x

Iklan

Raka Raynata

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Desember 2021

Senin, 6 Desember 2021 19:03 WIB

Ketika Mawar Bertutur tentang Cintanya

Mawar pun bisa merasakan cinta. Ia bisa memberi setia. Ia pun merasa cemburu. Namun, di atas semuanya itu, ia tahu pentingnya berkorban untuk orang yang dicintainya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku memang hanya sekuntum mawar. Tak kurang dan tak lebih. Aku hanyalah sekuntum mawar yang bahkan tak pernah dibiarkan tumbuh bebas di pojok-pojok taman. Bumiku hanya sepetak tanah dalam sebuah pot. Dan seumur hidupku, tak terlalu banyak orang yang pernah mengenalku apalagi menyayangiku.

Aku pertama kali mengenal rasa sayang dari seorang gadis bernama Diah. Ia yang telah membesarkan dan merawat aku yang semula tak ubahnya debu yang sedemikian mudahnya lenyap terusir gelapnya malam. Ia yang setia menyiramiku setiap pagi hingga tubuhku menggeliat kegirangan sembari menyantap pupuk pemberiannya. Tak butuh waktu lama bagiku untuk bertumbuh, karena ia begitu menyayangiku.

Kau mungkin bertanya keheranan, dari mana aku mengetahuinya? Jangan heran, bahkan sekuntum bunga seperti aku pun dapat mengerti bila ada seseorang yang begitu mencintaiku. Maka, untuk membalas rasa sayangnya, aku menumbuhkan kelopak-kelopakku begitu kemerahan hingga tak satu mawar pun yang akan mampu menandingi keindahanku. Dan, dengan penuh kebanggaan, ia tiada hentinya memamerkanku pada setiap tamu yang berkunjung ke rumahnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hari demi hari berlalu, aku memperhatikan ada seorang lelaki yang selalu setia menemani Diah di beranda rumahnya setiap tiba malam sebelum akhir pekan. Aku sebenarnya merasa terganggu, tapi aku begitu bahagia melihat senyum Diah. Maka dengan setia aku berjaga hingga jauh selepas tengah malam menunggu lelaki itu berpamitan pulang.

”Kau tahu, mawar?” ucapnya padaku suatu hari dengan senyum yang takkan tertandingi ratusan mawar, ”Fadhil memintaku menikah dengannya.”

”Aku ikut bahagia untukmu,” sahutku lembut. Jangan kaget, kalian seharusnya sudah mengerti sejak awal bahwa aku bukanlah bunga mawar biasa.

”Kami akan menikah di sini. Di rumah ini. Aku ingin kau menyaksikan pernikahan kami,” lanjut Diah tanpa melepaskan senyum yang masih tersungging di wajahnya.

Begitulah, waktu berlalu dan hari pernikahan yang begitu dinantikan Diah pun tiba. Dengan segenap kekuatanku, aku memekarkan kelopak-kelopakku hingga pantas menghiasi rumah Diah di hari bahagia yang takkan pernah dilupakannya seumur hidup. Aku masih ingat benar betapa irinya aku kala itu melihat rangkaian bunga melati yang mendapat kehormatan menghias wajah Diah.

Setelah menikah, lelaki itu menjadi penghuni baru di rumah Diah. Semula aku berharap dapat akur dengannya. Dan memang, awalnya ia begitu baik padaku. Bila Diah terlambat bangun karena kelelahan akibat tumpukan pekerjaan di kantor, ia akan menyiramiku dengan hati-hati. Jika persediaan pupuk yang biasa digunakan Diah untuk mengenyangkanku habis, tanpa diminta ia langsung bergegas membelinya di toko tak jauh dari rumah. Dalam hati, aku berjanji akan menyayanginya sebagaimana aku menyayangi Diah.

Tiga bulan berlalu, aku melihat ada sesuatu yang berbeda dari Diah. Tapi, setiap aku bertanya, ia hanya tersenyum menatapku. Hingga suatu malam ketika langit tak dihiasi bintang, ia duduk di sampingku dan menjawab rasa penasaranku.

“Aku sedang mengandung,” bisiknya lirih nyaris tertutupi semilir angin yang menyejukkan.

“Beristirahatlah,” bisikku suatu kali ketika ia sedang menyiramiku, “Kau sudah begitu lelah seharian ini.”

Ia tak menjawab. Hanya jemarinya lembut menepuk-nepuk kelopakku, membuatku merasa mengantuk dan sejenak ingin melabuhkan diri dalam mimpi. Ketika aku terbangun, ia sudah tak ada lagi di sampingku. Aku menunggu dengan tak sabar. Di malam hari aku bahkan berteriak memanggil namanya. Tapi tentu tak seorang pun yang bisa mendengar dan memahamiku.

Setelah menghabiskan hampir seluruh kesabaranku, Diah akhirnya kembali ke rumah. Ia tak sendirian. Tangannya menggendong seorang bocah tampan dengan pipi bersemu kemerahan dan mata terpejam.

”Namanya Orry. Ia pangeranku,” bisik Diah terbata-bata menahan haru.

Aku tersenyum tulus, bergantian menatapnya dan bocah itu. Tak pernah aku melihat manusia mungil yang begitu menggemaskan sepertinya. Sempat terpikir untuk mendekapnya. Namun, aku lantas teringat, yang kumiliki hanyalah duri tajam yang pasti menggores luka di tubuh ringkihnya. Cepat kujauhkan tubuhku darinya, tapi bukan karena aku tak menyayanginya.

Aku tak pernah lagi melihat Fadhil. Aku tak tahu di mana ia sekarang dan mengapa ia meninggalkan Diah. Sering aku ingin menanyakannya pada Diah. Tapi, air mata selalu menggenang di pelupuk mata Diah setiap kali aku menyinggung tentang Fadhil. Maka, aku tak bertanya lagi dan selalu memekarkan kelopakku untuk menghiburnya.

”Aku beruntung masih memilikimu, mawar,” ucap Diah suatu ketika sambil membersihkan kelopakku dari debu yang melekat, ”Setidaknya ada kau yang membantuku membesarkan Orry.”

”Apa yang bisa kulakukan?” balasku tanpa semangat, ”Aku hanya sekuntum mawar. Aku tak punya tangan untuk membantu meringankan bebanmu. Aku tak punya kaki untuk menemanimu menyusuri jalanmu yang kini berliku.”

”Tak apa,” hibur Diah, ” Aku hanya butuh kau selalu ada di sini, untukku dan Orry.”

Aku hanya membisu. Dalam hati aku berjanji akan selalu ada untuknya dan Orry. Meski aku tak lebih dari sekuntum mawar, setidaknya masih ada yang berharap padaku.

Hari berlalu, minggu berganti bulan, tahun berlari begitu cepat. Tanpa terasa Orry sudah bertumbuh menjadi seorang pemuda tampan yang menawan hati banyak gadis. Entah mengapa, kini perasaanku tak seperti dulu lagi. Aku masih menyayanginya, hanya lebih dari sebelumnya.

”Kau sungguh tampan, Orry,” pujiku suatu kali ketika melihat ia sibuk mematut diri di depan cermin dengan seragam putih abu-abunya.

”Jangan membuatku tersipu malu, mawar,” balas Orry sambil tersenyum menatapku, ”Aku sama sekali tak seperti ucapanmu.”

”Aku tidak berbohong, Orry. Apa yang kuucapkan tak pernah kulebih-lebihkan dari kenyataan.”

”Kalau begitu, kuucapkan terima kasih atas pujianmu. Kau juga terlihat sangat menawan pagi ini, mawarku yang cantik.”

Aku tersenyum malu mendengar pujiannya. Kupalingkan kelopakku agar ia tak melihat warnanya yang memerah berpuluh kali dari biasanya.

”Aku bertemu dengan seorang gadis kemarin,” bisik Orry menghampiriku, ”Wajahnya berkilau seperti sungai yang ditimpa fajar. Dan senyumnya. Senyumnya membuat tubuhku bergetar merindukannya. Sungguh, aku benar-benar tak bisa menghapusnya dari ingatanku.”

”Aku turut bahagia untukmu,” bisikku mencoba menutupi perasaan aneh yang mendadak terasa menyiksa.

”Terima kasih, mawar. Aku pasti akan membawanya kemari dan mengenalkannya padamu,” seru Orry sambil meraih tas sekolahnya dan menghambur keluar rumah.

Sejak saat itu, setiap hari aku selalu mendengar kisah tentang Dinda terlontar dari bibir Orry. Semuanya selalu terucap dengan senyum yang membuatku kadang ikut tersenyum, namun sering juga terbakar perasaan aneh yang hingga kini aku tak tahu sebutannya.

”Apakah kau menyayanginya?” tanyaku suatu kali.

Orry tak langsung menjawab. Ia menghela napas sejenak, lalu terdengar suaranya perlahan menyiratkan keyakinan, ”Dengan segenap hatiku.”

Aku tak tahu apakah itu jawaban yang ingin kudengar. Yang aku tahu, perasaan aneh itu kini datang lagi. Berlipat-lipat kali dibanding sebelumnya. Dengan susah payah kucoba menutupinya.

Keesokan harinya, aku melihatnya lebih lama mematut diri di depan cermin. Sesekali aku melihatnya seperti gugup berlatih mengucapkan sederet kata yang tampaknya begitu penting baginya.

”Apakah ada yang istimewa hari ini?” tanyaku memecah keheningan.

”Hari ini aku akan meminta Dinda untuk menjadi kekasihku,” jawab Orry nyaris seperti berbisik, ”Doakan aku, mawar.”

”Aku pasti berdoa untukmu, Orry,” bisikku begitu perlahan agar ia tak mendengarnya, ”Tapi, aku tak yakin apakah akan memohon pada Tuhan agar Dinda menjadi kekasihmu.”

Aku merasa begitu bersalah telah punya pikiran seperti itu. Hampir saja aku meminta maaf padanya, bila ia tak begitu tergesa-gesa meninggalkanku. Bahkan untuk berpamitan pun ia tak sempat lagi. Dengan kecewa, kubisikkan doa untuknya agar ia selamat di perjalanan.

”Aku mengerti perasaanmu, mawar,” ucap Diah mengagetkanku.

”Benarkah ia mengerti perasaanku?” batinku penuh gundah.

“Aku mengerti perasaanmu. Kau hanya mengkhawatirkan Orry. Kau khawatir ia akan dikecewakan dan disakiti,” ucap Diah lagi.

“Kau benar. Memang itu yang kurasakan,” desisku lega. Ternyata ia tak bisa menangkap isi hatiku.

“Tak perlu selalu mengkhawatirkannya, mawar. Ia sudah remaja sekarang. Ia bukan lagi bocah kecil yang harus kita jaga dan perhatikan setiap saat.”

”Aku tahu, Diah. Hanya saja sulit bagiku untuk membiarkannya sendirian.”

”Aku tak pernah memintamu membiarkannya sendirian, mawar. Aku ingin kau selalu jadi sahabatnya. Sahabat yang baik dan setia. Sahabat yang bahagia melihat kebahagiaan sahabatnya.”

Aku terdiam. Aku tak tahu apakah aku sanggup melakukannya. Tapi aku tak ingin melihat Diah bersedih. Maka kuanggukkan kelopakku dengan senyum yang kupaksakan terlihat tulus.

“Untung aku masih memilikimu, mawar. Dan Orry. Kalian yang membuatku tegar melewati hari-hariku.” Diah menghapus air matanya yang tergenang dan bangkit meninggalkanku setelah sejenak menepuk-nepuk kelopakku.

Tinggallah aku dengan pikiranku yang mengembara entah ke mana. Jauh meninggalkan bumiku yang cuma sejengkal. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa sangat ingin menjadi manusia. Bebas menjelajahi dunia dengan sepasang kaki yang kokoh. Bebas menjadi apa pun yang kuinginkan dan memiliki siapa pun yang kusayangi. Tapi, aku sadar impianku terlalu tinggi untuk diriku yang bahkan tak berdaya untuk menentukan nasibku sendiri.

Hari-hari berikutnya, cinta tampaknya kian bersemi di hati Orry. Tiada hari terlewatkan tanpa kisah-kisah tentang kebersamaannya yang semakin bermakna dengan Dinda. Entah mengapa, aku merasa sedih melihat Orry tak lagi pernah menyinggahi potku dan bergurau denganku seperti biasa.

Kesedihan yang baru pertama kalinya kurasakan ini membuat seluruh akar dan persendianku terasa tiada bertenaga. Tak terdengar lagi olehku semua pesan Diah yang hari itu tergesa-gesa mengejar pesawat menuju Hongkong untuk mengikuti sebuah rapat dengan beberapa rekan kerjanya.

Hanya sekilas yang tertangkap olehku, ”Aku pergi dulu, mawar. Tolong jaga Orry untukku.”

Tergetar hatiku mendengar permintaannya. Mungkin ada baiknya aku meminta Diah agar menanamku di halaman belakang saja. Setidaknya Orry takkan terlalu muak harus bertemu denganku setiap hari. Mungkin aku pun akan bisa bernapas lebih lega dan tak perlu lagi disiksa oleh perasaan aneh yang tak jarang membuatku tersesak. 

Belum lagi aku sempat memikirkan alasan untuk meyakinkan Diah agar mau menuruti keinginanku, mendadak terdengar suara pintu depan terbuka perlahan. Rasa khawatir segera menyelimuti hati.

”Apakah Diah lupa mengunci pintu ketika akan berangkat tadi?” batinku bertanya-tanya disusul ketakutan yang kian menjadi, ”Bagaimana bila ada perampok yang masuk dan menguras seisi rumah ini? Aku takkan bisa berbuat apa-apa untuk menghalanginya. Apa yang harus kulakukan?”

Untungnya kekhawatiranku tak menjadi kenyataan. Ternyata Orry yang diam-diam mengendap untuk mengejutkanku. Terasa olehku hembusan napasnya menghangatkan akar dan persendianku yang akhir-akhir ini terasa begitu membeku oleh kesedihan. Tak tega rasanya aku terus-menerus mengacuhkannya. Kubuka kelopakku menatapnya. Kegalauan tersirat jelas dari sepasang bola matanya yang berkaca-kaca.

”Mawar, apakah kau mengenal ayahku?” tanya Orry berjam kemudian, menyentakku yang belum lagi puas membenamkan diri dalam kebisuan yang begitu menenangkan.

”Bukannya aku tak mengerti perasaanmu Orry. Aku mengerti betapa kau merindukan seorang ayah dan bahwa apa yang ada sekarang tak mungkin bisa menggantikan kehilangan yang kau rasakan. Tapi, mungkin memang sudah seperti ini yang harus kau jalani. Mungkin kehilangan ini justru akan mengantarkanmu meraih hal-hal yang tak dimiliki orang lain. Kau hanya harus tegar dan terus melangkah,” aku berharap jawabanku ini bisa sedikit melegakan hati Orry.

”Mudah-mudahan aku bisa melakukannya, mawar. Begitu banyak yang ingin kucapai dalam hidup ini. Aku akan berusaha menjadi seorang lelaki yang bertanggung jawab. Aku tak akan jadi seperti ayah, yang pergi meninggalkan orang-orang yang sangat menyayangi dan membutuhkannya,” terbata-bata dan begitu mengharukan rangkaian kata yang terucap dari mulutnya.

”Sudahlah, jangan lagi membicarakan tentang hal-hal yang hanya mengingatkan pada kesedihan,” bisikku setelah mampu menepis rasa haru yang menyergapku, ”Lebih baik kita membicarakan tentang hal-hal yang menyenangkan. Mengapa kau tidak bercerita lagi tentang Dinda?”

”Aku sudah putus dengannya, mawar,” ucapan Orry sesaat mengagetkanku, ”Ia tidak sebaik yang kusangka. Ia selalu ingin dimengerti, tapi tak pernah mau memahamiku. Lebih baik aku meminta ia melupakanku, sebelum kami saling menyakiti.”

”Toh masih ada Sisi,” sambung Orry sebelum aku sempat berkata apa-apa, ”Aku berkenalan dengannya dua hari yang lalu. Ia begitu menyenangkan dan mau memahamiku.”

Aku tersenyum mendengar ucapan Orry. Begitu cepat ia melupakan cintanya dan memulai cinta yang baru. Ia memang bukan anak-anak lagi sekarang. Aku hanya berharap semoga ia bisa menjaga dirinya dengan baik. Tak terbayangkan olehku apa jadinya bila sesuatu yang buruk menimpa ia yang begitu kusayangi. Sedikit demi sedikit aku mulai memahami perasaan aneh yang sering kurasakan.

Malam pun tiba. Deringan telepon mengejutkan aku dan Orry yang sedang asyik menikmati keindahan sang rembulan yang tampaknya bersinar lebih terang malam itu. Tak lama menyimak ucapan seseorang entah di mana, jeritan Orry tertahan diikuti langkahnya yang gontai menghampiriku.

”Pesawat yang ditumpangi Ibu mengalami kecelakaan. Tim penyelamat masih berusaha keras. Tapi, pesawatnya hancur berkeping-keping!” air mata Orry membanjir.

Aku tak tahu berapa panjang umur sekuntum mawar sepertiku. Usiaku memang tak terpaut jauh dengan Orry. Namun, aku harus dewasa sekarang. Ketika orang yang kusayangi membutuhkanku, aku harus selalu ada untuknya. Sesulit apa pun, aku akan bertahan untuk membantunya menahan perihnya kepedihan yang sulit tertanggung batin remajanya. Walau harus kukorbankan hidupku, takkan kubiarkan ia menjadi korban dari hidup yang kadang begitu kejam. Aku mengerti sekarang. Mungkin ini yang namanya cinta. Walau hanya sekuntum mawar, aku beruntung telah merasakannya. 

Ikuti tulisan menarik Raka Raynata lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB