x

Iklan

Raka Raynata

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Desember 2021

Senin, 6 Desember 2021 20:15 WIB

Lukisan-lukisan Sunyi

Hidup sunyi kini tak lagi sunyi. Dengan lukisan-lukisan, ia bisa mengenal bocah-bocah tulus yang akhirnya menjadi sahabatnya. Dengan lukisan-lukisan, Sunyi dan sahabat-sahabatnya bisa memetik bangga dan mengubah nasib menjadi lebih baik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

[1]

Sunyi. Itulah nama yang diberikan kedua orangtuaku kepadaku. Aku membenci nama itu. Aku membenci nama yang hanya dapat kulihat di bibir orang-orang yang menatap iba padaku. Aku membenci nama yang takkan pernah bisa kurangkum dalam pendengaranku. Aku membenci semuanya sama seperti aku membenci hidupku yang senantiasa berteman kesunyian.

Untuk mengisi hari-hariku yang selalu terasa panjang, ibu mendatangkan seorang guru melukis bernama Kak Nanda. Ia begitu sabar membimbingku. Ia tidak hanya mengajarkanku melukis, namun juga menemaniku berbincang-bincang sejak siang hingga petang kepulangan ayah dan ibu dari kantor. Ia juga tak lelah menyemangatiku ketika aku merasa kesunyian terlalu menyiksa. Kalian mungkin keheranan karena aku bisa leluasa berkomunikasi dengannya. Aku lupa bercerita bahwa ia memiliki adik laki-laki dengan keadaan sama sepertiku. Tak ganjil jika ia sangat mahir berbahasa isyarat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Lukisan-lukisanmu semuanya sangat indah,” ujar Kak Nanda dalam isyaratnya. Ketika itu sudah genap delapan bulan ia mengajarku.

“Terima kasih, Kak!” balasku dengan cara yang sama.

“Tapi, lukisan-lukisanmu tampak begitu suram dan muram,” lanjut Kak Nanda, “Ada kesedihan dan kesepian dalam setiap goresanmu.”

“Mungkin karena memang itu yang kurasakan,” pikirku dengan senyum yang dipaksakan.

“Kakak tahu apa yang harus kita lakukan!” isyarat Kak Nanda. Senyumnya mengembang.

“Apa itu, Kak?” tanyaku tak bersemangat.

“Kakak ingin Sunyi berkeliling ke berbagai tempat serta melukis orang-orang yang kamu temui,” sahut Kak Nanda dengan gerakan penuh semangat, “Kakak ingin lukisanmu menggambarkan semangat dan tekad mereka.”

Aku mengangguk lemah. Sebenarnya aku tak terlalu bersemangat untuk menuruti keinginan Kak Nanda. Namun, aku juga tidak tega mengecewakannya.

Keesokan harinya aku memulai petualangan ini. Aku meminta Pak Budi membawaku ke tempat-tempat yang tak biasa dikunjungi. Aku bukanlah turis yang hanya berminat pada keindahan. Aku ingin melihat yang tak ingin dilihat oleh sebagian orang.

Maka, Pak Budi pun membawaku ke sebuah perkampungan kumuh di pinggir rel kereta api tak jauh dari pusat perbelanjaan mewah kotaku. Di sana, dalam sebuah gubuk lusuh, aku melihat sesosok bocah terbaring tanpa daya. Tubuhnya begitu ringkih, hanya belulang dibalut keriput. Bibirnya yang mengering menganga lebar. Mata cekungnya menatap penuh derita, tapi untuk menangis pun ia tak sanggup lagi.

"Inikah yang harus kulukiskan?” benakku sembari menahan tangis.

Aku mengulurkan tangan dan membelai lembut kening bocah itu. Aku tak kuasa berlama-lama menatapnya. Hanya isakku yang tersisa saat aku mengangsurkan sedikit uang kepada nenek sang bocah yang tampak begitu berterima kasih atas pemberianku.

Aku menghempaskan diri di kursi mobil. Rasanya sungguh berdosa bisa duduk nyaman tanpa menjalani teriknya hari, sementara ada bocah malang yang harus terbaring lemah di atas dipan reyot dalam rumah yang terasa sungguh pengap.

                                   

[2]

Aku tak menyangka ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang. Pak Budi membawaku ke sebuah rumah makan. Tanpa berpikir panjang, aku memesan nasi uduk dan ayam goreng kegemaranku. Dalam sunyi aku lantas melayangkan pandanganku ke semua sudut rumah makan. Semua orang tak duduk sendirian, tapi semua sibuk dengan gadget masing-masing. Kurasa, dengan caranya sendiri, mereka pun hidup dalam kesunyian yang tak kupahami.

Tiba-tiba seorang bocah menyentuh lembut tanganku. Setelah mulutnya berkomat-kamit mengucapkan sesuatu yang kuduga adalah salam, ia mulai memetik gitarnya dan menyanyikan sebuah lagu. Aku tak bisa mendengar apa yang ia lantunkan, namun aku melihat suatu pancaran di matanya.

“Semangat!” batinku, “Aku bisa melihat semangat di matanya. Semangat untuk bekerja dan tidak menyerah pada nasib.”

Aku merogoh tas dan mengambil buku sketsaku. Pensil di tanganku lantas melesat ke berbagai sudut, mencoba menangkap semangat sang bocah pengamen. Sketsaku selesai nyaris bersamaan dengan lantunan nyanyiannya. Segera kuselipkan selembar uang ke genggamannya yang hendak mohon diri. Ia tersenyum dan berlalu. Dari kejauhan, kulihat ia menggunakan uang pemberianku untuk membeli semangkuk bakso yang lantas disantapnya bersama dua orang bocah lain.

“Dalam kekurangannya pun, ia masih mau berbagi dengan orang lain,” pikirku sambil menyantap makanan pesananku, “Inilah semangat yang berasal dari ketulusan.”

“Tepat sekali!” ujar Kak Nanda dalam gerakan isyarat bersemangat ketika aku menunjukkan sketsaku kepadanya sore itu, “Gambar seperti ini yang Kakak inginkan. Sunyi harus terus bertualang serta menghasilkan lebih banyak gambar dan lukisan lagi. Suatu saat, Sunyi juga akan mengerti apa yang harus dilakukan dengan semua lukisanmu.”

 

[3]

Keesokan paginya, Pak Budi kembali membawaku berpetualang. Kali ini, ia membawaku ke sebuah tempat penampungan akhir sampah. Aku takjub melihatnya. Seumur hidup, aku belum pernah melihat tumpukan sampah sedemikian tingginya. Namun, ketakjubanku berubah menjadi rasa risih ketika melihat banyaknya belatung di berbagai penjuru dan lalat yang beterbangan.

Dari kejauhan aku melihat beberapa bocah berpakaian seragam putih merah sedang mengais sesuatu di tumpukan sampah. Aku penasaran melihatnya sehingga melangkah mendekat. Tampaknya mereka sedang mengumpulkan sampah-sampah plastik bekas kemasan deterjen, pembersih lantai, makanan, dan banyak lagi lainnya. Aku tak tahu untuk apa semua itu, namun ada binar semangat yang terpancar dari mata mereka.

Bergegas kukeluarkan buku sketsaku dan kulesatkan pensilku untuk menggambarkan semangat mereka. Begitu asyiknya aku tenggelam dalam kesibukanku menggambar hingga tak menyadari bahwa salah satu bocah berseragam putih merah itu telah berada di belakangku dan mengamatiku menggambar.

Sejurus kemudian, aku merasakan tangan mungil menyentuh pundakku. Mulutnya mengucapkan sesuatu. Tapi aku tak bisa memahaminya. Aku memang tak begitu mahir membaca gerak bibir.

Untunglah, ada Pak Budi di sana. Aku tahu ia pasti memberi penjelasan kepada bocah itu bahwa aku tak bisa mendengar. Namun, yang terjadi berikutnya sungguh di luar dugaanku.

“Kakak tak bisa mendengar?” ujar bocah itu kepadaku dalam bahasa isyarat yang begitu lancar, “Tidak apa-apa. Aku bisa berbahasa isyarat!”

Aku terheran-heran melihatnya. Tak pernah terbersit di benakku bahwa bocah sepertinya mahir berbahasa isyarat, sementara ia sendiri tidak memiliki keterbatasan pendengaran.

“Ibuku dahulu juga sama seperti kakak,” isyaratnya menghilangkan keherananku, “Itu sebabnya aku belajar menggunakan isyarat. Agar selalu bisa menghibur ibu.”

“Begitu ternyata,” senyumku kini mengembang di sela-sela isyaratku.

“Ibu sudah meninggal setahun lalu, Kak!” kini gurat kesedihan membayang di wajahnya, “Ibu tampaknya tak sanggup menahan pedih sepeninggal ayah yang meninggal dalam sebuah kecelakaan. Sekarang, hanya ada aku dan adikku. Kami tinggal bersama nenek yang sudah uzur.”

Ia lantas melambaikan tangan dan memanggil seorang bocah perempuan yang lantas berlari mendekat.

“Ini adikku, Kak!” ujarnya, “Namanya Santi. Oh, aku lupa memperkenalkan diri tadi. Namaku Hafiz.”

“Berapa umur kalian?” tanyaku.

“Umurku 9 tahun dan Santi 7 tahun,” jawabnya.

Hening sejenak. Aku tak tahu harus melanjutkan bagaimana lagi harus melanjutkan percakapan kami.

“Gambar Kakak bagus!” isyaratnya mencairkan kebekuan suasana, “Aku ingin sekali bisa menggambar sebagus itu. Maukah Kakak mengajari aku, adik, dan teman-temanku menggambar?”

“Dengan senang hati,” sambutku riang, “Tapi, dengan satu syarat. Hafiz harus menjelaskan kepada Kakak, apa yang sedang kalian semua lakukan di sini?”

“Itu mudah sekali, Kak!” isyaratnya sembari mengajakku mengikutinya. Langkahnya membawa kami semakin mendekat pada kesibukan yang tampaknya tak terganggu oleh sengatan matahari.

“Ini teman-temanku, Kak. Bagas dan Faisal,” lanjutnya, “Mereka mengumpulkan sampah plastik untuk dijalin oleh kakak-kakaknya menjadi tas, dompet, atau barang-barang kerajinan lainnya. Dengan bekerja seperti ini, mereka bisa tetap bersekolah dan membeli bahan makanan. Ibu mereka lebih sering terbaring sakit sehingga tak bisa mencari nafkah.”

Aku mengangguk sambil mengagumi semangat mereka. Sejenak mereka menatap ke arahku dan tersenyum sopan.

“Kalau mereka itu adalah Yusuf dan Reza,” sambung Hafiz sambil menunjuk ke arah bocah lain yang sedang sibuk mengumpulkan kulit kentang, “Mereka tidak setiap hari datang ke sini. Hanya tiap dua hari sekali, ketika truk milik pabrik keripik kentang datang untuk membuang kulit kentang. Di rumah, kulit kentang yang terkumpul akan mereka cuci dengan air mengalir berulang kali hingga bersih, barulah kemudian dijemur di bawah terik matahari hingga kering. Ibu mereka lantas menggoreng kulit kentang itu dalam minyak banyak di atas nyala api sedang agar kering dan renyah. Hasilnya dijual ke warung-warung untuk menambah penghasilan keluarga.”

”Bagaimana dengan mereka?” tanyaku sambil menunjuk dua bocah perempuan kembar yang sedang menatap malu-malu ke arahku.

”Mereka itu bernama Dini dan Dina,” jawab Hafiz, ”Mereka mengumpulkan kertas bekas untuk nantinya diolah menjadi kertas daur ulang. Walau sederhana, kertas buatan mereka sangat indah, Kak.”

Aku sungguh kagum melihat semangat dan tekad mereka. Diam-diam aku juga merasa malu pada diriku yang sering berkeluh-kesah atas semua keterbatasanku. Padahal, hidupku masih jauh lebih nyaman dibandingkan mereka yang harus bekerja keras untuk menyambung hidup.

”Kalian begitu sibuk bekerja setiap harinya,” isyaratku pada Hafiz, ”Apakah kalian masih punya waktu untuk belajar menggambar?”

”Tentu saja, Kak!” balas Hafiz.

Aku melihat anggukan-anggukan setuju di sekelilingku. Mata mereka berbinar penuh harap. Bagaimana mungkin aku tega menolak mengajari mereka? Anggukanku pun tak tertahan disertai senyum lebar.

Jadilah setiap hari aku rutin mendatangi tempat pembuangan akhir sampah itu. Aku selalu menyempatkan diri menangkap kesibukan mereka dalam sketsa atau lukisanku. Barulah seusai mereka bekerja, kami berkumpul di sebuah taman tak jauh dari sana. Aku pun membagikan kertas dan alat gambar, kemudian mulai mengajari mereka teknik-teknik menggambar mulai dari yang paling dasar. Sesekali Kak Nanda datang serta membantuku mengajar. Tapi, aku lebih sering melakukannya sendiri.

             

[4]

Semula sore itu sama seperti sore lainnya. Aku melukis kesibukan sahabat-sahabatku, sementara mereka giat bekerja seperti biasanya. Yang tidak biasa adalah ketika Hafiz menghampiriku bersama dua orang yang tak kukenal.

“Kak Sunyi,” isyarat Hafiz kepadaku, “Kedua orang ini mencari Kakak. Katanya ingin mengajak kita memamerkan lukisan.”

“Benar sekali!” ujar salah seorang dari lelaki itu, yang diterjemahkan Hafiz menjadi bahasa isyarat, “Kami dari salah satu yayasan pencinta seni yang memiliki misi mengembangkan bakat berkesenian penyandang cacat serta anak jalanan. Kami sangat berminat menggelar pameran lukisan karya kalian di kantor kami.”

“Bagaimana?” sambung lelaki lainnya dengan senyum hangat, “Kalian tertarik?”

“Tentu saja,” sahutku dalam isyarat penuh semangat, “Kami sangat tertarik.”

Kami punya waktu dua bulan untuk mempersiapkan pameran perdana ini. Kami sepakat memberinya tema “Pameran Lukisan Semangat Menapaki Jalanan Sunyi”. Bahu-membahu kami mulai menyeleksi karya-karya yang layak untuk dipamerkan. Bergotong royong, kami juga membuat beberapa lukisan baru sesuai tema. Semua begitu giat bekerja dan melukis. Aku sungguh terharu melihat pengorbanan sahabat-sahabatku. Pagi hari menggeluti pelajaran sekolah, siang hari berkutat di tempat pembuangan akhir sampah, sementara sore hari disibukkan dengan mempersiapkan karya lukis terbaiknya.

Akhirnya, hari yang dinantikan pun tiba. Aku dan sahabat-sahabatku telah mengenakan seragam batik yang dijahit oleh penjahit langganan ibu. 30 sketsa dan lukisan terbaik kami telah terpajang rapi, menunggu pengunjung untuk menikmatinya.

“Jangan khawatir,” isyarat ayah kepadaku, “Ayah sudah mengundang semua sahabat untuk datang ke pameran kalian.”

“Ibu juga tak mau kalah!” isyarat ibu dengan senyum lebar, “Ibu pun sudah mengundang semua sahabat agar hadir.”

Aku tersenyum serta menggenggam tangan ayah dan ibu. Kuperhatikan juga bahwa sahabat-sahabatku tampak gugup. Aku tersenyum ke arah mereka, mencoba untuk sedikit menenangkan. Namun, aku tak bisa menutupi kenyataan bahwa rasa gugup perlahan mulai menjalari hatiku.

“Mereka tertarik untuk membeli lukisan kalian!” isyarat ayah menjelaskan isi perbincangannya, “Harga yang mereka tawarkan sangat layak.”

Mata Hafiz dan sahabat-sahabatnya tampak berkaca-kaca saat pengurus yayasan bersama ayah memberitahukan besarnya hasil penjualan lukisan kami.

“Ini semua belum berakhir!” potong ayah dengan ucapan dan isyarat tangannya, “Ada seorang sahabat ayah yang sedang membangun sebuah hotel di Batam. Ia ingin kalian membuatkan lukisan untuk dipajang di setiap kamarnya.”

“Kalau sahabat ibu beda lagi,” ujar ibu riang sambil memberi isyarat untukku, “Sahabat ibu adalah pemilik sebuah galeri seni. Ia tertarik memajang dan memasarkan karya kalian.”

Senyum dan tatapan tulus kini memenuhi sepenjuru ruangan. Kehangatan saling bersaing dengan kebahagiaan, menciptakan rasa syukur yang menyesaki setiap sanubari.

“Ya Tuhan, aku tak menyangka betapa kesunyian ternyata bisa menghadirkan begitu banyak kebahagiaan dalam hidupku. Ampuni hambaMu yang selama ini selalu membenci kesunyian,” doaku dalam hati, “Dalam kesunyianku, perkenankanlah hambaMu ini untuk terus bermanfaat dan memberi kebahagiaan bagi orang-orang yang ada di sekitarku.”

Saat semua orang sedang larut dalam kebahagiaan, aku menyadari kehadiran Kak Nanda yang menatap kami dengan penuh keharuan.

“Terima kasih, Kak!” isyaratku disertai tetesan air mata.

Ia hanya tersenyum dan mengangguk. Aku yakin ia turut berbahagia melihat kebahagiaan kami. Di lubuk hatiku, ucapan syukur tak putusnya untuk Tuhan Yang Kuasa atas kebahagiaan yang dikaruniakanNya menghibur kesunyianku. Jika Ia mengizinkan, kami ingin menularkan keterampilan melukis pada bocah-bocah lain di sepenjuru negeri. Agar mereka pun bisa merasakan kebahagiaan yang terasa sungguh melegakan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Raka Raynata lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler