x

Iklan

16 _Dwi Sume

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Senin, 6 Desember 2021 06:28 WIB

Sandyakala Saksi Nyata Murkanya Sang Pencipta

Ajaran agama selalu mengajarkan kita untuk selalu berada di jalan kebenaran serta taat pada norma. Namun, apa jadinya jika kita tidak lagi berada di jalur yang benar? Bagai laju kereta pada jalur rel yang salah, kereta itu tentu akan tersasar pula pada stasiun yang salah. Tak hanya itu, boleh jadi juga akan mengalami kejadian yang tidak diinginkan. Begitu pula dengan mereka yang telah menyimpang dari ajaran agama. Mereka akan tersesat ke arah negatif, juga lambat laun akan dilanda malapetaka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Sandyakala tidak akan tersentuh oleh Tuhan! Persetan dengan perkataan Dharma dan sahabatnya. Tanpa bantuan Tuhan pun, kota ini dapat maju dan mewah seperti sekarang!” tegas Wali Kota Sasmita yang sedang memantau keadaan kota, dari lantai tiga kantor wali kota. Gemerlap kilau berlian menghias di setiap sudut kantor tersebut.

            Sebelumnya, Dharma dan Cakra mendatangi Sasmita. Bermaksud membujuk Sasmita untuk meluruskan kembali masyarakat kota ini. Yang sedari lama telah melupakan ajaran Tuhan, dan perilaku masyarakatnya yang sudah tidak peduli lagi dengan norma. Juga mempertanyakan rencana pejabat kota yang ingin menggusur Tri Mandala. Digantikan dengan gedung kasino bertingkat lima. Tentunya Wali Kota Sasmita memiliki andil besar dalam hal ini

***

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Perilaku masyarakat kota ini jauh berbeda dengan kota Sandyakala tiga puluh tahun silam. Kala itu masyarakat kota ini sangat religius, berbudi pekerti luhur, serta menjunjung tinggi norma bermasyarakat. Toleransi umat beragama pun begitu kental di kota ini. Pura, Masjid, dan Wihara saling berdampingan dan bersebelahan satu sama lain. Masyarakat kota menyebutnya dengan nama Tri Mandala. Kota ini memiliki satu tradisi yang terbilang unik. Tatkala purnama tiba, seluruh rakyat kota ini akan bertolak menuju Tri Mandala. Dan kota Sandyakala segera berhenti sejenak.

            Para tetua serta pemimpin agama dari agama Hindu, Islam, dan Budha duduk melingkar di halaman Tri Mandala. Begitu pula dengan para remaja dan orang dewasa. Mereka bercengkerama akrab seraya beberapa kali diselingi dengan tawa canda. Tak luput pula, anak-anak pun turut mengambil bagian dalam tradisi ini. Suara tawa dan tangis mereka menjadi satu di halaman Tri Mandala. Bahkan tidak dapat dibedakan, anak ini sedang menangis atau tertawa. Ikatan tali persaudaraan sangat erat pada masyarakat kota ini.

            Tepat pada pergantian malam ke pagi hari, masyarakat akan bertolak menuju tempat ibadahnya masing-masing. Di waktu yang bersamaan, mereka dengan khusyuk melantunkan doa menurut agamanya masing-masing. Lantunan doa yang merdu nan elok menyeruak ke seluruh penjuru mata angin kota Sandyakala. Sungguh menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Konon katanya, tradisi ini telah ada sejak berabad-abad lamanya. Sejak zaman kerajaan.

            Semuanya berubah ketika masyarakat kota dominan telah sukses. Kesibukan memenuhi hari-hari mereka, hingga tidak ada waktu lagi untuk berdoa ataupun menjalani tradisi turun-temurun tersebut.

            “Sangat miris melihat keadaan kota kita saat ini. Berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dengan kota yang dahulu,” lirih Dharma. Anak muda itu duduk melingkar di halaman Tri Mandala bersama sahabatnya. Seusai bersembahyang di tempat ibadahnya masing-masing.

            Mereka menggeleng pelan. Manik matanya berkaca-kaca. Memandang Pura, Masjid, dan Wihara layaknya pajangan saja di kota ini. Yang datang untuk beribadah pun dapat dihitung dengan jari. Kalah tenar dengan klub malam di seberangnya.

            “Jika dahulu lantunan doa yang menyeruak, kini malah suara house music yang menggelegar. Segala penjuru arah mata angin kota kita, dipenuhi olehnya,” sahut Cakra.

            Lima belas menit bercengkerama, dengan langkah gontai mereka bergegas pulang. Belum genap sepuluh langkah berjalan, suara kasar seorang lelaki tua menusuk gendang telinga para remaja itu. Sumber suara tepat ada di klub malam seberang mereka. Puluhan perempuan dan laki-laki tampak berbaris rapi di sisi pria itu. Sedang diobral. Ratusan pria dan wanita dari berbagai umur, juga bergumul di sana. Sedang asyik memilih wanita atau pria mana yang akan dijadikan teman kencan untuk malam ini. Pemandangan yang sudah biasa dalam kurun waktu satu dasawarsa.

            Di waktu yang bersamaan pula, terlihat seorang gadis berparas anggun nan manis diseret oleh sepasang suami istri. Gadis itu berontak, berusaha melawan. Rambutnya yang tergerai indah dijambak berulang kali. Juga dia ditampar berkali-kali. Sebuah mobil mewah yang dikawal oleh orang berbadan tinggi besar, tampak menunggu di depan rumah gadis itu. Menagih utang.

            Plakkk! Tangan kanan ayahnya mendarat kencang di pipi sebelah kanan gadis manis itu. Tubuhnya seketika ambruk menghantam ubin. Tetesan darah segar mengucur dari dahinya. Benturan keras barusan, membuat dia tergeletak lemas tak berdaya.

            “Hanya dengan ini, Bapak dan Ibumu bisa melunasi utang-utang kita! Hanya semalam saja, apa susahnya?” lontar pria paruh baya tersebut. Istrinya mengangguk, setuju.

            Alhasil gadis manis itu pun bertekuk lutut. Tak kuasa melawan dua orang pengawal berbadan jumbo yang membopong paksa wanita itu ke dalam mobil.

            “Orang kaya semena-mena, sedangkan mereka yang miskin mau saja di semena-menakan. Bagaimana bisa kesucian wanita itu ditukarkan dengan hutang?” ucap Cakra. Dharma menepuk punggung sahabatnya. Memintanya untuk melanjutkan langkah yang tertunda.

            Di persimpangan jalan, raungan mobil polisi dengan strobonya yang berkelap-kelip memenuhi bahu jalan. Sebuah bangunan semi permanen berdinding tripleks disergap dan dikepung oleh puluhan anggota kepolisian. Di dalamnya, terdapat puluhan remaja hingga lansia yang sedang bermain judi gaple, bola adil, hingga togel. Mereka terkesiap, lantas sontak lari tunggang langgang.

            Dorr! Seorang polisi melepaskan tembakan peringatan ke udara. Rupanya peringatan itu tak diidahkan. Terpaksa polisi melepaskan beberapa butir peluru timah panas, pada kaki para pejudi itu. Alhasil lima orang pejudi tersungkur sembari memegangi kakinya yang berlumuran darah. Tiga puluh orang pejudi berhasil diamankan. Namun, terdapat pula dari mereka yang berhasil melarikan diri dari kepungan polisi. Selain ditemukan barang bukti permainan judi, diperoleh pula beraneka ragam minuman keras di bangunan itu.

            Wajah Dharma dan Cakra terlihat menahan gelak tawa. Pandangannya tertuju pada sebuah bangunan bertingkat lima, di seberang bangun tripleks tersebut. Bangunan yang tiap malam selalu menggetarkan kota Sandyakala. Mobil mewah tiap harinya menjejali lahan parkir bangunan. Dipenuhi oleh mereka yang gemar mabuk serta bermain judi (kalangan kelas elite).

            “Mereka sama-sama melakukan pelanggaran. Namun, entah mengapa gedung itu lepas dari kendali polisi. Apakah ada yang tahu?” tanya Cakra sembari menunjuk gedung bertingkat itu. Cakra tertawa kecil.

            “Jangan pura-pura bodoh Cakra … boleh jadi mereka yang ada di gedung atau pemilik gedung itu, turut membantu ekonomi para aparat bahkan pejabat. Tuhan memberkati mereka,” balas Dharma dengan tawanya yang tak henti-henti.

            Mereka menghela napas sejenak. Tawanya perlahan mengecil, lalu berubah hening.

            “Bahkan belum ada satu jam berjalan kaki, kita telah disuguhkan berbagai peristiwa yang menyayat hati. Kota kita boleh saja disandang sebagai kota termaju di negara ini. Namun, degradasi norma dan moral benar-benar telah merasuki jiwa masyarakat kota kita. Baik itu insan yang miskin atau kaya, moral mereka tidak ada bedanya,” lontar Dharma memecah keheningan. “Apakah harus menerima hukuman dari Tuhan, baru mereka akan kembali ke jalan yang benar?” sambung Dharma.

            “Harapku hukuman itu segera datang …,” lirih Cakra.

           

***

            Pagi-pagi buta para kawanan awan di perkampungan permai pada langit ketujuh, sudah dikejutkan dengan suara lonceng yang berdenting cepat dan keras. Para kawanan awan seketika melompat dari ranjang, lalu segera terbang tergopoh-gopoh menuju balai tirta. Malaikat memanggil mereka.

            Para kawanan awan dari langit ketujuh terperangah. Tubuhnya bergidik ngeri melihat suasana yang begitu mencekam. Di balai tirta sudah berbaris rapi puluhan ribu awan dari desa awan lainnya. Tak hanya awan, bahkan sang petir pun turut dipanggil oleh Malaikat. Tiap menit berdenting, datang kembali ribuan awan entah dari belahan langit sebelah mana. Hingga tepat pada pukul delapan pagi, ratusan ribu awan telah berkumpul di sana. Satu persatu dari mereka terbang ke sebuah pancuran tinggi nan besar. Di sana para awan bergiliran menanti pemberian air dari Tuhan. Apabila tubuhnya telah terisi penuh oleh air, mereka segera diarahkan ke balai pertemuan di sebelah timur balai tirta.

            Tiga puluh menit mengantre, ratusan ribu tubuh para awan akhirnya telah terisi penuh oleh air. Tubuh mereka mulai berat dan menghitam. Sekarang mereka sudah siap menurunkan air hujan. Pada balai pertemuan, tampak ratusan ribu awan terduduk tegap dan rapi. Tak satu pun dari mereka yang berani berbicara. Di sana mereka menunggu perintah Tuhan melalui malaikat, di wilayah mana air ini akan diturunkan.

            “Wahai semuanya! Awan dari negeri utara, selatan, timur, dan barat. Serta petir dari negeri sebelah utara. Hari ini Tuhan memberikan kita satu tugas besar. Hari ini kalian para awan dan petir, hunjamlah negeri Sandyakala! Turunkan hujan besar beserta kilatan petir yang menyambar bangunan di kota itu!” Malaikat bersayap putih menelan ludah sejenak. “Sekarang! Turun kalian semua!” Sang Malaikat mengepalkan tangannya ke atas. Dengan semangat berapi-api, sang awan serta petir terbang menuju kota Sandyakala.

            Sebelum Magrib, para awan dan petir telah sampai di atas kota Sandyakala. Kota itu seketika gelap gulita. Penerangan jalan serta lampu pada gedung dan rumah-rumah warga menyala lebih awal dari hari kemarin. Saat ratusan ribu awan serentak meniupkan udara ke arah kota, barulah angin seketika bertiup sangat kencang. Segala benda yang menghalanginya, akan ongkang-ongkang olehnya. Beberapa pepohonan mulai berjatuhan. Begitu pula dengan tiang listrik yang berjejer di jalanan kota. Para warga tidak berani keluar.

            “Sekarang! Hunjam kota ini!” Malaikat menaikkan tongkat berlapis berliannya ke langit.

            Ratusan ribu awan mulai mengejan. Bulir-bulir air mulai keluar dari tubuh awan, lalu terjun bebas menusuk tanah kota itu. Para petir juga melompat-lompat ke arah kota, disertai dengan teriakannya yang menggelegar. Bahkan bumi Sandyakala hingga bergetar dibuatnya. Hujan deras disertai badai petir kini membungkus kota Sandyakala.

            Menit demi menit terus berdenting menjadi jam. Jam demi jam melesat sangat cepat. Sudah tujuh hari lamanya hujan ini tak kunjung berhenti. Selama itu pula, kota ini dilanda berbagai peristiwa memilukan. Aliran listrik di kota ini telah terputus sejak tiga hari yang lalu. Ditumbangkan oleh gemuruh angin tiupan sang awan. Si jago merah melalap habis kantor wali kota serta bangunan vital lainnya. Kini sudah seperti kota mati. Gelap gulita. Matahari pun tak sanggup menyinarinya. Suasana sangat mencekam. Suara sirene ambulans dan pemadam kebakaran ada di mana-mana. Memenuhi seisi kota.

            Gedung kasino bertingkat lima yang sebelumnya ramai oleh khalayak, kini telah rata dengan tanah. Begitu pula dengan rumah warga dan ratusan klub malam di seluruh penjuru kota. Beberapa jembatan yang menghubungkan satu desa ke desa yang lain telah porak-poranda. Hanya akses jalan utama saja yang masih tersisa. Banjir bandang tempo hari meluluhlantakkan kota ini. Untungnya, sehari sebelum dilanda banjir bandang, sebagian besar warga kota berhasil dievakuasi ke kota tetangga. Namun, beberapa warga yang tidak terevakuasi, dipastikan akan meregang nyawa. Hanya Tuhan yang dapat membantunya.

            “Tuhan telah murka! Hanya dalam sekejap, kota yang telah dibangun berpuluh tahun berubah menjadi debu,” ucap Dharma yang tengah terduduk pilu di pojok tenda evakuasi. Cakra mengangguk, setuju.

***

            Dua puluh unit bus telah terparkir di depan tenda evakuasi. Dua bulan selepas peristiwa besar itu terjadi, warga kota Sandyakala diperbolehkan untuk kembali ke tempat asalnya. Namun, hanya sebatas melihat kota serta mencari barang-barang yang sekiranya diperlukan dan sangat berharga. Tidak menutup kemungkinan, para warga kota akan pindah sementara ke kota yang lain. Diakibatkan kota itu sudah tidak layak huni dan rusak berat.

            Seluruh warga berbondong-bondong menaiki bus sembari menenteng tas. Tuas rem tangan ditarik oleh sopir, perlahan keempat roda bus mulai berputar. Sesampainya di atas perbukitan yang membatasi kota Sandyakala dengan kota tetangga, terlihat pemandangan yang sangat memilukan. Isak tangis memenuhi seisi bus. Sendu mengisi mimik wajah para warga. Keluarga, harta, dan jabatan sirna begitu saja. Dibalik wajah tegarnya, Dharma sembunyi-sembunyi menyeka air mata.

            “Masya Allah! Lihat! Bagaimana bisa Tri Mandala masih berdiri kokoh setelah diterpa bencana sebesar itu?” Cakra memelotot. Secercah cahaya matahari yang menembus awan menyorot Tri Mandala.

            Sontak sepasang bola mata warga yang ada di bus itu tertuju pada Tri Mandala. Mereka ikut memelotot dengan mulut menganga. Begitu juga dengan warga pada deretan unit bus di belakangnya. Masjid, Pura, serta Wihara bahkan sedikit pun tidak mengalami kerusakan.

             “Apakah kalian merasa jika kalian telah lama lupa dengan Sang Pencipta? Banyak dari kalian juga yang menyimpang dari ajaran agama serta norma manusia. Lihat yang terjadi sekarang! Ini akibatnya! Kita yang kini sedang meratapi kota itu, sebenarnya sangat beruntung. Diberi kesempatan untuk memperbaiki kehidupan kita pada masa lampau. Lihatlah keagungan Tuhan! Tri Mandala berdiri sangat kokoh, sedangkan gedung-gedung yang berpondasi kelas dunia hancur tak tersisa,” seru Dharma berapi-api.

            “Apakah kalian masih ingat dengan agama yang sebelumnya kalian anut? Jika iya! mari sekarang juga kita bertolak menuju Tri Mandala. Di sana kita berdoa bersama. Juga berjanji akan hidup selaras dengan Tuhan dan tidak menyimpang dari norma serta ajaran Tuhan,” sambung Cakra.

            “A—aku setuju … Setibanya nanti, kan kuberi arahan pada yang lain. Andaikata aku mendengarkan ucapanmu kala itu …,” lirih Wali Kota Sasmita dengan suara serak hampir menangis.

            Seisi bus mengangguk perlahan. Hari ini seluruh penduduk kota Sandyakala yang tersisa sepakat bertolak bersama ke Tri Mandala. Untuk pertama kalinya setelah dua dasawarsa lamanya, lantunan doa memenuhi seisi kota yang telah hancur oleh bencana.

            Malaikat tersenyum simpul. 

Ikuti tulisan menarik 16 _Dwi Sume lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler