x

KREATIVITAS KEBERAGAMAN MURID

Iklan

I Wayan Surya Saputra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 November 2021

Minggu, 5 Desember 2021 08:35 WIB

Gajah Merah Muda

Setiap murid memiliki potensi dan karakteristik uniknya masing-masing. Murid tumbuh dan berkembang sesuai kodrat alam dan zamannya. Pembelajaran Berdiferensiasi dan Sosial Emosional, akan menjadi wadah murid dalam mengembangkan potensi masing-masing tanpa harus disamakan, dimana perbedaan akan bermakna sebagai sebuah keberagaman yang indah. Inilah wujud nyata kita sebagai pendidik untuk berpihak pada murid.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sore itu saya mengajak anak untuk belajar mewarnai gambar. Anak saya berusia 3 tahun, gambar yang diwarnai saat itu adalah gajah. Sebelumnya saya telah memberitahu "nak, gajah warnanya abu-abu ya". Namun yang terjadi gajah diwarnai merah muda. Lalu saya sampaikan kembali "nak gajah warnanya abu-abu bukan merah muda", lalu anak saya menjawab dengan polosnya "ini gajah cantik bapak" sambil tersenyum. Mendengar jawaban anak, hati saya menjadi terketuk dan tersadar baik sebagai seorang ayah maupun sebagai pendidik, bahwasanya anak memiliki tingkat pemahaman dan ekspektasinya yang beragam. Hingga muncul pertanyaan dari dalam diri, apakah ini bentuk kesewenang-wenangan kita sebagai pendidik dengan menetapkan standar aturan baku atas sesuatu hal tanpa melihat fleksibelitas dan perkembangan murid.  Ternyata jawaban yang diberikan anak saya berdasar bahkan mengandung nilai kreativitas dan inovasi, dimana gajah merah muda adalah cerminan gajah yang cantik. Kemudian dalam renungan saya berpikir, apakah ini yang menyebabkan setiap pelajaran kesenian,  gambar anak TK hingga SMA, selalu menggambar pemandangan dengan latar dua gunung, jalan raya dan sawahnya..hehe, sebuah gambar legendaris yang seakan turun temurun terwariskan bahkan sejak saya sekolah era 90an hingga sekarang di era industri 4.0. Memeluk indah keberagaman potensi belajar murid, itulah yang kita butuhkan saat ini. Untuk itu sebagai pendidik kita tidak boleh menetapkan standar yang baku bagi seluruh murid, tanpa memahami karakteristik murid secara utuh. Kurikulum saat ini telah di desain dengan konsep yang baik sesuai perannya yakni (1) Konservatif, melestarikan budaya warisan masa lalu; (2) Kreatif, mengandung hal baru untuk pengembangan potensi murid; (3) kiritis dan evaluasi, menyeleksi nilai budaya yang layak dan dipertahankan. Hal ini mengingatkan pengalaman saya yang pernah mengajar di dua daerah berbeda yakni Denpasar dan Klungkung, meskipun masih dalam satu provinsi Bali namun karakteristik murid sangat jauh berbeda, mereka memiliki keunikan dan potensinya masing-masing berdasarkan kultur budaya daerahnya. Kita adalah negara yang plural, sehingga jangan lupakan salah satu tugas penting kita dalam menyiapkan perangkat pembelajaran yakni melakukan pengembangan kurikulum mulai dari silabus hingga kompetensi dasar sesuai dengan karakteristik daerah (local genius). Dengan demikian, kita tidak akan memandang perbedaan menjadi suatu kesalahan, bahkan jikalau murid masih belum bisa benar dalam menjawab pertanyaan,  kita akan mengasumsikannya sebagai suatu kekeliruan yang melalui bimbingan dan tuntunan kita arahkan menjadi kebenaran.

Bimbingan dan tuntunan ini, sejatinya telah lama diwariskan oleh Bapak Ki Hadjar Dewantara  dalam Trilogi Pendidikan "Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani". Beliau memberikan gambaran bahwa anak-anak itu sebagai makhluk hidup bukan benda. Mereka hidup dan bertumbuh menurut kodratnya sendiri. Kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu’ tiada lain ialah segala kekuatan yang ada dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu karena kekuasaan kodrat. Kita kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu. Kita ambil contoh perbandingannya dengan hidup tumbuh-tumbuhan seorang petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya padi, ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya. Meskipun pertumbuhan tanaman padi dapat diperbaiki, tetapi ia tidak dapat mengganti kodratiradatnya padi, kita tidak dapat menjadikan padi yang ditanamnya itu tumbuh sebagai jagung. Selain itu, ia juga tidak dapat memelihara tanaman padi tersebut seperti hanya cara memelihara tanaman kedelai atau tanaman lainnya. Memang benar, ia dapat memperbaiki keadaan padi yang ditanam, bahkan ia dapat juga menghasilkan tanaman padi itu lebih besar dari pada tanaman yang tidak dipelihara, tetapi mengganti kodrat padi itu tetap mustahil. Demikianlah Pendidikan, walaupun hanya dapat ‘menuntun’, akan tetapi faedahnya bagi hidup tumbuhnya anak-anak sangatlah besar. Hal ini semakin memperjelas dan menyadarkan saya sebagai pendidik bahwa Gajah Merah Muda yang digambar anak saya adalah cerminan keberagaman belajar. Oleh karenanya, sejak saat itu saya menerapkan Pembelajaran Berdiferensiasi dan Kompetensi Sosial Emosional pada murid di kelas. Sebelum melakukan pembelajaran berdiferensiasi mari kita munculkan pertanyaan berikut. Bagaimanakah karakteristik setiap anak di kelas kita? Apa minat mereka? Siapakah yang memiliki keterampilan menghitung paling baik di kelas? Siapakah yang sebaliknya? Siapakah yang justru selalu menghindar saat bekerja kelompok? Siapakah yang lebih senang berbicara? Menurut Tomlinson (2000), Pembelajaran Berdiferensiasi adalah usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap murid. Namun demikian, pembelajaran berdiferensiasi bukanlah berarti bahwa guru harus mengajar dengan 32 cara yang berbeda untuk mengajar 32 orang murid. Pembelajaran berdiferensiasi juga bukan berarti guru harus mengelompokkan yang pintar dengan yang pintar dan yang kurang dengan yang kurang. Bukan pula memberikan tugas yang berbeda untuk setiap anak. Pembelajaran berdiferensiasi bukanlah sebuah proses pembelajaran yang semrawut (chaotic), yang gurunya kemudian harus membuat beberapa perencanaan pembelajaran sekaligus, dimana guru harus berlari ke sana kemari untuk membantu si A, si B atau si C dalam waktu yang bersamaan. Bukan, Guru tentunya bukanlah malaikat bersayap atau Superman yang bisa ke sana kemari untuk berada di tempat yang berbeda-beda dalam satu waktu dan memecahkan semua permasalahan. Menurut Tomlinson (2001) dalam bukunya yang berjudul How to Differentiate Instruction in Mixed Ability Classroom menyampaikan bahwa kita dapat mengkategorikan kebutuhan belajar murid, paling tidak berdasarkan 3 aspek, yaitu (1) Kesiapan belajar (readiness) murid; (2) Minat murid; (3) Profil belajar murid.  Sebagai guru, kita semua tentu tahu bahwa murid akan menunjukkan kinerja yang lebih baik jika tugas-tugas yang diberikan sesuai dengan keterampilan dan pemahaman yang mereka miliki sebelumnya (kesiapan belajar). Lalu jika tugas-tugas tersebut memicu keingintahuan atau hasrat dalam diri seorang murid (minat), dan jika tugas itu memberikan kesempatan bagi mereka untuk bekerja dengan cara yang mereka sukai (profil belajar). Tiga hal inilah yang kita jadikan acuan dalam memetakan potensi yang murid yang beragam. Kita mulai dari kesiapan belajar (readiness) yang artinya kapasitas untuk mempelajari materi baru. Sebuah tugas yang mempertimbangkan tingkat kesiapan murid akan membawa murid keluar dari zona nyaman mereka, namun dengan lingkungan belajar yang tepat dan dukungan yang memadai, mereka tetap dapat menguasai materi baru tersebut. Jadi sebagai pendidik diawal pembelajaran, murid kita berikan semacam pretest sebagai tes awal untuk memetakan kesiapan murid dalam memahami materi. Beranjak dari hasil ini, kita dapat melakukan modifikasi sekaligus menyesuaikan metode pembelajaran, kompetensi dasar, kriteria penilaian yang relevan dan seiring berjalannya waktu tingkatannya kita naikkan berdasarkan kemampuan belajar murid. Mulai dari konkret ke abstrak, lambat ke cepat, sederhana ke kompleks dan terstruktur ke open ended. Ilustrasinya pembelajaran berdiferensiasi mirip dengan menggunakan tombol equalizer pada stereo atau pemutar CD. Untuk mendapatkan kombinasi suara terbaik biasanya Anda akan menggeser-geser tombol equalizer tersebut terlebih dahulu. Saat Anda mengajar, menyesuaikan “tombol” dengan tepat untuk berbagai kebutuhan murid akan menyamakan peluang mereka untuk mendapatkan materi, jenis kegiatan dan menghasilkan produk belajar yang tepat di kelas Anda.  Kemudian berdasarkan aspek minat, kita tahu bahwa seperti juga kita orang dewasa, murid juga memiliki minat sendiri. Ada murid yang minatnya sangat besar dalam bidang seni, matematika, sains, drama, memasak.  Minat adalah salah satu motivator penting bagi murid untuk dapat ‘terlibat aktif’ dalam proses pembelajaran. Sedangkan aspek profil menurut Tomlinson (dalam Hockett, 2018) profil belajar murid ini merupakan pendekatan yang disukai murid untuk belajar, yang dipengaruhi oleh gaya berpikir, kecerdasan, dan latar belakang murid. Untuk memetakan minat dan profil belajar murid dapat kita lakukan secara bersamaan. Pengalaman saya sebelumnya yakni murid di data melalui google form mengisi hobi hingga latar belakang keluarga. Merujuk dari data ini, selanjutnya kita dapat melakukan modifikasi terhadap gaya belajar dan ragam proses dan produk murid sebagai hasil berlajar, artinya meskipun kita membahas kompetensi dasar yang sama atas satu materi namun hasil kerja murid berupa produk dapat kita buat beragam sesuai dengan minat dan profil belajar murid. Disisi lain data latar belakang keluarga murid juga penting, mengingat terkadang berdasarkan pengalaman menerapkan gaya belajar (kinestetik, visual, audio) murid belum tentu dapat belajar secara nyaman, antusias, dan semangat. Hal ini biasanya dipengaruhi juga oleh kondisi keluarga dan sosial murid. Data- data sensitif seperti murid tinggal dengan siapa dan bagaimana kondisi keluarga akan sangat menunjang, Guru dalam melakukan pendekatan secara personal pada murid dalam memberikan motivasi belajar. Akhirnya data ini akan dapat melengkapi Desain Pembelajaran Berdiferensiasi yang akan dilakukan. Memiliki kesadaran tentang ini sangat penting agar kita dapat (1) memvariasikan metode dan pendekatan mengajar mereka; (2) membantu murid menyadari bahwa ada kecocokan antara sekolah dan keinginan mereka sendiri untuk belajar; (3) Menunjukkan keterhubungan antara semua pembelajaran; (4) Meningkatkan motivasi murid untuk belajar; (5) Mengembangkan keterampilan atau ide kreatif serta inovatif murid dalam mempelajari hal baru bagi mereka. Inilah rangkaian dari proses  Merdeka Belajar, selaksa Gajah Merah Muda yang hanya diubah warnanya saja dapat memberikan paradigma baru. Begitu juga pendidikan, dapat kita modifikasi dalam desain serta rancangan pembelajarannya dengan menerapkan pembelajaran berdiferensiasi guna optimalisasi potensi murid.

Lebih lanjut kita juga dapat menerapkan pembelajaran sosial emosional di kelas yang merupakan keterampilan yang kita tumbuhkan dalam diri murid untuk bijaksana menyikapi masalah dan juga mengajarkan murid menjadi orang baik. Arahnya adalah menuju profil pelajar pancasila sebagai sebuah panji yang kuat dalam perkembangan diri murid sebagai individu maupun warga masyarakat yang berkontribusi positif.  Pendekatannya sesuai dengan filosofi Bapak Ki Hadjar Dewantara yakni Olah hati (Etika), Olah pikir (Literasi), Olah rasa (Estetika). Olahraga (Kinestetik). Penerapan pembelajaran sosial emosial yang saya lakukan menyesuaikan fenomena yang umum terjadi dalam pembelajaran di kelas. Sebagai guru kita pasti akan menemukan berbagai karakteristik murid, misalnya ada yang memiliki rasa malu ataupun emosional yang mempengaruhi bagaimana ia belajar di kelas. Pada umumnya akan sulit menjelaskan pada siswa agar tidak menjadi pemalu karena memang siswa sendiri sulit untuk memahami konsep malu yang abstrak ini. Jadi sebagai guru saya menggunakan media konkret dengan cara menggambar pemandangan secara samar-samar, disana saya akan bertanya pada siswa, apakah ia dapat mengetahui apa yang saya gambar? Kemudian saya akan memulai menebalkan garis samar-samar tadi sekaligus menekankan pada siswa pemalu persamaan gambar yang belum jelas tadi dengan seseorang yang pemalu, orang yang menutup diri dan tidak dapat dikenali orang lain karena tidak mau menunjukkan jati dirinya dan tidak mau mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Selanjutnya dapat juga dilakukan gambar dengan garis yang tebal sekali hingga menyebabkan kertas menjadi robek, ini memberikan gambaran seseorang yang sombong yang justru dapat merusak hubungan dengan sesama siswa. Dapat pula diilustrasikan dengan dadu, saya membuat siswa menyadari bahwa jika dadu tidak digelindingkan,  hasilnya tidak ada (0). Namun begitu dadu digelindingkan di meja, ada kesempatan untuk mendapatkan nilai 1 s.d 6. Hal yang sama juga sama terjadi, jika siswa berani (meskipun keberaniannya tidak besar) dan mencoba melakukan sesuatu maka siswa akan mendapatkan pengalaman yang bermanfaat dari pada hanya tinggal diam dan tetap ragu dan terus merasa takut akan dicemooh teman. Selanjutnya untuk siswa yang emosional dapat menggunakan karet untuk membelajarkan siswa tersebut, biarkan ia memegang karet kemudian ditarik kencang, dimana hal ini justru akan menambah ketegangan. Karet kita simbolikan pada emosional siswa yang semakin tegang dan bahkan dapat memustuskan karet tersebut. Ini memberikan gambaran bahwa bila siswa emosional, itu hanya akan berdampak buruk pada hubungannya dengan guru dan sesama siswa. Melainkan kita minta ia mengendurkan karetnya, ia akan merasa lebih lega. Terkadang sebagai guru kita tidak dapat mengendalikan kejengkelan yang tiba-tiba kita rasakan karena melihat salah seorang siswa tidak mengerjakan latihan soal yang ditugaskan dan hanya bersantai-santai saja. Kita mungkin akan bertanya "Kamu belum mulai mengerjakan tugas? Ngapain saja kamu dari tadi? padahal sudah Ibu/Bapak guru bahas sebelumnya" Kemungkinan murid akan merasa tersinggung dan ia akan semakin enggan mengerjakan tugasnya. Berbeda jika kita mengatakan "Apa kamu tidak haus hari ini?". Jika kita bertanya demikian, mungkin murid akan sedikit menggerutu karena merasa diingatkan akan tugas yang harus ia kerjakan. Akan tetapi masih ada kemungkinan ia akan mulai mengerjakan tugasnya. Karena kita tidak membuat murid malu di depan temn-temannya, dia tidak merasa diremehkan dan hubungan kita dengan dia tidak akan terganggu. Dengan bertanya " Apa kamu haus hari ini" kita telah mengembalikan ingatannya. Kemudian kita berikan pemahaman bahwa rasa haus adalah seberapa besar keinginannya untuk belajar (sedikit haus, sangat haus atau tidak haus sama sekali) Semakin sedikit keinginannya belajar, semakin sedikit pula informasi yang akan ia tangkap. Sebaliknya semakin haus ia belajar, semakin besar pula keinginan ia mengakses informasi dan semakin dalam pula pengetahuan yang ia kuasai. Sindiran berupa perumpaan ini saya rasa efektif karena bersifat netral dan tidak membuat anak tersinggung serta lebih menekankan pada pemecahan masalah. Melaui pembelajaran ini kita akan melihat murid selaksa bunga. Kita dapat tanam dan siram dalam waktu bersamaan, namun belum tentunya mekar dalam waktu bersamaan, Namun percayalah dengan keberpihakan pada murid, mereka akan mekar semerbak sesuai dengan kodrat alam dan zamannya. Bila seperti ini cara kita memandang, betapa indahnya wajah pendidikan. Tidak hanya guru, murid pun akan merasakan kebermaknaan (meaningfulness) dan kesadaran (mindfulness) dalam pembelajaran.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik I Wayan Surya Saputra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler