalaman dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkembang dan maju".
Dalam upaya mendukung kemerdekaan belajar, semenjak dari awal mulai melaksanakan pembelajaran, saya selalu memberikan kebebasan peserta didik untuk belajar sesuai dengan gaya dan kesukaan masing-masing, namun tetap menjaga adab dan etika.
"Ananda, silahkan belajar sesuai dengan apa yang disenangi. Boleh belajar dengan saya, boleh belajar dengan temannya, boleh belajar dengan melihat youtube ataupun internet, syaratnya kita bisa mengerjakan proyek yang kita sepakati ya!".
Oleh karenanya, jangan heran dalam kegiatan pembelajaran, setelah saya menyampaikan pengantar dan petunjuk pelaksanaan tugas, suasana kelas akan riuh rendah. Ada yang membuka internet dan mencari proses pembuatan proyek dari sana, ada yang membaca dari modul yang dikerjakan, ada yang bertanya langsung kepada saya, dan ada yang ditutorkan oleh temannya yang sudah bisa.
Ibarat siang dan malam, begitulah kelas yang terbangun. Ketika belajar mereka riuh rendah dan sibuk mengerjakan proyek masing-masing, dengan minat dan kesenangan yang berbeda satu sama lain, bahkan sampai ada yang tertawa bersama. Namun ketika penilaian mereka serius dan mengedepankan integritas sehingga tidak berani berbuat curang.
Karakter berikutnya yang saya bangun adalah karakter budaya kerja, karena kita di SMK tentu dituntut untuk memiliki budaya kerja sesuai dengan kompetensi keahlian atau jurusan masing-masing.
Prinsip Budaya Kerja atau yang biasa disebut 5 R selalu diterapkan bagi siswa dalam proses pembelajaran.
- Ringkas. Setiap siswa membawa buku, alat tulis dan gawai ke meja komputernya masing-masing.
- Rapi. Penyusunan sepatu dan tas sudah dijelaskan semenjak awal pertemuan, dimana sepatu diletakkan di bagian bawah dan tas siswa diletakkan di bagian atas. Begitu juga dengan penggunaan kursi, setiap kursi sudah harus dalam kondisi rapi kembali setelah digunakan. Bagi yang tidak merapikan kembali akan dipanggil dan wajib merapikan sendiri.
- Resik. Semua barang-barang dan kertas-kertas yang sudah tidak berguna selalu dibersihkan oleh peserta didik setiap kali akan mulai dan selesai praktek. Awalnya masih diingatkan, namun setelahnya itu sudah menjadi budaya.
- Rawat. Setiap peserta didik diajarkan adab menggunakan alat-alat praktek, ada yang awalnya menekan dengan keras, namun setelah diingatkan, semua peserta didik mampu merawat peralatan pratikum yang disediakan oleh sekolah. Salah satu contoh utama keberhasilan dari prinsip ini adalah awetnya umur alat-alat yang digunakan.
- Rajin. Gaya belajar siswa diserahkan kepada konsep diri mereka, namun kerajinan dalam melaksanakan kegiatan pratikum dan mengerjakan proyek pembelajaran yang diberikan merupakan penilaian utama. Hal ini sangat nampak bagaimana semua siswa seratus persen bersemangat menyelesaikan tantangan tugas yang diberikan oleh guru.
Selama proses pembelajaran yang dilakukan, saya lebih banyak sebagai fasilitator dan pengamat, dan hanya sesekali saya menjadi tutor atau coach.
Selama proses pembelajaran tersebut, saya kadang duduk di sebelah siswa, berdiskusi dan bertanya serta membantu mereka mengerjakan tugas-tugasnya. Kadang, di satu waktu saya menjadi tukang urut siswa, mereka bekerja sambil saya urut-urut, ada yang pundaknya saya pegang seperti memegang seorang teman, dan kadang ada siswa yang kepalanya saya usap, namun tentu siswanya siswa laki-laki ya..hehe.
Saya meyakini, interaksi yang saya lakukan, dengan memberikan sentuhan langsung kepada siswa laki-laki, menjadi daya perekat hubungan antara saya guru dengan peserta didik. Saya banyak mendapatkan, siswa yang berkategori "nakal" bagi guru lain merupakan siswa yang paling dekat dengan saya.
Muara proses pembelajaran kemudian diakhiri dengan kembali merefleksikan apa yang sudah dipelajari hari ini. Hal yang selalu saya lakukan dalam mengakhiri proses pembelajaran.
"Masuk kosong, keluar minimal dapat satu saja untuk hari ini". kata-kata sakti ini selalu saya sampaikan kepada peserta didik sebagai penyemangat kegiatan refleksi.
"Ananda, apa yang kita dapatkan atau pelajari hari ini?" biasanya ini akan menjadi pertanyaan pamungkas saya.
"Hari ini kami belajar materi Algoritma pak!"
"Saya mengerti bagaimana proses perhitungan akutansi di aplikasi pengolah angka Pak!". beserta dengan jawaban-jawaban lain yang meluncur dari mulut siswa.
Penutup dari kegiatan tersebut, barulah saya merangkum apa yang disampaikan oleh siswa serta menyampaikan apa rencana pembelajaran berikutnya.
Proses pendidikan tidak selesai hanya di dalam ruangan kelas saja. Karena secara pribadi, saya membuka diri untuk siswa yang butuh bantuan apapun untuk menunjang proses belajarnya.
"Ruang kerja saya terbuka untuk ananda semua"
Pernah satu waktu, saya menemukan seorang siswa yang sering termenung didalam kelas, saya perhatikan beberapa kali pertemuan tidak ada perubahan, kemudian saya panggil untuk berbicara empat mata.
Banyak hal yang saya temukan dengan mengadakan sesi curhat dengan siswa. Kadang setelah sesi tersebut, tanpa sadar air mata saya mengalir dengan sendirinya, bagaimana beban yang begitu berat sudah tertanggung di pundaknya. Namun, kadang saya juga sampai tersenyum sendiri dan tertawa lepas karena kasus yang dihadapi siswa.
Hasil dari sesi curhat dengan siswa kita kelompokkan. Kasus yang bisa saya selesaikan dengan mendengarkan saja, maka cukup sampai di saya saja. Namun, kasus-kasus yang butuh bantuan dan dukungan dari pihak sekolah maka akan saya komunikasikan dengan pihak sekolah.
Salah satu bentuk dukungan sekolah adalah pada tahun ini, dimana siswa yang orang tuanya hanya pemulung dan sudah meninggal dunia kedua-duanya, terpilih sebagai mahasiswa undangan pada salah satu perguruan tinggi kedinasan, kemudian mengundurkan diri karena tidak punya biaya untuk membeli seragam dan berangkat.
"Tidak ada ceritanya siswa gagal melanjutkan pendidikan hanya gara-gara uang!". Itu kata-kata yang saya sampaikan di depan siswa tersebut. Setelah itu, saya buatkan surat pengantar dari sekolah mohon bantuan ke Baznaz, dan kemudian saya mengumpulkan sumbangan dari teman-teman guru yang lain.
Alhamdullilah, luar biasa, siswa yang awalnya dengan wajah sembab datang menemui saya mau mengundurkan diri, setelah kita serahkan bantuan dan sumbangan yang didapatkan dari Baznaz dan Para guru nampak tak kuasa menahan haru.
"Terima Kasih Pak". Ujarnya sambil menyalami saya.
"Tidak perlu berterima kasih, Sudah tugas dan tanggung jawab kami mengantarkan ananda".
"Tapi sekali lagi terima kasih Pak" ujarnya sambil melap matanya. Melihat itu saya juga tak kuasa menahan bulir-bulir hangat di sudut mata.
Padang, 3 Desember 2021
Ikuti tulisan menarik Riyan Fernandes lainnya di sini.