x

Iklan

Bernard Kolling

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 November 2021

Minggu, 5 Desember 2021 12:47 WIB

Kacamata Iskandar

Iskandar tidak dapat tidur. Padahal besok harus bergegas pagi untuk menyiapkan rapat darurat. Mendikbud, meluncurkan surat edaran no. 4 tahun 2020, kebijakan yang mengharuskan proses belajar dilangsungkan secara daring. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran akan masa depan murid-muridnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kegiatan sekolah daring sudah dua bulan berjalan, tapi masih tidak efektif. Bahkan ada yang tidak mampu mengikuti sekolah daring. Banyak faktornya. Salah satunya adalah kemiskinan. Untuk melaksanakan sekolah berbasis daring ini dibutuhkan sarana berupa gawai sebagai media untuk penyaluran informasi. Tidak berhenti sampai disitu, internetpun harus terfasilitasi agar mampu terhubung antara satu dengan lainnya.

Suatu sore, ketika sedang memeriksa tugas murid-muridnya, lagi-lagi Iskandar tidak menemukan tugas dari Timo. Hal ini membuat Iskandar heran. Sebab yang ia tahu, Timo adalah anak yang rajin dan cerdas. Tahun lalu saat kelas empat, Timo mendapat peringkat kelima dari dua puluh tujuh siswa di kelasnya. Iskandar menghubungi bagian administrasi sekolah untuk mendapatkan nomor telepon orangtua Timo.

“Halo, selamat sore. Betul ini dengan Ibu Yuli, orangtua dari Timo?” Tanya Iskandar saat teleponnya terhubung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Betul. Dengan siapa, ya, Pak?”

“Saya Iskandar, Bu, walikelas sekaligus guru matematika Timo.”

“Oh, Pak Is. Ada apa menelepon, Pak?”

“Begini, Bu. Dua minggu ini, Timo tidak mengikuti kegiatan belajar yang kami adakan secara daring. Tugas-tugasnya pun tidak dikirimkan. Apa terdapat kendala, Bu?” Jelas Iskandar menyampaikan keheranannya.

“Maaf, Pak, mungkin Timo kelupaan, karena belakangan Timo asyik bermain di rumah bersama adiknya sehingga melupakan tanggung jawabnya bersekolah. Nanti akan saya ingatkan Timo untuk menyelesaikan tugas-tugasnya, Pak.” Jawab Yuli. Setelah mendapat penjelasan itu, Iskandar cukup tenang. Percakapan ditutup, telepon diakhiri.

Keesokan harinya, Timo tidak mengikuti kelas daring. Iskandar mengambil telepon genggamnya dan menghubungi Yuli. Tidak ada jawaban. Selang beberapa menit, Iskandar kembali mencoba, tidak ada jawaban juga. Hatinya tak tenang. Iskandar memutuskan untuk mengunjungi rumah Timo.

“Mau kemana, pak?” Tanya Ani, istrinya.

“Aku izin pergi sebentar, ya, Bu. Ingin ke rumah Timo. Beberapa hari ini dia tidak ikut kelas, tidak mengerjakan tugas, dan tak ada kabar.” Jawab Iskandar.

“Yakin, Pak?” Tanya Ani. Ani tidak perlu jawaban. Hanya dengan melihat matanya saja dia paham. “Maskernya dipakai, yang benar! Jangan dilepas! Jangan lupa untuk menjaga jarak, ya, Pak!” Lanjut Ani mengingatkan Iskandar.

Setelah mendapat alamat rumah Timo dari administrasi sekolah, Iskandar bergegas memakai masker dan meluncur dengan vespa tua kesayangannya. Sebenarnya Iskandar ragu untuk pergi, karena memang bukan situasi yang tepat untuk berkunjung. Tapi ada rasa penasaran yang besar di dalam Iskandar yang mendorongnya untuk pergi.

Setelah mengikuti semua arahan yang diberikan google maps, Iskandar sampai di sebuah bangunan rumah sederhana yang dicat dengan warna hijau. Ia membuka pagar rumah yang tak terkunci dan mengetuk pintu rumah itu. Tak lama pintu itu terbuka. Didapatinya Timo yang kaget ketika melihat tamu yang datang adalah walikelasnya. Timo menyodorkan tangannya untuk memberikan salam kepada Iskandar. Iskandar mundur satu langkah.

“Maaf, Timo untuk saat ini kita tidak bisa saling bersentuhan dan harus menjaga jarak.” Jelas Iskandar kepada Timo. “Dimana Ibumu?” Ia lanjut bertanya.

“Ibu sedang pergi, Pak. Bekerja. Nanti malam baru akan pulang.” Timo menjawab.

“Timo, Bapak hanya ingin tanya, mengapa kau tidak menghadiri kelas daring dan tidak mengerjakan tugas, Nak? Apa ada kendala?” Iskandar menyampaikan tujuannya berkunjung.

Timo menunduk. “Saya tidak memiliki komputer maupun telepon genggam, Pak. Ada satu telepon genggam, tetapi digunakan Ibu untuk mengojek.” Lalu terdengar suara tangis anak kecil dari dalam kamar. Timo bergegas lari, menjemput adiknya yang menangis. Timo kembali muncul dengan membawa adik kecilnya.

“Kau sudah makan, Nak?” Tanya Iskandar. Yang dibalas anggukan tegas dari Timo. “Tunggu sebentar, ya. Nanti Bapak akan kembali lagi.” Pintanya pada Timo. Iskandar pergi ke swalayan untuk membelikan Timo roti, makanan ringan, dan vitamin.

Iskandar kembali ke rumah Timo untuk memberikan satu kantung plastik yang ia beli dari swalayan sambil berkata, “Tenang, ya, Nak. Nanti Bapak carikan solusinya.”

Rasa penasarannya terbayar. Iskandar pulang dengan membawa jawaban. Ia mengendari vespanya menuju rumah dengan tatapan yang kosong. Hatinya mengharu biru. Tergambar wajah Timo yang begitu ceria saat sedang bermain bersama teman-teman sekelasnya, di waktu istirahat sekolah. Pasca kunjungannya ke rumah Timo, tidurnya tak tenang. Langkah selanjutnya adalah memikirkan solusi.

Cerita singkat yang Iskandar tahu, kedua orangtua Timo menikah diusia yang begitu belia dan beberapa tahun lalu memutuskan untuk berpisah. Timo yang malang. Korban perpecahan keluarga. Iskandar memang kurang setuju dengan pernikahan di usia muda. Ia memiliki pandangan, menikah bukanlah sebuah tujuan utama dalam hidup yang harus dilangsungkan dengan ketergesa-gesaan. Apalagi untuk memiliki anak. Banyak masyarakat Indonesia yang Iskandar jumpai, mungkin siap dalam menikah, tapi tidak siap dalam memiliki anak.

Berdasarkan pengalamannya, dalam pernikahan akan muncul banyak konflik. Mulai dari konflik ringan, hingga serius. Oleh karena itu dibutuhkan mental yang cukup baik untuk menghadapinya. Di usia yang muda, emosi kerapkali kurang stabil, sehingga tak jarang menimbulkan perceraian. Namun pernikahan muda sudah menjadi fenomena nasional, fenomena kultur yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, khususnya di Indonesia.

Iskandar menghubungi beberapa rekan guru untuk menceritakan permasalahan yang dialami Timo. Percakapan singkat dengan beberapa rekannya melahirkan sebuah solusi. Penggalangan dana akan dilakukan untuk membantu pengadaan fasilitas bagi yang membutuhkan. Undangan rapat orangtua disebar. Tentunya rapat diadakan secara daring. Penyampaian informasi dilakukan secara bergiliran dari kelompok yang satu, ke kelompok yang lain. Harapannya informasi dapat sampai secara jelas kepada para orangtua.

Sebetulnya Iskandar tidak berharap lebih dari penggalangan dana yang dilakukan, sebab di situasi pandemi seperti ini, semua orang turut mengalami kesulitan. Penggalangan dana dimulai. Hasil gotong royong bersama mampu membeli beberapa telepon genggam yang mendukung untuk kegiatan sekolah daring. Telepon genggam itupun disalurkan ke beberapa siswa yang membutuhkan, termasuk Timo.

Proses belajar daring berlanjut. Meskipun jauh dari kata efektif, paling tidak masih terjadi proses pembelajaran. Kendala-kendala terjadi silih berganti, baik dari pihak pengajar maupun murid. Terlalu banyak perubahan yang cepat, terlebih kurikulumnya. Bagi Iskandar yang berusia tiga puluh tahun mungkin tidak begitu sulit untuk beradaptasi, akan tetapi masih terdapat beberapa rekan guru yang tidak terbiasa dengan internet maupun teknologi. Tak jarang Iskandar harus menjadi jembatan antara rekan guru lain dengan murid-muridnya.

Situasi semakin tidak baik. Semangat belajar murid-murid turun. Belakangan banyak murid yang tidak mengikuti kelas daring dan tidak mengerjakan tugas. Termasuk juga Timo. Cedera hati Iskandar. Seusai mengajar, ia duduk di teras rumahnya dengan pandangan yang kosong.

“Ini kopinya, Pak. Ada apa? Kok, mukanya lesu begitu?” Tanya Ani sembari memberikan segelas kopi untuk Iskandar.

“Belakangan banyak anak-anak yang bolos, Bu. Aku jadi bingung. Geram aku. Ingin marah, tapi tak bisa. Mereka seperti tanah liat. Ingin dibentuk, tapi licin disentuh.” Iskandar menggerutu.

“Kau tidak bisa berjuang sendirian, Pak. Yang kau hadapi adalah anak-anak. Mereka butuh pendampingan. Menurutku, kau harus bekerja sama dengan para orangtua. Selain melakukan pendekatan pada anak-anak, kau juga harus melakukan pendekatan pada para orangtuanya.” Ucap Ani menyampaikan pendapatnya.

Iskandar melepas kacamatanya, memandang ke depan. Kabur. Semuanya menjadi tidak jelas.

 

 

Ikuti tulisan menarik Bernard Kolling lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler