x

Iklan

Harna Silwati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Desember 2021

Senin, 6 Desember 2021 12:40 WIB

Cerpen Aku Adalah Aku

Cerpen: Aku Adalah Aku

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

AKU ADALAH AKU

Cerpen : Silwati

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika tak paham hakikat cinta, tidak perlu terlalu dalam meleburkan diri ke dalamnya. Cinta tak lebih dari perasaan suka yang terlalu dalam pada suatu objek. Ia  bagai bunga liar yang tumbuh di halaman rumah tanpa ditanam. Seandainya bunga liar itu disiram, dijaga dan dirawat setiap hari ia akan  tumbuh dan berkembang hingga berbunga di dalam diri. Cinta adalah sebuah proses untuk memahami hakikat, apapun itu. Cinta untuk mengantar hati agar lebih dekat dengan Penganugrah cinta.

Begitu aku memahaminya setelah perasaan itu menyiksa diriku berbulan-bulan. Begitu aku melabuhkan cinta itu pada seorang pemuda yang menawan hati. Aku terperangkap, terjebak dalam perasaan dan luka kusendiri. Aku bahagia sekaligus luka. Cemburu, rasa memiliki, harapan yang kuat berpadu jadi satu dan mengental dalam pikiran. Seolah tak ada tempat di dunia ini untuk yang lain. Rasa itu seolah menguasai seluruh energiku. Kadang juga menekan logika. Kita tak lebih dari seorang bocah dungu yang takluk pada tuannya. Mengabdi dan memberi, bahkan yang tak logis pun dianggap logis.

Fasli, laki-laki tinggi dengan postur tubuh tegap dan wajah yang memanjakan mata perempuan. Apalagi bila menatap bola matanya yang bening seperti pagi cerah. Ah rasanya aku adalah perempuan yang beruntung dicintai olehnya. Ya, dia memanjakanku bagai dewi pujaan, peduli dan penuh perhatian.

Berawal dari sebuah acara temu bersama warga satu daerah di Jakarta. Aku berkenalan dengannya. Usai perkenalan itu dia mengantarku pulang. Sejak itu intensitas komunikasi kami terjalin dan aku melebur dalam cintanya seiring waktu. Dia hadir untuk memproses diriku, menandai bagian dari kisah perjalanan hidup.

Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta. Karena menyandang gelas master aku mendapat  jabatan cukup penting di perusahaan. Sedangkan dia lelaki pengangguran yang hanya lulusan sebuah perguruan tinggi bergelar sarjana ekonomi. Sebagai manusia normal, tentu secara fisik aku suka pada keindahan. Tetapi bukan itu yang membuat aku tergoda padanya. Kehalusan budi, kesantunan sikap dan yang penting dia taat dalam menjalankan kewajibannya sebagai orang yang beragama.

Kami bagai dua sejoli yang mabuk. Mata lain yang cemburu, iri atau segala terpaan gosip tak kami hiraukan. Terutama sikap saudara perempuan dan iparnya yang tidak suka padaku. Berkali aku disakiti olehnya. Tetapi Fasli selalu menguatkanku.

”Biarkan saja Naila. Mereka mau bicara apa itu urusan mereka. Bukankah yang punya rasa dan menjalani hidup itu aku?” begitu fasli meyakinkanku bila saudara-saudaranya tiba-tiba bicara tak enak padaku.

Aku percaya pada cintanya dan aku telah meolak beberapa pinangan laki-laki lain karenanya.

Suatu ketika pada musim yang tak diharapkan, cahaya tiba-tiba redup. Fasli harus pulang ke kampung halaman, pulang ke rumah ibunya. Hampir tiga bulan kami tidak bertemu. Ia mengabarkan bahwa dia diterima bekerja di sebuah instansi pemerintah di daerah dan dia sedang menunggu SK penempatannya di instansi tersebut.

Semula aku senang mendengarnya, tetapi iparnya mengabarkan bahwa dia telah dijodohkan dengan perempuan lain oleh ibunya. Ups! Jantungku berpacu cepat. Benarkah? Pikirku. Semudah itu? Dan zaman sekarang masih ada perjodohan seperti dulu? Ah mungkin saja. Di beberapa daerah masih banyak terjadi.

Berbagai tanya berkejaran di benakku. Pada bulan ke empat aku mendapat jawaban langsung dari Fasli ketika dia kembali ke Jakarta.

”Maafkan aku, Nai! Aku tak bisa menolak,” katanya padaku di teras rumahku saat kami bertemu.

”Semudah itu? Sesederhana itu?” balasku.

Tenggorakan sedikit sesak. Bulir air menggenang di bola mata. Aku berusaha kuat.

”Ibuku yang telah membesarkanku, menyekolahkanku dan memberikan separuh hidupnya untukku. Bagaimana aku bisa melihat airmatanya jatuh, memelas dan meminta aku untuk menerima pilihannya?” jelasnya padaku.

Aku terdiam. Aku ingin marah. Ada yang tercabik membelah nadiku.

”Aku sangat mencintaimu, Nai. Cinta ibuku di atas segala cinta,” tegasnya.

Aku rasanya hendak rubuh. Mimpi tentang cintaku dan Fasli kandas di ujung cinta seorang Ibu. Satu sisi aku memahami hal itu. Karena aku juga dibesarkan dan  sekolah dalam keadaan miskin.

Sore mulai jatuh. Bias jingga yang menyatu dengan awan  bagai lukisan di ufuk. Tapi keindahan itu rasanya hambar. Fasli memegang pundakku dan mendekap aku erat. Air matanya jatuh di rambutku. Baru kali ini aku melihat laki-laki menangis seperti anak kecil rindu ibunya.

”Aku tahu kamu terluka, Nai! Aku tahu kamu sakit! Aku harus memilih apa yang telah ditetapkan ibuku, walau itu berat. Aku ingin dia selalu tersenyum karena aku, sebagaimana aku juga ingin melihat kau tersenyum karena aku. Tetapi aku telah membuatmu menangis. Setiap pilihan yang sulit, satu harus dilepaskan. Aku yakin kau memahami itu,” lirih dari bibir Fasli.

”Perasaan kita hanya perasaan yang singgah,” balasku seadanya sambil menahan sesak.

Fasli melepas dekapannya dan menatap bola mataku. Satu satu bulir air mulai luruh. Fasli mencium mataku, seakan meminum air yang menetes itu.

Senja makin tenggelam. Itulah pertemuan terakhir kami di Jakarta.

 Aku luka. Bumi dibawahku rasanya retak. Aku tak kuat melawan apapun yang bergejolak dalam diriku. Langit hanya hamparan perih yang memilukan.

 Tuhan, untuk apa rasa ini kau anugrahkan jika akhirnya luka yang kulumat? Kataku sendiri dalam hati.

Nasehat-nasehat tak berguna buatku saat ini. Mereka yang memberi nasehat tidak berada dalam perasaanku. Seperti halnya mereka juga tidak berada dalam kebahagiaanku. Luka dan bahagia adalah milik masing-masing, tak ada yang bisa merampasnya.

Aku benci dengan semuanya. Aku terpukul dengan apa yang terjadi. Aku ingin membalikkannya seperti semula. Seperti sebelum aku kenal dia. Tak ada yang menolak kehadiran cinta, tak mampu pula aku melepaskannya

 Aku memutuskan pulang ke rumah ibu. Ya. Hanya ibu tumpahan segala keluh. Ibu yang selama ini membesarkan aku dalam perihnya kemiskinan. Ibu yang tak pernah mengenyam pendidikan lebih dari sekolah dasar.

”Aku sudah gila, Bu!” kataku pada ibuku setelah pulang.

Saat itu sore sedang bergeser menuju senja, kami duduk di selasar rumah bagian belakang. Tempat biasanya dulu masa kecil kami selalu berkumpul bersama adik-adikku yang lain. Kami semua sekarang terpisah karena harus menempuh pendidikan di kota.

Ibu hanya diam. Dari matanya aku memahami sesungguhnya dia paham perasaanku.

”Aku salah melabuhkan perasaanku!” tambahku.

”Tak ada yang salah,” kata-kata itu begitu saja meluncur dari bibir ibu.

”Dia bukan milikku, dia hanya bayang yang singgah dalam perasaanku,” kataku dengan air mata yang mengambang di pelupuk.

”Carikan aku orang pintar yang bisa mengembalikan dia padaku atau membuat aku lupa padanya,” aku benar seperti anak yang sangat rapuh dan cengeng. Lupa dengan pendidikanku yang sudah menyandang gelar master. 

Ibuku masih diam. Mungkin dia memahami bahwa aku sedang terluka berat.

”Aku tak sanggup membawa perasaan ini,” kataku lagi.

”Tak ada yang berat. Perasaanmu yang dulu dan sekarang itu sama,” ibu membalasku.

Aku menatap ibu, mencoba meraba maksud kata-katanya. Apakah dia tidak mengerti dengan sakitku yang sekarang atau dia hanya berusaha mengajak aku untuk paham lebih jauh. Ibu tidak pernah mengalami seperti diriku. Orang kampung yang menikah dijodohkan oleh nenek dan dia menerimanya dengan ikhlas, sampai tua langgeng dalam kehidupan yang pas-pasan sebagai petani, hingga menyekolahkan aku sampai S2. Bagaimana dia paham dengan rasa yang berkecamuk dalam diriku.

”Setiap orang punya proses dengan dirinya sendiri, dengan perasaannya, dengan pemikirannya bahkan dengan kata-katanya,” lanjut ibu.

Aku diam. Tak menyangka ibu punya kalimat sebijak itu. Aku hanya tahu dia bekerja bersama Bapak dan menyekolahkan aku. Hanya itu. Bagai air yang menetes seketika dari tempat yang suci ke kepalaku. Ada kekuatan yang tiba-tiba menyergap.

”Apapun perasaanmu, adalah dalam rangka untuk mengajarkan diri paham akan hidup. Kadang kita tak punya kehendak atas diri kita sendiri. Tak punya kuasa menolak rasa yang bergejolak atau tak punya daya harus menerima apa yang harus kita terima,” katanya lagi.

Lagi-lagi aku tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Aku salah. Ibu yang selama ini membesarkan aku dengan kesederhanaan memiliki kata-kata yang luar biasa. Seketika lututku bagai tegak. Hatiku yang terkatup rasa resah sedikit terbuka.

”Perasaanku terlalu dalam padanya. Dan aku kehilangannya bagai raibnya mutiara yang kuperoleh dari laut terdalam,” kataku pada Ibu.

”Melompatlah jauh dengan tenaga yang ada!” kata Ibu.

”Aku tak kuat!” ah aku jadi semakin cengeng di hadapan Ibu.

”Kuat! Tak kuat adalah kata-kata bagi orang yang kehilangan kepercayaan diri, ” desak ibu.

Ternyata ibu orang yang luar biasa. Dibalik keluguan dan kesederhanaan dia adalah tongkat penyangga jiwa-jiwa yang rapuh. Dia adalah penyulut semangat yang padam.

”Aku tak kuat kehilangan cinta yang telah kuasah, Bu!” aku semakin cengeng.

”Kau mengasah cintamu sesungguhnya bukan untuk dia. Kau mengasah cintamu untuk paham hakikat cinta,” balas Ibu.

Aku lagi-lagi terdiam. Aku benar-benar tak menyangka, ibu selama ini ternyata berproses dengan kenyataan yang dia alami. Belajar dari berbagai peristiwa yang terjadi dengannya.

 ”Bagaimanakah kau mengenal jatuh, jika tak pernah jatuh. Bagaimanakah kau paham dalam jika pernah jadi penyelam. Penyelam yang tahu arti kedalaman. Ketika kita tenggelam dalam perasaan apapun, maka jadilah penyelam. Penyelam tahu arti permukaan. Jika kita tenggelam dalam cinta kita tak akan larut karenanya, begitu pun sebaliknya. Jika kekecewaan yang kita hadapi, maka kita tak akan tenggelam terlalu jauh,” jelas Ibu.

Aku benar-benar kehilangan kata.

Air yang mengambang mulai mengering dari pelupuk. Bagai kayu basah disiram hujan, sekarang perlahan mengering. Sedikit demi sedikit menyala dalam diriku. Baru kali ini aku benar-benar mendapat kata bijak dari Ibu. Ah mungkin aku yang tak pernah bertanya padanya terlalu jauh lantaran mengganggap pendidikannya hanya lulusan SD. Tak pernah baca buku macam-macam. Apalagi filsafat. Jauh sekali. 

Aku sadari bahwa selama ini aku hanya meminta, tapi tidak pernah peduli. Dia pun hanya menasehati dan mengingatkan sesuatu padaku dengan kalimat-kalimat sederhana. Aku selalu cengeng dan merengek. Hanya itu. Tidak pernah mendalami bahwa Ibu adalah guru sejati.

Aku sedang terluka, terpuruk karena perasaan suka. Ibu datang dengan kalimat yang tak pernah aku sangka. Entah dari mana kalimat itu dia peroleh, yang jelas mampu menentramkan hatiku. Ditambah lagi matanya bagai lautan yang tenang tempat aku menyelami ribuan mutiara yang tersimpan di dalamnya.

Hari-hari berlalu, Ibu adalah sahabat tempat aku berbagi cerita. Hingga luka itu mengering dengan sendirinya. Hingga aku paham arti berbakti. Guru terbaik yang sesungguhnya. Dia tak pernah menyalahkan, justru menyemangati saat kita kehilangan harapan.

Aku semakin paham arti perpisahanku dengan Fasli dan dia memilih pilihan ibunya. Itu pilihan terbaik sekalipun sulit. Sesungguhnya kehadirannya hanya untuk memproses batinku. Mengajarkan aku untuk menerima yang tak sanggup kuterima, menelan yang tak sanggup kutelan, belajar melapangkan rasa yang sempit.

Sunyi melahap bising di suatu siang yang teduh. Aku mendapat sebuah undangan pesta pernikahan. Tertulis nama Salma di undangan,  seorang teman semasa sekolah dulu. Aku putuskan untuk hadir di pesta itu bersama teman-teman yang lain.

Sesuai tanggal yang ditetapkan di undangan aku hadir dengan gaun warna ungu muda yang kubawa dari Jakarta dipadu dengan kerudung ungu agak pink. Acara yang cukup meriah dengan sebuah grup band sebagai hiburan bagi tamu-tamu yang hadir, beberapa teman lama juga hadir di sana.

Beberapa teman menawarkan aku untuk menyumbangkan sebuah lagu. Aku menyetujuinya. Aku tampil diatas panggung kecil itu penuh percaya diri. Tiba-tiba mataku tertuju pada sosok lelaki yang hadir di sampingnya adalah seorang perempuan yang aku kenal. Sedikit jantungku berpacu. Kutahan dengan kuat. Laki-laki itu tak melepas pandangnya padaku. Usai menyanyi aku melewati laki-laki itu. Dia adalah Fasli dan perempuan di sampingnya adalah kakak Salma.

Aku tahu dia ingin menyapa. Aku hentikan langkah sejenak, lebih dulu aku berkata :”Kau adalah kau, aku adalah aku. Seperti dulu aku tetap aku.”

 Aku berlalu.

 

                                                                                    Tanjung Pauh, 6 Desember 2021

                                                                                     Copyright@sil

 

 

         

   

     

 

 

Ikuti tulisan menarik Harna Silwati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB