x

Iklan

Fadzul Haka

Cuma pengelana lintas disiplin dan pemain akrobat pikiran. Bagi yang mau berdiskusi silakan kontak saya: fadzul.haka@gmail.com
Bergabung Sejak: 2 Desember 2021

Minggu, 5 Desember 2021 12:20 WIB

Amor Fati


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Skitterphoto dari Pixabay

Untuk sahabatku Rhaka Katresna

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kelak itulah namamu... demikian ucap seorang wanita sembari mengelus kandungan yang berusia tujuh bulan. Ditutupnya buku daftar nama bayi seraya merasakan tendangan si kecil. Tak cukup untuk darah dagingnya sendiri, kabar gembira itu dibagikan kepada suaminya yang sedari tadi memindah-mindahkan saluran TV.

“Kedengarannya bagus,” Cetusnya, acuh tak acuh lantaran keasikan mengupil, “Tapi, apa emang pas buat jadi programer?” Tentu saja dia punya daftar pilihan nama bayi sendiri. Jika kelak anaknya terlahir sebagai perempuan di bulan April, maka nama depannya adalah Ruby. Sedangkan kalau mundur ke bulan Mei dan sebagai laki-laki, bayinya akan mendapat nama James. Bertolak belakang dengan istrinya, dia tak percaya akan makna di balik nama-nama. Baginya takdir tak lain serentetan statement kode Python yang melulu if-else.

“Eh, dia nendang lagi. Mungkin dia calon pemain sepak bola, Pah!”

“Sepak bola, hah? Ya, bolehlah asal lucky.” Meskipun berkata begitu, istrinya tahu ini bukan lampu hijau. Pikiran pria itu seperti jalan dengan belokan tak terduga yang kalau diikuti membawamu pada tempat semula. Dan tentunya, si Istri tidak boleh berhenti.

Bicara soal perjalanan, mari kita mengintip ke dalam pusar si ibu dan menelusuri terowongan plasenta. Menyapa nutrisi-nutrisi seperti vitamin dari buah mangga, kalsium di sungai susu, dan asam amino yang berenang-renang bersama ikan kakap, meskipun tetap kalah banyak kalau dibandingkan dengan gula kiriman nasi dan protein yang diantar tahu-tempe. Di sini, kita tenggelam tetapi ada kehangatan. Gelap tetapi ada rasa aman seakan-akan berada di dalam selimut saat hujan deras lengkap dengan gemuruh petirnya. Tak disangka-sangka di balik kedamaian ini, terjadi suatu gejolak, katakanlah semacam tarik tambang antara ruh si janin dengan malaikat Jibril.

“Jadilah anak yang baik!” Seru Jibril, “Duduklah di sini dan temani tubuhmu.”

“Tidak mau!” Bentak si Ruh, dia bertahan dalam ari-ari.

Jibril mengulur si Ruh seperti halnya orang yang menyeruput spagetti. Si Ruh yang kian menyusut seperti bekas hembusan nafas di cermin. Sekilas, kita bisa melihat siluet wajah, tetapi ekspresinya terlalu kabur, tidak jauh berbeda dengan lukisan cat air yang luntur.

Di luar, si Ayah sudah beralih menghadapi sehalaman tabula rasa pada layar laptop. Berusaha mencurahkan kata-kata, apa pun itu yang terlintas di benaknya, namun berkali-kali hanya melamunkan lenyapnya asap rokok. Hal terakhir yang pernah ditulisnya sampai tuntas bertepatan dengan kematian anak yang selalu didambakannya. Setiap kali ada kata-kata, hasilnya selalu frasa “Aku ingin” yang tak berkelanjutan sebab dia segera menghapus setiap predikat atau kata benda selanjutnya. Nihil. Akhirnya, dia menyibukan diri dengan membuka antarmuka pemprograman (untuk yang kesekian kalinya).

Si Istri melabuhkan tangan di bahunya, dia hendak mengambil cangkir berisi dedak kopi. “Sudah jangan terlalu dipikirkan, masih ada hari esok.” Tak ada anggukan dari lelaki yang mirip patung ukiran granit itu. Dia terhipnosis oleh deret-deret argumen bahasa pemprograman sampai bergumam.

 “Kecerdasan semestinya menciptakan kecerdasan lainnya.” Caranya mematikan rokok mengingatkan pijakan tanpa belas kasihan, manakala dia membunuh serangga.

Sembari berlalu, istrinya mengusap-usap kembali perutnya, sekilas terkesan mirip Aladin yang mengusap lampu ajaib dan membebaskan jin untuk tiga permintaan. Jika jin semacam itu benar adanya, pastilah dia kebingungan buat mengabulkan tiga permintaan keluarga kecil ini. Si Ayah yang terjepit antara angan-angan untuk anaknya atau perasaan ragu-ragu dalam batin yang berusaha dibasminya – dia tahu, untuk melakukan itu berarti harus mengedit masa lalu. Kemudian si Ibu yang masih menghitung kancing bila ditanya tentang prioritasnya: suami atau anaknya. Terakhir, si Anak yang tendangannya bukan lagi ketukan buat menyapa, kali ini hampir seperti bentrokan, dan protes yang meronta-ronta tak jauh beda dengan kucing liar dalam karung.

Malamnya, si Ibu bertemu arwah anaknya yang kumal dan penuh kotoran dalam mimpi. Mereka bertiga duduk di meja makan. Setiap kali berbicara, si Anak semakin kotor. Bersamaan dengan itu, kedua orang tuanya akan tampak pucat, mual, hingga akhirnya muntah-muntah. Sebagai penutup, si Anak menjadi lumpur yang menenggelamkan seisi ruangan.

Ketika ada waktu luang, si Ibu memeriksa kandungannya ke klinik. Di sana si Ibu hanya mengangguk tanpa perhatian penuh. Sesekali menyunggingkan senyum hambar. Kalau sedang sendirian, dirinya larut dalam lamunan hingga tiba-tiba salah mengambil jalan atau sempat linglung dengan apa yang sedang dilakukannya. Mimpi semalam sekali-kali tidak pernah diceritakannya pada siapa pun, walau telah muncul sampai beberapa episode. Terkadang dirinya bertanya, perlukan dirinya menziarahi si Anak atau melakukan ruqyah?

Apakah suami juga mendapat mimpi yang sama? Tanya si Pembawa Acara. Si Ibu mengelus dagunya, untuk sesaat tangannya tak bisa diam seakan dia sedang sibuk merias wajah. Jawabannya persis potongan puzzle yang tak lengkap, dia menduga-duga dari kebiasaan mengingau suaminya, dan berusaha mengingat hal-hal yang mungkin terkatakan waktu itu. Selama menuturkan keterangan tersebut, sesekali dia melirik ke arah kamera. Di balik layar lensa, di hadapan layar TV dia bisa merasakan pandangan suaminya meskipun menyadari kebiasaannya yang asik lalu-lalang di sekitar tombol-tombol remot.

“Tumben.” Ujar si Ayah, yang sedari tadi rupanya sedang memperhatikan lamunan si Ibu. Dia mencoba menerka-nerka, “Apa lagi ngidam tapi mikirin uang belanja, Mah?”

Si Ibu spontan menjawab, “Kostum, Pah.”

Bak baru saja mengucap mantra terlarang, si Ibu pun tertunduk. Sejenak, di antara mereka adalah secangkir kopi dingin yang terasa tidak karuan. Sementara televisi dibiarkan meracau sampai ketika beralih ke adegan boyband Korea yang segera dipindahkan si Ayah ke siaran ulang Piala Presiden. Di bawah tatapannya, si Ibu merasa bagai kucing liar budug yang hendak diusir pria itu. Untung saja hanya kilat daripada sambaran petir. Tampaknya, pria itu memilih melegakan dadanya dengan menghisap rokok, membiarkan momen tadi lepas bersama asap yang dihembuskannya.

Hal yang paling menghantuinya hari itu tentu saja gedoran si janin yang semakin menjadi-jadi. Kadang dengan sendirinya si Ibu memanggil nama anaknya yang mati. Gara-gara itu juga mimpi buruknya bertamu kembali. Kali ini seisi lumpur itu perlahan-lahan menjadi seperti patung tanah liat, kemudian menjadi sosok anaknya.

Si Ayah menyadari gejolak itu. Di hadapan istrinya dia berkata, “Mudah-mudahan ini kesempatan yang terakhir”, namun kedengarannya seperti dia bicara sendiri di depan cermin. Sedang si Ibu pelan-pelan berusaha meringankan jeratan di pikirannya dengan menanyakan apa yang dilakukan anak mereka dalam mimpi si Ayah. Jawabannya singkat saja, “Jagoan kecil kita sedang bertarung melawan monster.”

 Melantur, ngawur, kekanak-kanakan, dan terlalu banyak nonton film kartun, setidaknya begitulah anggapan yang ingin diyakini si Ibu. Namun, tendangan dan rasa perih yang menyakar-nyakar dinding rahimnya seratus persen membantah keyakinan tadi. Tiba-tiba kengerian menyergapinya dalam rupa ulat yang dibuahi tawon seperti yang disaksikannya di TV. Ulat itu dibuat lumpuh. Tawon yang bergerak-gerak lincah mengelilingi tanah di sekitarnya, tampak melompat-lompat kecil sampai mirip tarian. Dia mencari tempat untuk mengubur ulat sial itu. Tidak cuma inkubator, tetapi ulat ini juga hidangan pembukanya, demikian tutur si narator yang sungging bibirnya menceritakan campuran rasa geli dan jijik.

Sepanjang malam si Ibu menangis dan menjerit-jerit. Sudah beberapa kali terdengar ketukan pintu, lantaran para tetangga sempat was-was jikalau pasutri yang selama ini rukun tiba-tiba terjadi KDRT.

“Kempeskan.” Pinta Istrinya, dari matanya ruangan tampak berputar-putar dan lebih remang-remang dari biasanya.

“Gila!” Balas Suaminya, dia lebih puas dengan dugaan keracunan makanan terutama dari caranya melirik kaleng-kaleng tuna. Merkuri, memang dikenal sebagai sosok dewa pengirim pesan, tapi jelas kali ini pesan yang dikirimnya tak lain setumpuk berita buruk. “Baik, tenangkan dirimu dulu, kita periksakan saja besok.”

Si ibu tidak ambil pusing lagi apakah semua ini mimpi atau sungguhan. Dia berharap semua ini mengalir bersama hari kemarin tanpa mendatanginya lagi. Di penghujung detik-detik penentuan ini, setan yang meneror itu akhirnya menampakan diri pada citra USG dan wajah membelalak si Dokter.

“Ini mustahil” Ulang si Dokter untuk kesekian kalinya, “Janin ibu seharusnya sudah gugur! Tetapi kalau dilihat dari keadaannya tidak mungkin, dalam kasus terdahulu janin yang katakanlah jadi ‘mumi’, terjadi setelah lewat sembilan bulan tanpa kelahiran!”

Sekali lagi, mereka memandangi sosok beku dalam monitor yang mengingatkan siapa pun pada bayi-bayi dalam tabung dan larutan formalin. Atau bila bagi si Ibu: ulat dalam lubang kuburnya. Tak berapa lama, dia bertanya lagi meski terbata-bata.

“Tapi Dok, bagaimana dengan anu, tendangan dan nyeri yang saya alami?”

“Kita harus melakukan pemeriksaan lanjutan, barangkali ada tumor atau semacamnya, mungkin ini salah satu alasan untuk keguguran itu.” Si Dokter terdiam sejenak, mengamati kembali citra dalam monitor sembari mengingat-ingat keluhan si ibu, “Sebelumnya ibu mengeluh rasa sakit di sekitar sini, bukan? Kalau menurut gambar, tepatnya sekitar ari-ari.”

Sekali lagi kita perlu mengintip ke dalam pusar si Ibu. Membalikan jam pasir. Berseluncur di perosotan plasenta bersama gema-gema ratapan si Ruh. Sampai akhirnya kita meresap ke dalam daging serupa spons yang terus mengembang dan masih serba lunak. Kita terkunci di sini berbarengan dengan terhisapnya air ketuban oleh jasad si janin.

“Jibril, aku tahu ini tugasmu. Aku tahu tak sezarah pun ada penyimpangan padamu. Tetapi bisakah kau berbelas kasih sedikit saja, mengingat hal terbaik yang kudapatkan sampai sekarang adalah ketika Izrail menjemputku dengan mengendongku dalam pangkuannya.”

Sang Utusan Tuhan terlampau sibuk dengan catatan-catatan yang terselip di antara bulu-bulu sayapnya.

“Ah, jangan pura-pura tidak tahu begitu. Aku tahu betul apa yang akan kau catatkan padaku!” Si Ruh yang terperangkap meronta-ronta bagai gerak air dalam balon, “Tiga perkara, tetapi bagiku pada akhirnya hanya satu dan satu-satunya yang terwujud. Kau tahu itu.”

Jibril mencabut salah satu bulunya, menusuk janin sampai darah mengisi rongga bulu tersebut. Kemudian seperti yang digugat si Ruh, dia menatokan nama Izrail pada beberapa bagian tubuhnya.

“Katakanlah sedikit saja, untuk apa semua ini? Hal terakhir yang kupelajari adalah Umar Khayyam memang benar, bahwa orang paling beruntung adalah mereka yang tidak dilahirkan.”

Seperti halnya perupa yang berkonsentrasi penuh, Jibril terus menuliskan sejumlah nama-nama asing di antara jantung dan hati tubuh mungil itu. Sesuatu yang membuat si Ruh kian gundah.

“Aku mungkin tidak berakhir di neraka-Nya, tetapi kau tahu sendiri. Aku akan berakhir di neraka kuali dengan air yang mendidih, di dapur hingga meja makan. Kemudian orangtuaku merayakannya di surga sehamparan ranjang!”

Tak ada setetes pun darah pada pena bulu Jibril. Dia harus bergegas membawa ruh-ruh lainnya yang membikin dada terbusungnya. Sepeninggal Jibril, cahaya tampak jauh di ujung lorong. Si Ruh mulai menyadari kesempitan yang sama sekali tak terasa seperti pelukan. Degup jantung ibunya lebih menyerupai gemuruh halilintar daripada alunan Nina Bobo yang pernah dinikmatinya.

“Baiklah, sepertinya sia-sia saja. Setidaknya sandiwara ini belum dimulai. Seandainya aku mesti kembali, maka inilah yang akan kuperbuat: wahai tulang, berikan aku taring dan cakar, beri diriku taring dan cakar, taring dan cakar...”

Ikuti tulisan menarik Fadzul Haka lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler