x

Iklan

Dewi Septiyani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 November 2021

Minggu, 5 Desember 2021 12:23 WIB

Answer: Love Yourself

Cerpen ini bercerita tentang tiga orang pemuda yang bersama-sama memperjuangkan impian mereka masing-masing. Mereka memulai di jalan yang kosong sampai pada akhirnya mereka menemukan jawaban mengapa impian mereka harus terus diperjuangankan. Jawaban utama untuk meneruskan segalanya kembali, bukan untuk berhenti.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

ANSWER: LOVE YOURSELF

“Jika salah, perbaiki. Jika gagal, coba lagi. Jika kamu berhenti, maka semuanya selesai.”

Tulisan tangan seorang Tino tiga tahun silam pada halaman depan planner booknya. Ia selalu menulis apa yang ia dapat dari dua sahabatnya yang menurutnya ‘obat manis’ kala keadaan sedang tidak baik-baik saja. Mungkin jika dikumpulkan dalam satu buku bisa jadi buku motivasi abad ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebut saja mereka trio “No” karena nama mereka semua berakhiran “No”. Beno, Tino dan Seno. Pertemuan pertama mereka berawal karena mereka hidup di atap yang sama semasa mahasiswa baru bahkan hingga lulus. Kos “forever young” yang mempertemukan mereka. Kosan tiga lantai yang terletak belakang kampus negeri itu memang terkenal unik, selain namanya yang memang ‘anak muda’. Kosan itu sengaja dibuat 17 kamar layaknya tanggal proklamasi kemerdekaan ujar sang pemilik. Lantai paling atas hanya boleh dihuni oleh mahasiswa semester atas begitu pun seterusnya sehingga kamar mahasiswa baru tentunya berada di lantai satu.

***

Beno, mahasiswa Agribisnis asal Solo, selalu memakai kaos polos tak bergambar namun anehnya ia memiliki hobi melukis. Dalam lemarinya hanya ada kaos polos 12 warna dengan model yang sama. Orang tereceh dan tersantai diantara trio “No” namun sekalinya berkata bijak terkadang mebuat sahabatnya takjub.

Tino, mahasiswa Sastra Indonesia asal Bandung, selalu membaca buku setiap pagi. Manusia paling sistematis yang pernah ada. Memiliki kamar paling rapi diantara trio “No”. Hobinya adalah sepedaan karena dia tidak bisa naik apapun selain sepeda. Ia tahu banyak hal yang orang lain tidak tahu namun sebaliknya dia tidak tahu hal yang banyak orang lain tahu. Seperti itulah ciri uniknya.

Seno, mahasiswa Manajemen asal Palembang, selalu bernyanyi di kamar mandi karena menurutnya suaranya jauh lebih merdu ketika di kamar mandi. Nyatanya memang suaranya paling merdu diantara penghuni kos. Manusia satu ini adalah pecinta strobery dan alergi pedas.

***

Juni 2014, tepat setahun status mereka menjadi mahasiswa, kamar mereka masih belum berpindah masih di lantai satu. Pagi itu hujan rintik membasahi bumi Jogja. Suasana pagi paling nyaman untuk melanjutkan mimpi atau makan Indomie rebus.

“Kenapa pagi ini rasanya syahdu sekali ya, Tin?” Beno masuk ke kamar Tino dan mengganggunya yang sedang melakukan ritual paginya membaca buku

“Ah bilang aja kau ini laper kan?”

“Tau aja kau ini, aku mau buat Indomie rebus kamu mau engga? Sekalian buat Seno biar bangun”

“Ya mana mungkin aku nolak”

Sementara Beno sudah memulai memasak, Tino pun segera menghampri kamar Seno yang selalu terbuka 24 jam.

“Sen! Bagun Sen! ayo makan, nih nyicil pegang sendok dulu” memberikan sendok pada Seno yang masih berteman dengan selimut kuningnya.

“Makanan semalem aja kayaknya belum dicerna di lambungku, ini udah mau makan lagi” menjawab menjawab sembari duduk.

Mereka bertiga selalu menghabiskan sarapan bersama karena setelahnya mereka memiliki jadwal kuliah dan kesibukan yang berbeda. Namun setiap hari mereka terbiasa menceritakan apa yang terjadi hari itu. Mulai cerita serius sampai paling engga penting. Kebiasaan yang tercipta dengan sendirinya.

“Eh Mas Jon kenapa setiap weekend mancing terus yaaa? Apa ngga bosen kan cuma duduk doang nungguin ikan lewat” tanya Tino pada dua sahabatnya sambil beberes sarapan

“Mas Jon yang kamarnya di lantai 3 itu?” tanya Seno memastikan

“Iya Mas Jon yang mana lagi yang ngekos disini”

“Jadi kenapa kamu baca buku terus tiap pagi, Tin?” tanya balik oleh Beno

“Karena aku suka baca, kalau udah baca buku kaya seneng aja gitu jadilah rutinitas”

“Nah sama kan, jadi kenapa Mas Jon selalu mancing, mungkin bagi sebagian orang terlihat membosankan, tapi mungkin bagi dia itu hal menyenangkan. Everyone has a story, everyone has been through something that has changed them. Never judge by the chapter you walked in” jawaban Beno yang begitu panjang pagi itu.

“Wah, quote pagi seorang Beno sudah keluar pagi ini, tapi aku juga setuju sama Beno karena setiap orang punya standar bahagia masing-masing” menambahkan perkataan Beno

“Duh masih pagi udah berasa ketabok, nanti biar aku tulis di buku biar aku cetak sekalian, tunggu yaa tiga tahun dari sekarang kalian akan dapet cetakan perdana bukunya” jawab Tino pada petuah pagi dua sahabatnya itu. Entah seberapa banyak yang sudah ia tulis setahun terakhir ini, yang jelas semuanya berasal dari dua sahabatnya itu.

***

Tak terasa libur akhir semester ini pun tiba, mahasiswa mana yang tak suka liburan. Setelah lelah berkutat dengan semua tugas, praktikum, deadline lain yang selalu ada di depan mata ditambah agenda organisasi ataupun komunitas. Sepertinya liburan semester adalah ‘jeda’ untuk nantinya bernafas kembali. Anehnya justru Tino dan Seno tak pulang.

“Kalian beneran ngga pulang rumah?” tanya Beno pada dua sahabatnya meyakinkan

Engga Ben, entah semester depan bisa kuliah lagi engga” ujar Tino singkat, tampak raut sedih terlihat di wajahnya

“Loh kok gitu?”

“Keuangan rumah lagi engga baik. Rencananya liburan semester ini aku mau ambil part time buat nambahin bayar UKT semester depan” jelas Tino

“Apa aku jual aja yaa sepedaku?” lanjut menunjuk sepeda biru muda yang ada di garasi kos

“Jangan dong, lagian selain sepada mana bisa kamu naik kendaraan lain” jawab Seno

“Gimana kalau liburan semester ini kalian di rumahku?” ajak Beno antusias pada dua manusia di hadapannya

“Duh perasaan mulai engga enak gini aku” jawab Seno penuh ejekan

“Ah kau ini, jadi gini aku kemarin diminta tolong guru SMA ngadain expo kampus di sekolah, ntar kalian bisa bantuin koordinasi acaranya misal nanti dikasih live music pas expo biar suara merdumu singgah ke Solo, nanti Tino bantuin buat template tiap stand. Please, Bisa kan? tenang aja kali ini engga gratis kok” ajakan Beno yang selalu sulit untuk ditolak

“Tapi dengan satu syarat” lanjut Beno bernegosiasi

“Apa?”

“Syaratnya Tino juga harus ikut, nanti biar ‘fee’ yang dikasih buat dia juga. Deal?” tanya Seno pada Tino agar dia tidak menolak penawarannya kali ini

“Mana bisa aku nolak kalo udah gini nodongnya, entah dimana lagi aku nemuin manusia macam kalian ini” jawaban Tino mendadak mellow. Dua manusia dihadapannya hanya bisa tertawa melihat Tino yang begitu sentimental waktu itu.

***

Liburan telah dimulai, kampus yang selalu ramai dari pagi sampai malam pun tampak sepi. Liburan kali ini untuk pertama kalinya mereka menginjakkan kaki di Solo. Kota yang terkenal orang-orang yang lemah lembut nan ramah. Setelah perjalanan 1,5 jam mereka berkendara akhirnya sampai di rumah Beno. Rumah dengan warna cream yang mendominasi ini mempunyai halaman depan dengan pagar berwarna hitam, di samping rumah terdapat ayunan kayu yang sepertinya sudah lama.

"Assalamualaikum" sambil mengetuk pintu Beno

"Wa'alaikumsalam" terdengar suara berjalan keluar

"Oh ini pasti yang namanya Seno sama Tino. Akhirnya bapak tau juga wujudnya kaya apa. Si Beno tiap pulang pasti cerita kalian, Dek. Selalu engga habis-habis ceritanya"

"Wah saya jadi tersanjung, Pak" jawab Tino penuh tawa

"Tersanjung episode berapa, Nak?" menjawab dengan candaan. Perkenalan mereka pun diakhiri dengan penuh tawa. Sepertinya mereka tahu dari mana sifat humoris Beno berasal.

***

Bagi Seno atau Tino sudah lama rasanya tidak merasakan masakan rumahan. Setelah sekian lama akhirnya kerinduan mereka sedikit terobati berkat masakan Ibu Beno. Rasanya teramat special bagi Seno khususnya untuk bisa makan dengan keluarga lengkap. Ia merupakan anak broken home. Ia sangat paham bahwa hal seperti ini sangat sulit terjadi dalam hidupnya. Keluarga Seno tak pernah menghabiskan waktu bersama keluarga. Ia memilih tinggal bersama Neneknya dari pada harus memilih antara Ibu atau Ayahnya. Salah satu alasan mengapa ia jarang pulang rumah. Dalam hidupnya belum ada ‘rumah’. Rumah dalam benaknya hanya ada bagunan megah tanpa arti ‘rumah’ didalamnya. Dalam diri seorang Seno yang terbilang periang, dia memiliki luka yang belum sembuh bahkan sulit untuk diobati seusianya. Ia sama sekali tak menceritakannya kepada siapa pun bahkan kepada Beno dan Tino sekali pun.

“Oh jadi gini rasanya makan bareng keluarga” tutur Seno tersenyum

“Gimana rasanya, Sen?” tanya Tino balik

“Rasanya hangat. Terimaksih, Bu. Masakannya enak, rasanya agak pedas tapi ah mantap pokoknya” sambil mengacungkan jempol pada Ibu Beno

***

Seminggu sudah mereka di Solo yang disibukkan dengan rencana expo kampus sekolah Beno. Semuanya berjalan sukses berkat kerja keras mereka. Suara merdu Seno pun akhirnya terdengar di halaman sekolah Beno selama expo berlangsung dan banyak dari mereka yang meminta foto bareng. Entah mengapa dari kejauhan dia tampak seperti penyanyi sungguhan. Sesuai kesepakatan fee expo kali ini diberikan kepada Tino. Sayang sekali jika seorang Tino yang otaknya begitu meletik harus cuti kuliah karena hal ini.

Sepertinya memang benar adanya, setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Tak lama setelah Tino dengan segala usahanya mengumpulkan uang untuk kuliahnya. Kabar tak terduga datang padanya. Ia mendapatkan beasiswa dari salah satu kemeterian. Sebenarnya ia mengikuti seleksi beasiswa salah satu kementerian namun ia tak percaya diri dengan kemampuannya. Menurutnya saingannya lebih baik darinya. Selain itu, Beno dan Seno juga mendaftarkan beasiswa namun kali ini mereka belum lolos.

***

Hari terakhir mereka di Solo dihabiskan dengan camping dadakan di daerah yang agak tinggi. Dataran tinggi yang selalu cocok untuk camping, outbond atau pun sekadar jalan-jalan mencari udara segar. Semuanya tampak sempurna. Manusia, tempat dan momentnya. Someplace bring you to many stories. Begitulah yang dikatakan Seno setiap kali berada tempat baru. Malam itu bukan hanya mereka yang camping disana, ada beberapa orang lagi karena memang tempat itu adalah khusus bumi perkemahan.

“Ternyata ada tempat beginian di deket Solo ya, Ben?” tanya Seno yang sedang kagum karena tempat itu benar-benar indah

“Anggep aja kalian camping di puncak Bogor, sama kan?” jawab Beno sambil menyalakan tumpukan kayu di depannya. Api kecil pun mulai tampak menyebar membakar semua tumpukan kayu. Rasanya begitu hangat ditambah secangkir kopi panas di hadapan mereka.

“Terimakasih Ben, liburan ini amat berbeda” sambil memegang cangkir kopinya air menatap Beno

“Apanya yang beda?”

“Banyak yang beda, aku baru tahu apa artinya ‘rumah’, biasanya aku tidak peduli entah aku pulang atau tidak ke rumah karena rumah bukan tempatku pertama kembali. Bagiku rumah hanyalah luka yang belum terobati. Aku masih trauma melihat pertengkaran orang tua dari sejak kecil. Rumahmu begitu ‘hangat’ sampai aku lupa betapa ‘dinginnya’ rumahku sendiri” Lanjut Seno meminum seteguk kopi

“Sejauh apapaun kamu pergi, rumah tetap tempat pertamamu kembali, Sen. Luka itu akan memudar jika kamu menyembuhkannya. Jadi sempatkanlah pulang walau sebentar. Buatlah rumahmu juga hangat, Sen. Engga mudah memang tapi kamu harus memulainya agar ‘lukamu’ cepat terobati” lanjut Beno menesehati sahabatnya itu

“Kenapa pembicaraan ini lebih berat dari buku yang aku baca tadi” tawa Tino menanggapi ucapan mereka. Malam itu indah, benar-benar indah.

***

3 tahun terlah berlalu. Mereka telah memilih jalan mereka sendiri. Jalan yang tidak mudah. Dimulai dari Beno yang mulai melanjutkan studinya di kampus impiannya di New Zeland, University of Auckland, bahkan dengan beasiswa. Bukan hal mudah untuknya mengingat ia selalu gagal dalam mencari beasiswa. Seno dengan luka lamanya mencoba menyembuhkannya dengan pulang ke rumah dan merintis karirnya serta tak lupa ia mengembangkan suara merdunya. Tino yang selalu bisa diandalkan. Impiannya tak berubah sejak dulu. Ia hanya ingin menjadi penulis. Ia ingin tulisannya bisa menginspirasi orang banyak, terlebih orang di sekitarnya. Hanya saja jalannya tak semudah yang ia harapan. Butuh waktu cukup lama agar tulisannya tercetak nyata. Dan Ia berhasil memenuhi janjinya pada dua sahabatnya untuk memberikan cetak pertamanya pada mereka. And now, They did it.

***

Anwers: Love Yourself by Tino

Buku ini dipersembahkan kepada dua manusia terbaik yang telah melewatkan segalanya bersama. Senang, sedih, luka, jatuh, terpuruk, bangkit, jatuh lagi, bangkit lagi dan seterusnya. Ketika mata ini hanya melihat rumput tetangga yang lebih hijau. Melupakan semua kerja keras diri dan selalu menyalahkan diri sendiri ketika semuanya gagal. Mereka selalu berkata “Bukankah kegagalan juga proses perjalanan? Perjalanan untuk kembali mempercayai diri, lalu katakan bahwa ‘You’re the one you should love in this word’. Yes, yourself. Your life doesn't get better by chance, it gets better by change.  Bahkan Bintang-bintang akan bersinar lebih terang di malam yang paling gelap. Bukankah begitu?

Seperti halnya marathon, walaupun kecepatan setiap orang berbeda, namun finishnya akan tetep sama. Maka aku akan membiarkan diri ini berjalan, berlari, berjalan kembali untuk memberikan ‘jeda’ agar bisa berlari kembali, bukan untuk berhenti. Aku tak peduli seberapa cepat orang lain berlari, selama aku tidak berhenti, itu sudah cukup bagiku. You’re the winner for yourself and you’re what you make yourself to be. From now, I will thank myself.

We began on empty roads and now we're each other’s signposts. Terimakasih teruntuk dua manusia yang membantuku menemukkan jawabannya. The answer : Love yourself. Dua manusia terbaik, Beno dan Seno.

Ikuti tulisan menarik Dewi Septiyani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler