x

Iklan

Dhila Adinia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Selasa, 7 Desember 2021 14:09 WIB

Purata

Reana, seorang mahasiswi dari sebuah universitas favorit yang sedang mengalami masalah bertubi-tubi. Suatu hari ia melihat seorang nenek yang akan menyeberang jalan, tapi ada sebuah mobil yang melaju kencang ke arah nenek itu. Sontak saja Reana bertindak untuk menyelamatkan sang nenek. Nenek tersebut merasa berteri makasih dan memberikan Reana sebuah buku bercorak emas. Kemudian, ada seorang teman yang meminta untuk menuliskan kerangka cerita novel, sekalian saja Reana menulisnya di buku pemberian nenek. Reana yang lelah tertidur dan saat terbangun ia ada di sebuah dunia asing seperti zaman Kerajaan Eropa yang merupakan latar cerita dari novel temannya itu. Disanalah ia menemukan fakta mengejutkan tentang dirinya serta dapat bertemu dengan belahan jiwanya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Entah sudah keberapa kalinya aku menghela napas. Belakangan ini entah mengapa aku seperti tak memiliki semangat hidup. Mungkin karena beban pikiran yang selama ini menggangguku. Perkenalkan namaku Reana, aku adalah seorang mahasiswi sebuah universitas negeri favorit di kotaku dan saat ini aku ada di semester akhir perkuliahan. Saat-saat paling kritis bagi semua mahasiswa. Judul yang aku ajukan ke dosen bahkan sama sekali belum di-ACC karena memang dosen pembimbingku itu sangat sibuk dan sulit untuk dihubungi. Teman-temanku yang lain bahkan sudah memulai menulis skripsi. Ditambah lagi uang semester ini belum kulunasi karena aku belum memiliki cukup uang. Pasalnya, baru saja kemarin aku dipecat dari tempatku bekerja paruh waktu karena adanya pengurangan jumah karyawan akibat sepinya restoran karena adanya virus varian baru. Sudah jatuh tertimpa tangga mungkin itu perumpamaan yang cocok untukku saat ini. Memang semesta belum berpihak padaku.

Sebenarnya aku adalah mahasiswi dari program beasiswa, tetapi karena terlalu fokus bekerja nilaiku menurun drastis dan beasiswaku dicabut. Aku bekerja karena adikku membutuhkan biaya untuk melanjutkan studinya di SMA favorit yang tentunya akan memakan sedikit biaya tambahan yang jumlahnya tidak sedikit karena ayahku telah tiada dan ibuku hanya bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik tekstil yang ada di kota asalku. Tentunya sebagai anak sulung aku tak bisa berpangku tangan dan harus ikut membantu perekonomian keluarga kami. Hidup memang tak mudah, apalagi terlahir dari keluarga yang kurang mampu dan saat ini semua hal pasti ada sangkut pautnya dengan uang.

"Andai saja aku bisa hidup berkecukupan, pasti keluargaku tak akan mengalami hal sulit seperti ini," monologku.

Karena merasa jenuh terus-terusan berada di dalam kamar kost akhirnya aku memutuskan untuk keluar sejenak. Mungkin dengan hal ini bisa menjernihkan pikiranku yang sedang ruwet ini.

Tak terasa aku sudah berjalan cukup jauh dari kediamanku berada hingga sampailah di jalan raya yang ramai pengendara kendaraan bermotor. Merasa lelah akhirnya aku berhenti di salah satu warung pinggir jalan yang ada di sekitar sini.

Aku duduk di salah satu bangku kayu yang ada di depan warung itu.

"Bu, air mineral satu."

Aku memberikan selembar uang 5000-an dan si penjual tentunya memberikanku sebotol air mineral yang tentunya langsung kutengguk dengan rakus, air itu mengalir di tenggorokanku membuatku merasa seperti terlahir kembali.

Pandanganku terfokus pada seberang jalan, disana ada nenek-nenek tua yang sepertinya kesulitan untuk menyebrang. Hati nuraniku tergerak untuk membantunya, tapi sayangnya nenek itu sudah terlanjur menyeberang dan syukurlah saat itu tengah lengang. Aku melihat ke arah kiri ada sebuah mobil yang melaju ke arah si nenek. Reflek, aku langsung berlari untuk menyelamatkan nenek itu. Dengan sigap kutarik tangan si nenek ke pinggiran jalan.

"Nenek tidak apa-apa?" tanyaku memastikan keadaan sang nenek.

"Tidak apa-apa, terima kasih kamu sudah menyelamatkan nenek."

"Iya tidak masalah, Nek," ujarku sembari tersenyum. Untunglah aku bisa dengan cepat bergerak tadi, kalau tidak entah apa yang akan terjadi aku tak ingin membayangkannya.

"Sebagai tanda terima kasih, Nenek akan memberikanmu sebuah buku."

"Tidak perlu Nek, lagipula saya ikhlas."

"Ambil buku ini ya, maaf hanya ini yang bisa Nenek beri."

Nenek tersebut memberikanku sebuah buku bersampul hitam dengan corak emas, aku yang melihatnya dengan mata berbinar kagum. Belum pernah aku melihat buku seindah ini.

"Terima kas ..."

Ucapanku terhenti karena tak melihat tanda keberadaan nenek tadi. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal, kenapa bisa nenek tadi tiba-tiba menghilang? Bahkan aku tidak mendengar suara langkah kaki sang nenek.

"Jangan-jangan nenek tadi makhluk halus? Ah, mana mungkin. Namun kenapa tiba-tiba menghilang?" Suara batinku saling bersahutan. Sudahlah, lebih baik aku kembali saja ke kost.

Aku merenggangkan tanganku yang pegal setelah mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk. Jam dinding telah menunjukkan pukul sebelas malam. Ternyata sudah cukup lama aku berkutat dengan tugas yang tak ada habisnya ini. Pandanganku teralih pada buku yang ada di sudut mejaku, buku pemberian nenek tadi. Kuambil buku itu dan kubuka perlahan. Rupanya buku ini adalah buku kosong untuk menulis.

Ponselku berbunyi, ternyata ada salah satu temanku yang bernama Sera mengirim pesan untuk membantunya menyalin kerangka cerita yang dibuatnya. Saat kutanya untuk apa? Dia hanya menjawab hal ini sangat penting, karena aku tak bisa menolak akhirnya aku membantunya. Aku mengernyit membaca pesan yang berisi kerangka tadi, kemudian mulai menulis, entah mengapa aku ingin menulisnya di buku pemberian nenek. Aku tak menyangka jika temanku akan membuat cerita tentang kisah romansa gadis yang merupakan rakyat jelata dengan seorang pangeran pewaris kerajaan. Setelah hampir setengah jam menulis akhirnya selesai juga. Aku menutup mulutku yang menguap lebar, karena sudah sangat mengantuk akhirnya kurebahkan kepalaku di antara lipatan tangan.

Aku mengerjab-ngerjabkan mataku menyesuaikan cahaya yang masuk. Cepat sekali malam berlalu, kureganggakan badanku karena pegal semalaman tidur dengan posisi duduk. Sebentar, kenapa rasanya empuk sekali? Aku memindai sekitar. Mataku membola, penampakan kamar yang sangat asing dan lagi, ternyata aku tidur di kasur. Otakku mencoba memproses apa yang terjadi, tapi tetap tak menemukan jawaban sama sekali. Kutampar wajahku agak kencang, sakit sekali. Berarti ini bukan mimpi? Lantas dimana aku sekarang?

"Putri Reana sudah bangun?" tanya seorang wanita yang entah sejak kapan muncul di depanku.

"Siapa kau?" ujarku dengan waspada.

"Apa Putri lupa ingatan? Saya Lata, salah satu dayang Tuan Putri. Sebentar, saya panggilkan tabib kerajaan."

"Tunggu, sekarang aku ada dimana?!"

"Kerajaan Rèvalstar," jawab Lata yang kemudian langsung meninggalkan kamar ini. Meninggalkanku yang masih bertanya-tanya tentang apa yang terjadi saat ini. Ah, aku baru ingat! Bukankah Kerajaan Rèvalstar adalah nama kerajaan yang tertulis di cerita Sera? Benar tak salah lagi, tapi tidak mungkinkan jika aku masuk ke dalam novel fiksi yang bahkan baru ditulis kerangka ceritanya?

Tak lama kemudian, datanglah pria paruh baya bersama dengan seorang pria tampan, serta jangan lupakan wanita aneh tadi yang bernama Lata.

"Salam Yang Mulia Putri, izinkan saya memeriksa, Anda."

Baru saja aku akan menjawab, tapi suaraku seperti tertahan di tenggorokan karena terlalu takjub dengan mantra yang diucapkan oleh tabib itu dan menyebabkan timbulnya cahaya yang mengelilingi tubuhku, cahayanya berwarna hijau dan biru. Mata tabib itu terpejam lalu tak lama cahaya tersebut hilang.

"Sepertinya memang benar Tuan Putri Reana mengalami hilang ingatan, saya tidak tahu apakah ingatan itu dapat kembali lagi atau malah tak bisa kembali selamanya," jelas sang tabib, kemudian tabib tersebut pamit, ia diantar oleh Lata.

Sementara disini hanya ada aku dan pria, ekhem tampan tadi, tetapi sayangnya aku tak berani meliriknya. Meskipun aku tahu bahwa pria itu sedari tadi memandangiku seperti ingin melubangiku.

"Kau tak ingat denganku?" tanya pria itu yang setelah sekian lama terdiam berdiri bak patung selamat datang.

"Memangnya kau siapa?" tanyaku mencoba memberanikan diri menatap mata pria ini. Sungguh ciptaan Tuhan yang indah.

"Aku tak percaya kau melupakanku, bahkan lusa adalah hari pernikahan kita."

Pria itu berucap dengan nada nelangsa, sangat kontras sekali dengan ekspresinya yang tadi sangat datar dan tak bisa ditebak.

"Kalau begitu aku akan memperkenalkan diri lagi, yah walaupun kita ini sebelumnya sudah kenal sejak kecil. Kenalkan namaku Lavier de Réval calon suamimu serta raja dari kerajaan ini yaitu Kerajaan Révalstar."

Aku tak bisa berkata-kata karena ucapan pria di hadapanku ini. Terlalu mengejutkan karena dihapanku ini adalah seorang raja. Jiwaku yang hanya seorang rakyat jelata ini meronta-ronta.

Terdengar helaan napas dari pria di depanku ini, tak ada salahnya kan aku bertanya? Tapi bukankah alurnya tidak seperti ini? Cerita ini seharusnya menceritakan Lavier dengan gadis dari kalangan rakyat jelata, sedangkan yang terjadi disini adalah ia calon suamiku dan aku merupakan putri disini. Bahkan, Lavier sudah menjadi raja yang artinya seharusnya ia sudah menikah dengan gadis rakyat jelata itu. Tunggu, apa ini jawaban dari doaku yang meminta agar dapat hidup berkecukupan waktu itu?

"Jangan terlalu banyak berpikir, inilah kenyataannya. Hilangkan semua imajinasi konyolmu itu, ini adalah kenyataan."

"Kau? Kau membaca pikiranku?!"

"Maaf, maaf, aku tak sengaja."

"Awas saja jika kau melakukannya lagi, lalu apa benar kau calon suamiku?"

"Tentu saja, ternyata racun yang kau minum kemarin dapat menyebabkanmu hilang ingatan. Padahal aku sudah mengeluarkan racunnya."

Lavier kemudian duduk tepat di sisi tempat tidurku, reflek aku menjauh darinya. Lavier memandangku tanpa berkedip.

"Namun, sepertinya bagus juga karena jiwamu yang asli sudah kembali," lanjutnya setelah beberapa saat.

"Apa yang kau maksud?"

"Aku tahu kau berasal dari dimensi lain, tapi yang perlu kau tahu sebenarnya dimensi ini adalah dimensi tempatmu yang sesungguhnya"

"Bagaimana bisa?"

"Jadi saat kita berumur 12 tahun, kau ditawan oleh sekelompok penyihir yang merupakan musuh dari Kerajaan Fargaven karena saking dendamnya mereka memberikanmu kutukan agar jiwamu pergi melanglang buana. Sejak saat itu hingga sebelum kau kembali kemari, yang menggantikan jiwamu adalah jiwa bayangan dan yang mengetahuinya hanya aku serta kedua orang tuamu."

"Lalu, mengapa kau mau menikah denganku?"

"Aku? Tentunya karena mencintaimu."

"Berarti kau mencintai jiwa bayangan, bukan aku."

"Bukan begitu, ini karena aku sudah menyukaimu sejak kecil." Setelah mengucapkan itu, wajah Lavier memerah.

"Hahaha kau ini lucu sekali. Lalu, siapa yang menggantikan jiwaku yang ada disana? Dimana ayah dan ibuku?"

"Entah, mungkin jiwanya sebenarnya kembali. Lalu ayah dan ibumu ... mereka telah meninggal karena kalah perang beberapa bulan yang lalu."

"Apa?!"

Aku tak yakin ingin mempercayainya karena memang ini semua tak masuk di akal. Namun, mengingat aku sendiri yang terlempar hingga kemari membuatku mau tak mau percaya. Apalagi tadi Lavier memberikanku sebuah mantra yang membuatku bisa mengingat sebagian dari ingatan masa kecilku saat disini. Hatiku remuk redam karena fakta ini, fakta bahwa orangtuaku sudah meninggal. Bahkan, aku tak bisa melihat saat-saat terakhir mereka.

Lavier tak tega lalu memelukku, aku tak kuasa menolaknya karena memang membutuhkannya. Satu yang kutahu, aku hanya memilikinya di dunia ini.

Tepat dua hari kemudian, upacara pernikahanku digelar. Walaupun aku belum begitu mengenalnya, tapi hatiku seperti sudah terikat dengannya. Ikrar pernikahan sudah kami ucapkan yang artinya kami sudah resmi menjadi sepasang suami istri.

"Aku tahu bagimu ini terlalu cepat dan kau masih terkejut dengan semua hal yang terjadi. Sekarang kau sudah menjadi istriku, izinkan aku membahagiakanmu dan yang perlu kau tahu adalah aku sangat mencintaimu, istriku."

Lavier mencium puncak kepalaku. Jantungku berdegup kencang, seperti ada kupu-kupu berterbangan di perutku. Aku menatap tepat pada manik matanya. Entah sejak kapan rasa ini ada dan saat itu juga aku sadar bahwa aku juga mencintainya.

"Aku juga mencintaimu, suamiku."

Kami berdua berpelukan, aku berharap kebahagiaan menyelimuti kami selamanya.

 

Ikuti tulisan menarik Dhila Adinia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB