x

Iklan

Salmah Dalimunthe

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Desember 2021

Senin, 6 Desember 2021 09:47 WIB

Pukul 2 Siang di Titik Nol Kilometer Yogyakarta

Tentang pertemuan singkat yang syarat akan keluhan atas butuhnya ruang aman bagi perempuan. Tentang bagaimana perempuan selalu diminta untuk hati-hati dan waspada, lalu dipaksa menerima sifat lelaki yang memang seperti itu. A tribute to Almarhum Novia Widyasari.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku selalu bertanya-tanya mengapa langkahku selalu tertuju ke sini. Aku duduk di salah satu bangku yang sebelumnya kosong, tepat di pinggir jalan, di dekat tiang lampu merah, menatap perempatan jalan yang tidak mengenal sepi bahkan di siang terik seperti ini. Pertanyaan itu muncul lagi, dan hingga kini tak kutemukan jawabannya.

            Ada urusan di kantor yang membuatku harus tetap keluar rumah di hari minggu, memaksa badan ini untuk bangkit, mandi, dan sarapan. Sejak pagi rencana di kepalaku hanya satu; selepas kerja langsung pulang dan rebahan. Tidak ada yang lain, hanya ada satu rencana, tapi aku malah berdiam diri di bangku ini, sendiri, diluar rencana.

            Mataku menyapu sekeliling, orang-orang sibuk dengan aktivitas dan obrolan dengan lawan bicara masing-masing, cukup ramai, hampir seramai sebelum Covid-19 melanda dunia. Kulirik jam yang melingkar di pergelangan, tepat pukul dua. Saat itu pula seseorang tiba-tiba duduk di sebelahku dan kini menarik paksa seluruh perhatianku. Kuperhatikan sesaat berusaha menebak wajahnya yang separuh tertutupi masker, menimbang-nimbang apa aku mungkin mengenalnya. Aku ragu dan sepertinya memang tidak, aku tidak mengenalnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Aku tidak menyapanya. Gadis di sebelahku ini pasti tahu kalau aku memerhatikannya beberapa saat yang lalu. Kalau dia memang merasa kehadiranku di sini pantas untu disapa, maka setidaknya dia akan menoleh padaku walau sebentar waktu aku menoleh padanya tadi. Aku tidak menyapanya. Kami hanya duduk bersebelahan tanpa kata.

“Mas, udah liat ini belum?” Aku mendengar suara itu jelas, apakah dia baru saja melakukan komunikasi denganku? Tidak langsung kujawab karena bisa saja bukan aku “mas” yang dia maksud. Namun bola mataku bergeser ke ujung sedikit mengintip adakah gerak-gerik gadis itu yang menandakan bahwa dia sedang ingin mengobrol denganku. Yang benar saja, gadis itu menyodorkan gawainya padaku dan kini aku yakin seratus persen.

            Aku menoleh, kini gadis itu duduk sedikit menyerong dan tangannya terulur. Aku mengangkat alis untuk meminta penjelasan maksudnya, dia malah menyerahkan gawainya padaku. “Udah baca belum mas?” tanyanya. Kuraih gawai itu, layarnya menunjukkan twitter dengan black mode, sama seperti pilihan pakaiannya hari ini yang bertema gelap.

“Oh, ini.” Kataku sedikit menanggapi cuitan dari akun @Khusni_Mub87 yang menegaskan kepada perempuan untuk tidak mudah terpikat pada gombalan laki-laki. Aku baru ingin melanjutkan kalimatku tapi kudengar dia menghela napas panjang, “Sadar ga sih, secara ga langsung dia tuh bener-bener ga menghormati korban!” ungkapnya. “Perempuan terus yang diminta buat hati-hati, disuruh jaga diri, waspada. Yang kaya gitu tuh bakal buat perempuan merasa makin engga aman karena terus-terusan menjadi pikah yang dinasihati.” sambungnya.

            Aku masih saja belum sempat menanggapi, gadis yang tidak kutahu namanya itu mengambil alih gawai dari tanganku. “Kalo yang ini udah baca belum, Mas?” tanyanya lagi sambil menunjukkan cuitan baru, kali ini dari akun @zoelfick yang berpesan kepada para perempuan dalam mencintai seorang pria harus tetap menyisakan ruang untuk waspada. Iya, aku sudah membaca cuitan ini tadi siang dan cukup memancing kekesalan. Diraihnya gawai itu lagi dan membacanya dengan lantang, “Sekali lagi, ada setan yang bisa kami kendalikan. Ada juga setan yang justru menyatu dengan kami. Bahkan kami lebih buruk daripada setan itu sendiri.”

            Kami sama-sama menarik napas tapi dia selesai duluan, “Coba nanti mas baca semua utasnya deh. Cuitan kaya gini tetep engga membela perempuan. Malah seakan-akan perempuan memang mutlak menjadi satu-satunya pihak yang penuh kontroversi dan dipaksa memahami dan mewajarkan kebejatan penjahat kelamin. Ini sama sekali engga adil.”

            Benar, cuitan itu sudah kubaca penuh, dan bias gendernya memang terasa. Dalam kalimat yang cukup puitis itu digambarkan bagaimana laki-laki yang sebenarnya. Wanita diminta untuk waspada namun seakan-akan mereka harus menerima sifat laki-laki yang seperti itu.

            Gawai itu bergetar di tangannya, kulihat sebuah nomor baru. “Halo, Pak. Saya di dekat lampu merah. Oh, iya, Pak. Bener. Oke.” Gadis itu berbicara dengan seseorang entah siapa. Setelahnya, gawai itu dimasukkan ke dalam tas, ia berdiri. “Makasi ya, Mas, udah mau dengerin omelanku.” Gadis itu menurunkan maskernya, “Duluan, Mas.” Katanya untuk terakhir kali. Aku sama sekali tidak sempat mengatakan apa-apa, hanya beberapa anggukan. Kulihat dia bertemu seorang pengendara ojek online. Ternyata dia mengomel di dekatku sambil menunggu tumpangannya datang, aku tertawa kecil. Aku tetap tersenyum saat melihatnya menjauh.

            Aku juga langsung pulang sambil memikirkan bagaimana bisa dia seluwes itu mengobrol denganku yang dia bahkan tidak tahu namanya. Pastilah kekesalan di dalam benaknya sudah menumpuk sehingga ingin segera ia keluarkan dengan kata-kata. Selepas mandi sekitar pukul tiga, kubuka twitter dan langsung menemukan cuitan Kalis Mardiasih bahwa Randy, oknum polisi yang merupakan pelaku utama atas berpulangnya Novia Widyasari telah ditetapkan sebagai tersangka. Ada satu kepuasan di dalam diriku, rasa senang bahwa akhirnya keadilan ditegakkan, meski itu tidak akan mengembalikan Almarhum Novia. Seketika gadis tadi memenuhi kepalaku, aku bertanya-tanya apakah dia sudah membaca cuitan ini. Sedikit banyak bisa kubayangkan sesenang apa dia setelah membacanya. Kegelisahannya akan sedikit berkurang, meski tahu kalau “proteck youn son” tidak dijalankan, jika keadilan hanya akan ditegakkan ketika sudah viral, maka kasus-kasus kekerasan seksual akan tetap ada, dan selama itu pula perempuan tidak akan memiliki ruang aman.

            Kuhela napas panjang, aku cukup menyesal karena tidak sempat mengintip nama akunnya tadi. Aku bahkan tidak sempat bertanya siapa namanya. Aku hanya tahu kalau dia punya mata cokelat yang indah. Baiklah, sepertinya aku sudah menemukan alasan kenapa aku harus kembali ke Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Semoga kita bertemu lagi.

Ikuti tulisan menarik Salmah Dalimunthe lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler