x

Iklan

Dhila Adinia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Minggu, 5 Desember 2021 12:56 WIB

Positif

Positif karena virus itu sudah biasa, kalau yang ini positif karena gosip

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Siaran di televisi menampilkan berita tentang Covid-19 yang sudah menjadi makanan sehari-hari saat ini. Berita pertumbuhan kasus yang kian hari semakin meningkat membuatnya menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat semenjak debutnya di China tahun 2019 lalu dan merambah ke belahan bumi lainnya seperti Indonesia.

"Udah to le, mbok ndak usah nonton yang begituan. Ibu jadi parno lihatnya," kata Sari yang sudah memakai maskernya dan membawa dompet di tangan kirinya.

"Ya ibu nggak usah lihat, Arman cuma pengen tahu aja gimana kondisi saat ini biar bisa lebih waspada." Balas Arman yang masih anteng memerhatikan tontonannya.

"Tapi yang jadi masalahnya itu lho bapakmu kelamaan di luar negeri, ibu itu takut bapakmu kenapa-kenapa."

Memang Radian, suami Sari sudah lama bekerja di Brunei sebagai arsitek dan hanya pulang 3 bulan sekali. Namun karena Covid-19 sudah hampir setengah tahun ini belum bisa pulang ke Indonesia.

"Bukannya tadi ibu telponan sama bapak kan? Beliau juga bilang sehat-sehat aja."

"Yaudah terserah kamu, ibu mau ke tukang sayur dulu beli bahan buat masak hari ini, kamu mau dimasakin apa?"

"Sayur asem, ikan asin, sama sambel kayaknya enak, Bu," jawab Arman, dia sampai menelan ludah mengingat betapa nikmatnya kombinasi makanan itu, apalagi buatan ibunya tidak mungkin jika tak enak.

"Yowis, ibu pergi dulu."

"Hati-hati, Bu."

Sari tiba di tempat biasa pedagang sayur komplek ini mangkal. Sudah ada beberapa ibu-ibu yang mengelilingi gerobak sayur itu.

"Selamat pagi, Ibu-Ibu," sapa Sari sembari tersenyum ramah.

"Pagi juga Bu Sari, tumben nih biasanya juga yang nomer satu datang kesini," balas Yanti.

"Iya Bu, tumben nggak mruput," ujar Nana.

"Ibu-ibu ini bisa aja, ini lho Bu tadi saya lihat si Arman nonton berita Covid. Pagi-pagi saya udah merinding Bu lihatnya, makin banyak kan soalnya yang kena. Amit-amit ya Bu, jangan sampe di komplek kita ada yang kena."

"Wah iya Bu, saya juga ngeri. Semoga saja komplek ini bisa terlindung dari virus itu," ujar Narti sang pedagang sayur yang diamini ibu-ibu lainnya.

"Bu Narti, saya mau bahan sayur asemnya yang biasa."

Narti yang mengerti langsung sigap mengambilkan, begitu pula dengan para pelanggannya yang lain. Sudah hampir 5 tahun ia mangkal disini dan cukup akrab dengan ibu-ibu yang ada di komplek ini.

"Wah, Bu Sari ini sederhana sekali ya padahal suaminya kerja di luar negeri gajinya banyak tapi belinya sayur asem juga," ujar Gia, dia agak iri melihat tetangganya yang ini benar-benar definisi keluarga yang mendekati sempurna yah walaupun harus LDR dengan suami.

"Iya Bu, ini yang minta Arman."

"Hebat Bu Sari ini, udah suaminya berduit anaknya juga sederhana nggak minta yang muluk-muluk."

"Saya juga bersyukur, Bu," balas Sari seadanya, sebenarnya ia tak nyaman jika membicarakan hal ini, apalagi nada suara tetangganya ini benar-benar ketahuan sekali jika penuh dengan keirian.

"Oh iya, saya jadi inget tadi saya lewat di depan rumahnya Bu Diah ngelihat dia sama suaminya baru ngobrol di teras. Nah, saya denger Bu Diah bilang kalau dia positif ke suaminya sambil nangis," ujar Gia sembari melirik sekilas pada Sari karena memang rumah Gia bersebelahan dengan Sari.

Sontak semua yang ada disana terkejut mendengarnya, tak terkecuali Sari.

"Wah yang bener, Bu?! Padahal baru aja tadi kita ngomongin tentang ini, eh ternyata udah kejadian."

Setelahnya Sari cepat-cepat mengambil belanjaannya dan membayar. Tak lupa ia berpamitan pada ibu-ibu yang lain. Sesampainya di rumah, ia langsung menceritakan tentang pembicaraan ibu-ibu tadi pada Arman.

"Masa sih, Bu? kelihatannya tetangga sebelah aman-aman aja, tetangga sebelah juga nggak ada ngabarin apa-apa kan ke Pak RT," kata Arman tenang, ia menuntun ibunya duduk di sofa ruang keluarga yang sedaritadi mondar-mandir. Walaupun umur Arman masih 16 tahun tapi ia sudah berfikir dewasa karena memang mau tak mau dia yang menggantikan posisi ayahnya untuk menjaga ibunya.

"Tapi tetep aja le, ibu takut."

"Ibu tenang dulu ya, tunggu aja kalau memang benar beritanya seperti itu pasti Bu Diah dan suaminya akan melapor."

Tiga hari setelahnya kompleks perumahan itu masih tenang tanpa ada salah satu warganya yang positif.

"Kok yo belum ada laporan sih Bu, heran saya."

"Iya Bu, jangan-jangan memang sengaja mau menyembunyikan."

"Jangan begitu Bu, mungkin lupa atau belum sempat."

"Bu Sari ndak mau nanya ke tetangganya itu?"

"Saya ndak enak."

Memang pasangan suami istri itu agak tertutup pada lingkungan sekitarnya dan hal itu mrmbuat tetangga yang lain merasa sungkan. Bahkan, Diah sama sekali belum pernah berbelanja sayur di tempat Narti. Padahal hampir semua ibu-ibu di kompleks ini membeli bahan masakan mereka disini. Pasutri itu belum  dikaruniai anak, begitu ditanya Diah menjawab belum rejekinya. Gosip ini sudah menyebar kemana-mana sejak Gia menyebarkan info hari itu.

Arisan kompleks itu diadakan setiap hari Minggu, entah kebetulan atau tidak saat ini giliran Diah yang bertempat di rumahnya.

"Kok belum pada dateng sih, Mas? Biasanya kalau jam segini sudah banyak yang datang," ujar Diah pada Reno suaminya.

Tak lama kemudian, bunyi notifikasi dari ponsel Diah terdengar. Banyak sekali pesan dari para ibu-ibu kompleks yang izin tidak menghadiri arisan hari ini, bahkan semua tanpa terkecuali.

"Ternyata semua memang nggak datang, Mas."

Diah menunjukkan beberapa pesan yang dikirimkan padanya.

"Kamu istirahat aja dulu ya, mas yang cari tahu nanti."

Akhirnya, Reno berinisiatif bertanya pada Pak RT yang kebetulan adalah tetangga sebelahnya karena secara logika tidak mungkin semua ibu-ibu tak bisa hadir secara bersamaan seperti ini.

"Assalamualaikum, Pak RT."

Terdengar bisik-bisik sebelum akhirnya sang empunya rumah keluar. Sepertinya ia mendengar suara Bu RT sekilas.

"Waalakumsalam, silakan duduk, Pak."

Reno duduk, tapi ia heran kenapa Pak RT tidak ikut duduk dan malah berdiri dengan jarak 3 meter darinya.

"Bapak tidak duduk?"

"Tidak, saya disini saja. Ada perlu apa ya?"

"Saya cuma ingin bertanya, kenapa ibu-ibu tidak ada yang datang ke arisan. Barangkali Pak RT tahu apa penyebabnya."

"Begini Pak Reno, saya baru tahu hal ini dari istri saya tadi dan kebetulan ada Pak Reno disini. Dari kabar yang beredar di kalangan ibu-ibu katanya Bu Diah positif ya pak?"

"Loh kok pada bisa tahu? Iya benar Pak, istri saya positif," ujar Reno dengan raut gembira, tapi berbanding terbalik dengan Pak RT yang mengambil satu langkah menjauh.

"Kalau begitu kenapa Pak Reno dan Bu Diah belum melapor?"

"Memangnya harus, Pak?"

"Iya perlu to ya Pak Reno ini gimana tho," kata Bu RT yang tiba-tiba muncul.

"Rencananya saya baru mau nunggu 3 bulan, sekalian bikin syukuran."

"Syukuran kok syukuran positif Covid," ujar Bu RT dengan nada mengejek.

"Siapa yang positif Covid?"

"Katanya tadi Bu Diah, Pak."

"Sepertinya ada salah paham disini. Istri saya itu positif hamil Pak, Bu RT."

Bu RT dan pak RT saling berpandangan. Bu RT akhirnya menceritakan asal muasal kabar itu beredar, tidak lain dan tidak bukan karena berawal dari Gia yang mendengar percakapan Diah dan Reno waktu itu.

"Kalau begitu saya minta maaf pak, atas kesalahpahaman ini dan istri saya juga. Tidak salah lagi, ibu-ibu tidak datang arisan karena mengira istri bapak positif Covid."

"Iya Pak Reno, saya minta maaf. Sekarang saya kabari ibu-ibu semua tentang informasi ini biar pada datang di arisan."

Reno pamit, setelahnya ia mengabari istrinya perihal kesalahpahaman ini.

"Oh, jadi begitu Mas."

"Kamu tidak apa-apa kan?"

"Iya Mas, jangan khawatir."

Beberapa saat kemudian rombongan para ibu-ibu datang yang langsung dipersilakan Diah duduk tentunya dengan berjarak karena keadaan masih pandemi. Semua ibu-ibu yang datang meminta maaf serta memberi selamat atas kehamilan Diah.

"Iya Ibu-Ibu, tidak apa-apa ini hanya kesalahpahaman saja," ujar Diah sembari tersenyum.

"Bu Diah ini baik sekali, maaf lho Bu saya waktu itu mau bertanya tapi takut ndak enak," kata Sari.

"Iya Bu, santai saja."

"Ngomong-ngomong Bu Gia ndak kelihatan ya?" tanya Sari pada yang lainnya.

"Mungkin masih malu Bu, nggak enak juga sama Bu Diah."

"Tadi Bu Gia sudah chat saya kok."

"Yasudah kalau begitu."

Ikuti tulisan menarik Dhila Adinia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB