x

cover foto Menjadi Tjamboek Berdoeri

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 6 Desember 2021 20:20 WIB

Menjadi Tjamboek Berdoeri

Kisah hidup Kwee Thiam Tjing, seorang jurnalis Tionghoa dari jaman Belanda sampai dengan jaman Kemerdekaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Menjadi Tjamboek Berdoeri – Memoar Kwee Thiam Tjing

Penulis: Kwee Thiam Tjing

Tahun Terbit: 2010

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Komunitas Bambu      

Tebal: xxxvi + 260

ISBN: 979-3731-84-2

 

Melalui buku “Menjadi Tjamboek Berdoeri – Memoar Kwee Thiam Tjing” ini saya mengenal satu lagi tokoh Tionghoa yang berkiprah tidak di dunia bisnis. Kwee Thiam Tjing adalah seorang jurnalis yang memegang pandangan hidup kosmopolitan. Pada jaman Hindia Belanda dan kemudian Jaman Jepang, Kwee Thiam Tjing merasa dirinya sebagai orang Tionghoa sekaligus orang Indonesia. Namun saat Indonesia sudah merdeka, ia mau tidak mau harus menjadi orang Tionghoa di Indonesia.

Melalui buku ini saya mendapatkan gambaran mendalam tentang sosok Kwee Thiam Tjing dan kehidupan orang Tionghoa di Malang dan Surabaya pada eranya. Kwee menunjukkan bahwa banyak orang Tionghoa yang sejak tahun 1930-an sudah pro kemerdekaan Indonesia. Mereka sudah terorganisir dan bekerjasama dengan organisasi-organisasi perintis kemerdekaan seperti Boedi Oetomo yang dipimpin oleh dr. Soetomo dan orang-orang Arab yang terhimpun dalam Partai Arab Indonesia yang didirikan oleh Abdurrahman Baswedan.

Buku ini disusun berdasarkan tulisan-tulisan beliau yang terbit di Harian Indonseia Raya milik Mochtar Lubis yang terbit dari tanggal 22 Juli 1971 sampai 28 Juli 1973. Tulisan-tulisan tersebut disunting dan dikelompokkan menjadi 3 bagian. Bagian pertama berisi tulisan-tulisan tentang Kenangan Pada Masa Jang Lalu, bagian kedua tentang Intermezzo an bagian ketiga tentang Cermin Penghidupan Tempo Doeloe. Di masing-masing bagian tersebut, tulisan disusun secara kronologis sesuai urutan terbitnya di Indonesia Raya. Pilihan editor untuk mengelompokkan tulisan-tulisan tersebut sangat mempermudah saya untuk mengikuti apa yang ingin disampaikan oleh Kwee Thiam Tjing.

Bagian pertama Kenangan Pada Masa Lalu, berisi tentang kejadian-kejadian yang dialami oleh Kwee Thiam Tjing. Seperti dijelaskan di awal bagian ini, Kwee Thiam Tjing bermaksud untuk menjelaskan cara hidup, pergaulan, penderitaan, kemasgulan, kegembiraan dan pergerakan di jaman yang tidak enak (hal. 1). Kwee membuka kisahnya saat ia ditangkap oleh Belanda dan dimasukkan ke Penjara Kalisosok dan kemudian Cipinang. Ia dipenjara selama sepuluh bulan gara-gara dianggap menghina Walikota Surabaya melalui tulisannya di Soeara Poebliek. Tulisan Kwee yang menyatakan bahwa Belanda menjilat Jepang saat kedatangan konglomerat Jepang ke Surabaya karena kekuatan militer Jepang lebih unggul, dianggap menghina Pemerintah Hindia Belanda.

Kwee juga menceritakan bagaimana dia menjadi sukarelawan Barisan Penjaga Kota (Stadswaacht) pada tahun 1939. Sebagai seorang jurnalis, Kwee ingin ikut serta menjaga keamanan kotanya. Itulah sebabnya ia memutuskan untuk masuk menjadi sukarelawan. Dalam tulisan ini Kwee menunjukkan bagaimana ia mempertahankan martabatnya sebagai orang bebas yang tidak suka dihina oleh Belanda. Ia juga menjelaskan proses latihan sebagai sukarelawan (hal. 13). Kwee juga secara khusus menulis tentang Mas Tom alias dr. Soetomo yang berjasa sebagai dokter sekaligus sebagai pejuang. Kwee menulis cukup detail tentang suka duka menjadi stadswaacht (hal. 87).

Dalam bagian pertama buku ini Kwee membahas cukup mendalam tentang orang Tionghoa, khususnya yang ada di Malang dan Surabaya. Orang Tionghoa di Malang dan Surabaya terbagi atas dua kelompok, yaitu orang Tionghoa yang menjadi warga Eropa dan yang mendukung Pemerintah Hindia Belanda di satu pihak, serta orang Tioghoa yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang Indonesia keturunan Tionghoa (hal. 69). Kelompk kedua ini misalnya diwadahi oleh Liem Koen Hian melalui Partai Tionghoa Indonesia. Kelompok kedua dimana Kwee menjadi bagiannya ini berhubungan erat dengan kelompok dr. Soetomo, kelompok Arab yang diantaranya diorganisir oleh A.R Baswedan.

Kelompok-kelompok Tionghoa ini juga bergiat dalam dunia pemberitaan. Tentang kiprah Tionghoa di dunia press, Kwee juga menulis tentang kiprah orang Tionghoa dalam dunia press dimana ada persaingan antara Cina Jakarta dengan Cina Jawa (Malang-Surabaya). Kwee mencatat bahwa saat Keon Hian (Lim) dan Kwee Thiam Tjing masuk dunia pemberitaan, maka dunia press yang sebelumnya adem ayem menjadi panas. Koen Hian dan Thiam Tjing adalah wartawan-wartawan yang berani untuk mengkritik pemerintah, meski akibatnya usaha penerbitannya diberangus atau yang bersangkutan dipenjarakan karena delik press.

Kwee menulis tentang pengalamannya di masa Jepang. Ia mengisahkan beberapa orang Belanda yang pengecut saat menghadapi Jepang di Kota Malang di tahun 1942. Kwee menyampaikan betapa orang Jepang sangat ringan tangan. Mereka mudah menempeleng orang (hal. 148).

Bagian kedua buku ini berjudul Intermezzo hanya terdiri atas dua artikel, yaitu artikel tentang kambing hitam dan kambing putih. Keduanya berdialog sebelum mereka berdua dan anak kambiny yang baru berumur tiga bulan harus disembelih. Kisah kedua adalah kisah tentang keluarga tikus yang salah satu anggotanya masuk jebakan dan berakhir dengan siraman air panas.

Sedangkan bagian ketiga berjudul Cermin Hidup Tempo Doeloe berisi tentang orang-orang Tionghoa yang hidupnya hanya mengejar kekayaan. Da beberapa tokoh yang ditulis di bagian ini. Diantaranya adalah A Liong-ko yang miskin tetapi bekerja keras dan kalau perlu menipu sehingga menjadi kaya. Namun akhir hidupnya harus mati dengan cara pelan-pelan. Bagian dari tubuhnya harus dipotong karena menderita penyakit gula. Tokoh lain adalah Gwa Tjai Lie dan Kakap. Dalam kisah-kisah tersebut Kwee Thiam Tjing menyampaikan pandangannya menjadi orang Tionghoa yang berbeda dari kebanyakan orang Tionghoa. Perilaku orang Tionghoa yang hanya mengejar kekayaan adalah sebuah kesalahan yang fatal. Sebab kekayaan tidak akan bisa dinikmati. Kalau tidak mati karena penyakit, atau kekayaannya distia karena perubahan politik, bisa juga anak cucunya justru saling berantem dalam menikmati kekayaan yang ditinggalkannya.

Sayang sekali dalam buku ini saya tidak mendapat penjelasan mengapa buku ini dijuduli “Menjadi Tjamboek Berdoeri.” 636

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler