x

keadaan kelas dalam pembelajaran, sumber website SMA Negeri 5 Mataram

Iklan

Ridwan Djabar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 Desember 2021

Minggu, 5 Desember 2021 12:05 WIB

Restrukturisasi Sekolah Penyelenggara Inklusif

tidak merdekanya konsep pendidikan inklusif. Sebuah sekolah yang inklusif adalah tempat yang terbaik untuk mempersiapkan anak muda untuk hidup di dunia yang beragam. Dalam rangka siswa dengan disabilitas belajar bersama dengan teman sebayanya dengan cara yang berarti, bermanfaat dan merdeka belajarnya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya menjadi buta pada umur lima tahun karena sakit dan bersekolah di Sekolah Luar Biasa untuk Tunanetra (SLB A) pada umur sembilan pada tahun 1960. Sekolah ini ada di Bandung, sekitar 80 km jauhnya dari rumah saya. Pada hari hari pertama di SLB saya hanya menangis karena berpisah dari orangtua saya, saudara saya, teman kecil saya dan kampung saya. Apabila saya dapat bersekolah di dekat rumah saya, pengalaman sedih ini tidak akan pernah terjadi terhadap saya. Namun demikian, kehidupan bersekolah saya disini seterusnya baik. Alat-alat pembelajaran didesain khusus untuk murid tunanetra tersedia. Para guru dapat menberikan perhatian secara individu karena kelasnya kecil. Lingkungan sosial yang ramah karna masyarakat yang terdiri dari terutama tunanetra dan masyarakat lainnya mempunyai pemahaman yang tepat tentang ketunanetraan. Lingkungan fisik dapat diakses sebagaimana didesain secara umum dengan mempertimbangkan orientasi dan mobilitas bagi yang tunanetra dan kami diberikan pelatihan orientasi dan mobilitas (O&M). Aspek lain yang sangat membantu kami adalah kami mudah menemukan model penyandang buta dewasa yang sukses. Namun, ketika saatnya bagi saya meninggalkan masyarakat yang eksklusif di SLB A saya menemukan kehidupan sosial yang nyata di masyarakat umum yang mengejutkan dan membuat frustasi pada awalnya. Disatu sisi, ada pemahaman yang kurang tepat tentang jenis kebutaan diantara sebagian besar anggota masyarakat dan disisi lain, saya tidak siap untuk menghadapi bahaya sosial. (Tarsidi, 2016)

Kisah diatas merupakan kisah nyata seorang penyandang disabilitas sekaligus Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI). Didi Tarsidi merasakan bahwa pendidikan segregasi  bukan suatu jawaban tentang permasalahan pendidikan untuk kaum difabel. Pendidikan yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler ternyata mempunyai kelemahan diantaranya aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas. Beliau merasa sangat nyaman berada di lingkungan sejenis tetapi sangat frustasi ketika diperhadapkan dengan kehidupan sosial sebenarnya.

Dikasus lainnya seorang  ABK yang mengikuti program pendidikan segregasi, dan melanjutkan pendidikan  di SMA umum. Walaupun dia masih disambut secara sosial di sekolah tersebut dia tidak mendapatkan dukungan pembelajaran yang dibutuhkan. Guru pembimbing khusus dia tidak melanjutkan kerjasamanya dengan guru kelas. Konsekuensinya, dia tidak mendapatkan buku Braille, guru kelasnya tidak tahu bagaimana mengajarkan matematika, dia tidak aktif terlibat dalam pelajaran olahraga dll. Orangtua dia memutuskan untuk memasukkan kembali ke SLB.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kisah ini juga menggambarkan salah satu tidak merdekanya konsep  pendidikan inklusif. Dimana, sebuah sekolah yang baik untuk anak tunanetra dan untuk anak dengan disabilitas lainnya adalah  tidak hanya menfasilitasi pembelajaran akademis tetapi lebih penting memfasilitasi pembelajaran untuk hidup di sebuah dunia sosial, sebuah dunia dengan keberagaman. Sebuah sekolah yang inklusif adalah tempat yang terbaik untuk mempersiapkan anak muda untuk hidup di dunia yang beragam. Dalam rangka siswa dengan disabilitas belajar bersama dengan teman sebayanya dengan cara yang berarti dan bermanfaat sebuah sistem pendukung harus ada ditempat. Sistem pendukung ini harus menjamin bahwa ada akses yang sama untuk semua siswa pada sumber pembelajaran yang tersedia di sekolah. Dengan cara ini siswa-siswa dengan disabilitas dapat merdeka dalam belajarnya, berpartisipasi sepenuhnya dalam semua kegiatan belajar bersama dengan teman sebaya mereka yang lain.

Konsep pendidikan inklusif di Indonesia diawali dengan deklarasi Bandung tentang pendidikan inklusi yaitu “Indonesia menuju Pendidikan Inklusif” tanggal 8-14 Agustus 2004. Kemudian dipertegas dengan adanya kesepakatan Internasional yaitu Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Dalam Konvensi ini, pada pasal 24 disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan.

Sekolah inklusi adalah sekolah reguler tetapi menerima Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tanpa kebutuhan khusus (ATBK) dan ABK melalui adaptasi kurikulum, pembelajaran, penilaian, dan sarana prasarananya. Yang termasuk ABK ini adalah tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tuna daksa, tuna laras (anak dengan gangguan emosi, sosial dan perilaku), tuna ganda, lamban belajar, penyandang autis, dan termasuk pula anak dengan potensi kecerdasan luar biasa (genius) (Kompasiana, 2017).

Kebijakan dan praktek pendidikan inkusif, mengaplikasikan gerakan sejalan dengan prinsip pendidikan untuk semua atau Education for All sebagai  hasil konferensi dunia di Selamanca pada tanggal 7-10 Juni 1994 kemudian dila njutka n dengan  Dek larasi Daka r pada  tahun  2000  yang merupakan kerangka kerja untuk merespon kebutuhan dasar warga masyarakat yang menggariskan bahwa pendidikan harus dapat menyentuh semua lapisan masyarakat tanpa mengenal batas, ras, agama, dan kemampuan potensial yang dimiliki oleh setiap peserta didik .

Hal ini juga termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 32 telah mengatur pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus. Implementasinya dijabarkan melalui Permendiknas nomor 70 tahun 2009 yaitu dengan memberikan peluang dan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan disekolah reguler mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas / Kejuruan. (Mujito, 2012)

Meskipun pelaksanaan pendidikan inklusif telah diatur dalam perundang-undangan ternyata masih banyak menimbulkan kendala dan permasalahan yang berbeda beda. Secara kuantitas sekolah-sekolah reguler/lembaga pendidikan baik TK, SD, SMP maupun  SMA/SMK memang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun secara kualitas (kesesuaian dengan yang diharapkan) masih perlu dipertanyakan. Ada beberapa permasalahan yang terjadi diantaranya : 1)  Banyak   kalangan   berpendapat   bahwa   pendidikan   inklusi   merupakan   sebuah   model pendidikan. Hal ini tercermin bahwa sebuah sekolah yang menyatakan diri menjadi sekolah inklusif harus mendapat label “sekolah inklusi”. Kesesuain label dengan implementasi yang diharapkan kadang masih jauh. 2) Implementasi  pendidikan  inklusi  yaitu  masih  ada  yang  hanya  sekedar  mengikutsertakan peserta didik yang berkebutuhan khusus di sekolah regular tanpa harus memenuhi hak-hak pendidikan yang sesuai dengan kondisi anak, bahkan dibebrapa sekolah anak berkebutuhan khusus masih menjadi “ tamu” bukan bagian yang tidak terpisahkan. 3) Dibeberapa sekolah yang telah menyatakan diri menjadi sekolah inklusi “kebanjiran” peserta didik yang berkebutuhan khusus. Hal ini sebagai dampak tidak meratanya sekolah yang telah menyatakan  diri  menjadi  sekolah  inklusi.  Disamping  itu  pemahaman  tentang  “sekolah terdekat dengan tempat tinggal anak” belum sepenuhnya diimplementasikan. 4) Dampak dari banyaknya anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi menyebabkan dibentuknya kelas khusus di sekolah regular. Kelas khusus tersebut peserta didiknya adalah anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus. Implementasi model ini tentu menyimpang dari esensi dari pendidikan inklusif. Hal ini tidak bedanya dengan SLB yang terselenggara di sekolah regular. 5) Profesionalisme  guru  masih  perlu  dipertanyakan.  Mereka  sebagian  besar  lebih  senang mendidik  peserta  didik  yang  “biasa-biasa  saja  (tidak  banyak  permasalahan)”.  Banyak diantara mereka (mungkin sebagian besar) lebih senang menghindar jika disuguhi peserta didik yang mempunyai permasalahan (hambatan belajar) yang lebih berat. Padahal jika mereka menanganinya  dengan  senang dan  peduli serta menerapkan konsep merdeka belajar tentu akan menambah  profesionalisme mereka. 6) Kurangnya sarana prasarana yang menunjang pendidikan inklusif di sekolah penyelenggara. 7)  

Dunia pendidikan telah sepakat dengan geloranya “education for all (EFA)” harus sesegera mungkin untuk ditempuh. Bagi Negara-negara yang telah sepaham, maka Negara tersebut meratifikasinya.   Indonesia   telah   meratifikasinya.   Tentu   ini   sebuah   kemajuan   ditingkat silaturahmi  internasional.  Dunia  juga  telah  sepakat  bahwa  untuk  mewujudkan  EFA  akan ditempuh dengan paradigma pendidikan inklusif. Indonesiapun juga telah meratifikasinya. Pergaulan pendidikan di tingkat internasional sudah tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah komitmennya setelah meratifikasi dan restrukturisasi sekolah penyelenggara inklusif.

Restrukturisasi sekolah penyelenggara inklusif seyogyanya mengacu pada delapan komponen implementasi penyelenggaraan pendidikan inklusif berdasarkan permendiknas no 70 tahun 2009. Yaitu : (1) Peserta Didik, bahwa sasaran pendidikan sekolah inklusi adalah semua peserta didik baik sebagai anak berkelainan maupun anak ‘normal’. (2) Kurikulum, bahwa kurikulum yang digunakan pada dasarnya menggunakan kurikulum standar nasional yang berlaku di sekolah umum, namun untuk siswa ABK dimodifikasi sesuai kebutuhanya. (3) Tenaga Pendidik, yaitu meliputi guru kelas, guru mata pelajaran dan guru pembimbing khusus (GPK). GPK adalah guru yang tugasnya memberikan layanan khusus, mendampingi dan memberikan bimbingan secara berkesinambungan kepada siswa yang berkelainan selama mengikuti proses belajar mengajar di sekolah. (4) Kegiatan Pembelajaran, meliputi perancaaan, pelaksanaan, dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Yang dilandasi dengan kebebasan dalam proses pembelajara yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik (5) Penilaian dan sertifikasi, bahwa penilaian dalam setting inklusi ini mengacu pada model pengembangan (modifikasi) kurikulum yang dipergunakan. (6) Manajemen sekolah, bahwa sekolah mempunyai kewenangan untuk merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi semua hal-hal yang berkaitan dengan penyeleggaran pendidikan inklusi di sekolah tersebut. (7) Penghargaan dan sanksi, bahwa penghargaan akan diberikan kepada sekolah yang meraih prestasi dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi, dan sebaliknya sanksi akan diberikan kepada sekolah yang dianggap lalai dalam penyelenggaraan pendidikana inklusi. (8) Pemberdayaan masyarakat, bahwa untuk dapat menyelenggarakan pendidikan inklusi yang ideal tidak akan terlaksana tanpa adanya partisipasi dan dukungan dari masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.

Selain itu bentuk restrukturisasi sekolah penyelenggara inklusif dapat dilaksanakan dengan memperhatikan hal – hal berikut, yaitu : 1) Pendidikan inklusif memberikan pemahaman bahwa anak-anak diusahakan menempuh pendidikan disekolah terdekat. Layanan pendidikan terdekat lebih spesifik ditujukan bagi anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Sapon-Shevin dalam O’neil, (1994) yang mengemukakan “pendidikan inklusif adalah system layanan pendidikan yang mempersyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya.” Implementasi yang muncul saat ini adalah sekolah- sekolah yang telah menyatakan diri menjadi sekolah inklusif kebanjiran peserta didik berkebutuhan khusus. Hal ini karena penyebaran sekolah inklusif tidak diikuti oleh sekolah- sekolah yang lain. Kebanyakan sekolah enggan sekolahnya menjadi inklusif. Permasalahan ini sepertinya perlu digalakkan lagi system rayonisasi pendidikan. Artinya setiap sekolah mempunyai tanggung jawab mencerdaskan anak-anak bangsa ini dengan radius wilayah yang telah ditentukan oleh pemerintah. Dengan demikian sekolah-sekolah yang ada kedepannya tidak bisa menolak lagi jika diwilayahnya terdapat anak berkebutuhan khusus. Dalam hal ini pemerintah sebenarnya telah membantu membuat dasar hukumnya yaitu dengan Permendiknas no 70 tahun 2009. Salah satu pasalnya bahwa setiap Kecamatan minimal ada 1 SD dan 1 SMP yang ditunjuk menjadi sekolah inklusi. Dan 1 SMA setiap Kabupaten. Hal inipun belum tentu mengatasi masalah karena luas dan jumlah penduduk setiap kecamatan juga berbeda-beda. Sepertinya model rayon yang paling tepat. 2) Rasio guru dengan peserta didik perlu diselaraskan. Rata-rata saat ini satu kelas berjumlah antara 35 – 45 siswa. Satu kelas ditangani oleh satu orang guru. Padahal idealnya satu kelas sebaiknya hanya 20 siswa dan ditangani oleh dua orang guru. Satu orang guru menjadi pengajar di depan, kemudian satu orang guru menjadi asisten guru (prakteknya bisa bergantian). Dengan rasio tersebut asumsinya setiap peserta didik akan terlayani pendidikannya. Lebih-lebih jika di kelas tersebut ada anak berkebutuhan khusus. Maka asisten guru tersebut membantu anak yang berkebutuhan khusus. Sebaiknya kedepan hal ini menjadi kajian pemerintah untuk menselaraskan rasio sesuai dengan kemampuan guru. 3) Perlunya pusat sumber layaanan ABK. Selama ini bagi sebagian besar daerah di Indonesia ini, adanya pusat sumber hanya masih menjadi angan-angan. Banyak kendala untuk mewujudkannya. Pusat sumber pada intinya sangat membantu terlaksananya pendidikan inklusif. 4) Pemahaman tentang pendidikan inklusif bukan hanya untuk guru –guru tetapi juga bagi calon guru. Calon guru yang dimaksud adalah mereka yang masih menempuh di bangku kuliah yaitu bagi  mahasiswa-mahasiswa  yang nantinya  dipersiapkan  untuk  mencadi  calon  guru,  baik mereka yang ada di keguruan maupun yang di ilmu pendidikan (FKIP). Jika pemahaman  mereka  lebih  awal  dimulai,  tentu  akan  lebih  dini  mereka  nantinya  setelah bekerja langsung bisa ikut mewarnai di tempat mereka untuk mengimplementasikan pendidikan inklusi. Mahasiswa calon guru di negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Norwegia, dll telah mendapat program materi tentang penanganan anak-anak berkebutuhan khusus termasuk di dalamnya pemahaman tentang pendidikan inklusif. Di Indonesia belum semua perguruan tinggi menerapkan hal tersebut. 5) Perlunya peningkatan kompetensi guru dalam hal adaptasi teknologi dan penerapan konsep pembelajaran berbasis kebutuhan peserta didik.

Ikuti tulisan menarik Ridwan Djabar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu