x

poster film hasil karya siswa

Iklan

Nita Dananti Dewi, S.Pd

Guru Sejarah SMA N 1 Jatisrono
Bergabung Sejak: 25 November 2021

Minggu, 5 Desember 2021 08:35 WIB

Bioskop Merdeka: Sebuah Panggung Belajar Sejarah Indonesia untuk Mengimplementasikan Kecerdasan Majemuk Siswa

Sebuah pengalaman pembelajaran sejarah dengan mengimplementasikan kecerdasan majemuk siswa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“We should spend less time ranking children and more time helping them to identify their natural competencies and gifts and cultivate these. There are hundreds and hundreds of way to succeed and many, many different abilities that will help you get there”

Howard Gardner

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namanya Wisnu, siswa  kelas XI MIPA 6. Sukanya tidur-tiduran di dalam kelas, lambat memahami materi pelajaran, tidak pernah aktif di setiap diskusi, dan peringkat terendah di setiap kegiatan penilaian. Sekilas dalam kelas yang terbatas, tidak mudah bagi saya gurunya untuk memahami dan menemukan kelebihan dari anak itu. Sosok remaja kurang motivasi belajar, dengan muka lugu yang sering dianggap teman-temannya lucu, demikianlah saya sebagai gurunya mencoba mendiskripsikan profilnya. Wisnu si badut kelas. Tanpa banyak usaha dia begitu mudah membuat teman-temannya tertawa. Apakah itu keistimewaanmu, nak? Lalu apakah itu bisa disebut sebagai kelebihan? Saya sebagai gurunya sering bertanya-tanya.

Dalam pantauan saya, semakin lama Wisnu semakin berani mencetuskan kelucuan tiap mendapat kesempatan berbicara. Kadang terselip rasa kesal melihat dan menyadari kalau anak itu sepertinya menikmati ditertawakan oleh teman-temannya. Tapi kemudian rasa kesal itu berangsur memudar ketika melihat keceriaan dan kegembiraan anak-anak kelas XI MIPA 6 merespons setiap kekonyolan Wisnu. Saya merasakan kemurnian dan ketulusan ada di sana. Wisnu juga tampak nyaman mendapat perhatian dari teman-teman sekelasnya. Sungguh anak itu sangat beruntung  berada di tengah-tengah teman sekelas yang menerimanya, memberinya panggung, menjadi audiens yang setia, dan memberi umpan balik serta apresiasi berupa gelak tawa riang mereka. Kepercayaan diri Wisnu tumbuh dan berkembang dengan cukup baik dalam ‘panggung’ ini. Dia berekspresi, menerima tanggapan positif, merasa berhasil menghibur teman-temannya dan bergembira dalam pengalamannya itu.

Panggung kecil tak kasat mata yang dibuat anak-anak inilah yang kemudian menginspirasi saya sebagai guru mereka. Kenapa kita tidak buat panggung yang sedikit lebih besar agar lebih banyak anak bisa merasakan pengalaman seperti Wisnu: berekspresi, menerima respons dan apresiasi dari audiens, serta bergembira atas pengalamannya itu. Pemikiran awal ini membuat saya bersemangat. Selanjutnya hal pertama yang terpikirkan untuk merealisasikan ide abstrak ‘panggung’ ini adalah bahwa kami membutuhkan sebuah media nyata. Sebuah media yang tepat dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi agar panggung mereka bisa mendapat respon dan apresiasi dari audiens yang lebih luas.

Bioskop Merdeka, demikian kami merealisasikan ide ‘panggung’ yang dengan ‘deg-degan’ kami gelar. Sebuah proyek kecil pembuatan film pendek bertema sejarah untuk memenuhi Tugas Mata Pelajaran Sejarah Indonesia Kelas XI Semester Genap Tahun Pelajaran 2018-2019 di SMA Negeri 1 Jatisrono. Sebuah panggung belajar, sebuah tantangan baru bagi siswa sekaligus bagi guru sebagai pembelajar. Pada awalnya tidak mudah meyakinkan siswa untuk menyambut tantangan ini. Dari empat kelas yaitu XI MIPA 6, XI MIPA 5, XI MIPA 4, dan XI IPS 1, hampir semua menyatakan bahwa tugas terlalu berat. Anak-anak merasa sangat awam dengan sinematografi atau teknik pembuatan film. Kebanyakan dari mereka hanya mengenal dan mengoperasikan sebatas kamera handphone saja, dan tidak ada yang menguasai program editing video. Anak-anak pada awalnya merasa terbebani, dan disinilah saya melihat peran guru sebagai fasilitator dan motivator benar-benar mereka butuhkan.

Dikutip dari Mergendoller dan Thomas dalam Managing Project Based Learning : Principles from The Field, proyek merupakan tugas yang kompleks, berdasarkan pada tema menantang yang melibatkan siswa dalam mendesain, problem solving, mengambil keputusan, dan kegiatan investigasi. Di sini siswa diberikan kesempatan bekerja dalam waktu yang telah dijadwalkan untuk menghasilkan sebuah produk.

Memproduksi sebuah film pendek memang bukan tugas yang ringan. Dari mulai merancang konsep, ide cerita, riset, penulisan skenario, casting, menyiapkan peralatan, menyiapkan kostum, menyiapkan setting, hingga proses shooting, dan editing. Sungguh sebuah tantangan besar yang mungkin membutuhkan pengorbanan waktu, tenaga, dan biaya yang besar pula. Siswa-siswa terlebih dahulu diberikan pengertian bahwa dalam proses produksi film pendek, mereka mungkin harus menghadapi banyak kendala teknis maupun non teknis. Tapi yang tidak kalah penting dari itu adalah pemberian motivasi kepada siswa bahwa semua itu akan sepadan dengan hasil yang akan mereka dapatkan.

Dari pesimis menjadi sedikit optimis, dari ragu-ragu menjadi harap-harap cemas tapi menggebu. Semua itu tergambar dalam kilatan-kilatan mata bening anak-anak muda itu saat guru mulai menjelaskan apa yang akan mereka dapatkan dari proyek film pendek mereka. Sesuatu yang lebih berharga dari nilai di atas kertas, yaitu pengalaman belajar dan sebuah cenderamata. Sebuah cenderamata dari masa SMA mereka yang tidak bisa terulang lagi di masa yang akan datang. Sebuah rekaman kisah perjuangan sahabat satu kelas, satu tim dalam menaklukan tantangan demi menjadi yang terbaik. Para siswa diajak membayangkan saat mereka dewasa nanti, mereka akan melihat dokumentasi karya film mereka, merasa rindu dengan teman-teman SMA dan bangga atas pencapaian mereka. Gambaran itu rupanya membuat mereka jauh lebih bersemangat dan termotivasi.

Ada 4 naskah film pendek yang dipersiapkan guru untuk 4 kelas. Tiap naskah sengaja ditulis guru dan disesuaikan dengan memperhatikan ragam corak masing-masing kelas. Konsep film disusun tidak hanya untuk menyampaikan pesan moral kisah sejarah, tapi juga sekaligus untuk mengeksplorasi bakat siswa yang beragam. Proses produksi film memang membutuhkan banyak talenta. Dari mulai penulis skenario, sutradara, aktor, kameramen, videographer, make up artist, penata musik, penata artistik, pencatat adegan, sampai kru yang mengurusi katering, semua memerlukan yang sering disebut orang dengan istilah bakat atau talenta. Howard Gardner mengkategorikan ini sebagai kecerdasan.

Dikutip dari C. Asri Budiningsih dalam Pembelajaran Kecerdasan Ganda sebagai Upaya Mengembangkan Keterampilan Hidup, kecerdasan adalah suatu kemampuan untuk memecahkan masalah atau menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan di dalam latar budaya tertentu. Penelitian Gardner mengidentifikasi ada 10 macam kecerdasan manusia dalam memahami dunia nyata, yaitu: kecerdasan verbal/bahasa, kecerdasan logika/matematika, kecerdasan visual/ruang, kecerdasan tubuh/gerak tubuh, kecerdasan musikal/ritmik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan eksistensial.

Setiap siswa memiliki perbedaan kecenderungan dalam perkembangan kecerdasan majemuknya. Dengan pertimbangan itu maka pembagian tugas dalam proyek film pendek ini diusahakan menempatkan siswa pada posisi yang tepat sesuai dengan kecenderungan kecerdasannya. Untuk hal ini guru selain mengandalkan pengamatan sendiri, juga menerima saran dan masukan dari para siswa yang sudah sangat mengenal teman-teman mereka sendiri. Siswa yang gemar menulis diminta membantu mengembangkan naskah skenario, siswa yang cakap memimpin dan mampu menerjemahkan skenario diserahi tanggung jawab sebagai sutradara, siswa yang jago menggambar bertugas mendesain poster film, siswa yang juara lomba puisi bertugas sebagai narator, siswa dengan sifat unik tertentu ditunjuk memerankan tokoh yang sesuai dengan karakternya.

Seisi penghuni kelas XI MIPA 6 kompak dengan guru menunjuk Wisnu sebagai pemeran utama film historical comedy mereka yang berjudul  Kopral Jono. Naskah Kopral Jono sendiri terinspirasi dari lagu karya komposer besar Indonesia, Ismail Marzuki. Berkisah tentang seorang pejuang RI berpangkat kopral, berjambul dan dikagumi para wanita. Demi menjiwai peran ini, Wisnu memanjangkan poninya demi memiliki jambul. Ia sampai harus kucing-kucingan dengan Bu Trecy guru BK saat ada razia rambut gondrong. Selain Wisnu, beberapa siswa tampil dan mampu mencuri perhatian. Ada Bagus yang memerankan Sersan Bagus si antagonis, dengan bagusnya. Ada Nadia yang memerankan gadis kebaya pemain ukulele, ada Erna si cantik sipit yang memerankan Amoy bersuara merdu, juga ketua kelas Rahman yang memerankan tokoh Ismail Marzuki sang pencipta lagu. Semua siswa mendapatkan kesempatan untuk menampilkan kelebihan dan kemampuan mereka. Bahkan kiprah siswa yang bertugas sebagai kru belakang layar pun terekam dan terdokumentasi dengan baik dalam video behind the scene.

Cerita mengharukan datang dari proses produksi film pendek Kelas XI MIPA 5.  Proyek film yang disutradarai  Erisa, sang ketua kelas itu mengambil judul The Voice of Freedom. Mengisahkan perjuangan insan pers, para wartawan radio dalam menyuarakan dan menyebarkan kabar proklamasi ke seluruh dunia. Beberapa pemain dan kru sempat menangis terharu di salah satu scene pengambilan gambar. Terutama saat  adegan Kidung yang memerankan Yusuf Ronodipuro tokoh Radio Republik Indonesia (RRI) dihajar tentara NICA karena menolak menurunkan bendera merah putih. Lelahnya proses syuting, semangat kebersamaan mereka satu kelas, ditambah penjiwaan mereka pada kisah yang mereka bawakan mengantar mereka pada pengalaman belajar sejarah ke tingkat yang lebih tinggi, yang syahdu dan bermakna.

Kelas XI MIPA 4 memukau dengan menampilkan film pendek berjudul R.C 1945. Kisah para pejuang medis dalam revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kisah gadis-gadis palang merah, kisah perawat dan dokter yang memberi sumbangsih pada negeri ditampilkan dengan baik oleh siswa-siswa ini. Indah Ratna yang di kelas dikenal ceplas-ceplos bertransformasi menjadi sosok perawat panutan, Annie Senduk dengan akting yang terpuji. Kekuatan film ini juga ada pada kru bagian make up dan spesial efek. Anak-anak kelas XI MIPA 4 tanpa ragu menampilkan kengerian perang dengan korban luka-luka yang cukup realistis. Mereka bahkan berhasil membuat efek kaki amputasi dengan bahan seadanya. Sebuah totalitas berkarya yang tidak perlu diragukan.

Kelas XI IPS 1 tidak mau kalah dari kelas MIPA. Mereka menampilkan film pendek berjudul Mendoer Brothers, yang menceritakan kisah dua bersaudara fotografer proklamasi Frans dan Alex Mendoer. Royan dan Wahid dipercaya memerankan kakak beradik Mendoer. Keduanya sama-sama siswa pendiam, salah satunya sangat pemalu, dan ini menjadi ujian besar bagi seluruh kru. Berkat kerjasama satu kelas sebagai sebuah tim akhirnya film berhasil terselesaikan. Lepas dari kualitas akting mereka, Royan dan Wahid sudah berani mencoba keluar dari zona nyaman mereka. Mereka pantas mendapatkan apresiasi.

Kopral Jono, The Voice of Freedom, R.C 1945, dan Mendoer Brothers, keempat film pendek produksi siswa SMA N 1 Jatisrono mencoba membawa pesan bahwa pengabdian kepada bangsa dan negara bisa dilakukan sesuai dengan bakat dan bidang kita masing-masing. Militer, insan pers, paramedis, bahkan seniman memiliki andil dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Semua elemen dibutuhkan untuk saling melengkapi, saling bekerjasama, dan saling berkolaborasi. Hal itu selaras dengan apa yang telah dilewati para siswa demi menghasilkan satu produk film pendek ini, saling melengkapi, saling bekerjasama, serta saling mengkolaborasikan kecerdasan masing-masing yang beragam.

Saya sebagai guru bisa merasakan ikatan diantara para siswa satu kelas menjadi jauh lebih kuat dari sebelumnya. Begitu pula ikatan diantara kami guru dengan murid. Keseruan cerita saat syuting film tidak kunjung habis mereka ceritakan pada saya, padahal saya sudah mengikutinya dari sosial media mereka. Bahkan saat menghadapi Penilaian Akhir Tahun kekompakan dan nuansa Bioskop Merdeka masih saja mereka lanjutkan. Menarik sekali memperhatikan cara mereka belajar Sejarah secara berkelompok di taman sekolah. Untuk mengingat suatu peristiwa ataupun tokoh sejarah, anak-anak ini lebih dahulu mengingat alur cerita film dan teman mereka yang memerankan tokoh itu. Kegembiraan terpancar dari raut wajah mereka saat saling melempar pertanyaan, karena seringkali timbul kelucuan dan keseruan tak terduga.

Pengalaman-pengalaman menyenangkan ketika belajar akan menjadi aktivator bagi perkembangan kecerdasan pada tahap perkembangan berikutnya. Terima kasih anak-anak atas pengalaman berharga yang sudah kita lewati bersama. Kalian menginspirasi dan memberi warna dalam perjalanan hidup saya sebagai guru. Semoga kita senantiasa menjadi jiwa-jiwa merdeka yang selalu belajar, bergembira atas pengalaman tersebut dan menikmatinya.

#BergerakDenganHati

#DemiKemajuan

 

 

 

 

 

Mergendoller, John & John Thomas. Managing Project Based Learning : Principles from The Field.

https://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.532.3730&rep=rep1&type=pdf (diakses tanggal 2 Desember 2021)

Budiningsih, C. Asih. 2002. Pembelajaran Kecerdasan Ganda sebagai Upaya Mengembangkan Keterampilan Hidup.

https://journal.uny.ac.id/index.php/dinamika-pendidikan/article/view/6056/5241 (diakses tanggal 3 Desember 2021)

Ikuti tulisan menarik Nita Dananti Dewi, S.Pd lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler