x

Kumpulan surat-surat

Iklan

Yulianus Degei

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 November 2021

Selasa, 7 Desember 2021 14:14 WIB

Sepucuk Surat dari Hutan Intan Jaya untuk Ibu

Cerpen ini menggambarkan sebuah kisah seorang remaja yang tersesat di hutan Intan Jaya karena kerusukan yang terjadi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ibu, disini aku sendiri didalam hutan. Diselimuti nyamuk dan ditangisi hujan. Tiada ketakutanku pada ular, babi hutan, kalajengking, dan binatang buas lainnya yang bisa saja dapat membinasakanku. Bukan semua itu yang saya takutkan, namun yang menggetarkanku adalah pembunuh itu, mereka masih memburuku, ibu tolong aku!

Ibu, aku mengaku salah padamu. Kau telah melarang aku untuk keluar malam karena tentara penjaga malam bisa merengguk nyawaku, namun aku tidak mendengarmu. Aku pikir mereka tidak akan menggangguku sebab aku tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa. Apalagi Allah telah melarang untuk membunuh dan hukum membatasi pembunuhan orang tak bersalah.

Ibu, pengalaman telah memberitahu padaku bahwa para tentara memang muda menganiaya laki-laki, bahkan membunuh seenak perutnya. Mereka membawa pergi para laki-laki entah kemana, hilang kabar atau ditemukan dengan tubuh tak bernyawa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ibu, jika berpapasan dengan mereka, maka aku akan sampaikan alasanku bahwa, aku keluar malam hanya untuk menemui temanku yang sedang berduka, karena ayahnya dibunuh oleh tentara kemarin pagi.

Ibu, aku pergi malam hanya sesaat, aku tahu bahwa apabila pulang malam, bisa saja bertemu tentara penjaga malam, kemudian aku dipermainkan, diinterogasi dengan kata-kata kasar dan menghina, atau dihantam sepatu laras, pukulan, dan tendangan tanpa perlu alasan salah atau benar. Pengalaman memberitahuku seperti itu.

Ibu yang kusayangi, sebagai manusia, sebagai anak yang sama-sama kehilangan ayah karena dibunuh mereka, aku juga ikut merasakan kedukaan temanku, Nataniel. Kemarin ayahnya sudah mati dengan tragis, ditambah lagi tak seorangpun yang ikut berduka dirumahnya. Ibu, keramaian orang berdoa memberi hati tentram, membantu melapangkan dada untuk menerima kenyataan bahwa kematian adalah wajar meskipun caranya kurang ajar.

Ibu, aku kesana untuk menghibur Nataniel dari duka. Aku merasakan lara dibatinnya. Hatinya betapa sunyi dan kosong dalam kesepian rumah tanpa diramaikan doa. Kita butuh doa-doa agar duka tak melekat lama pada hati. Tidakkah ibu merasakan suasana duka mendalam itu? Kita berdua pernah melewati malam sepi setelah  ayah dibunuh. Sebelum kakak Jainus sampai di Ndugama dari Yogyakarta, kita berdua mengalami perasaan duka mendalam itu, ibu.

Awalnya aku pergi tanpa merasa bersalah. Jika dianggap bersalah, aku tak lupa meminta maaf padamu, ibu. Mungkin beginilah watak umumnya laki-laki Papua, keras mewujudkan keinginan yang dianggap benar meski nyawa taruhannya. Seperti Almarhum Bapak Silas Papare, keras mengikuti keinginan memerangi Belanda, mulanya ditantang orang sekitarnya. Ia tidak bisa diam dengan membiarkan Bumi Cendrawasih diinjak-injak oleh penjajah Belanda.

Ibu, dengan langkah kecilku, kubelah malam. Penerang hanya bulan seperti mata yang hendak terpenjam. Takut tiada putus dihati seiring denyut nadiku. Ibu, malam begitu sunyi senyap, penduduk benar-benar takut pada malam. Tak ada cahaya api dari dalam rumah sebagai tanda bahwa penghuninya masih terjaga.

Ibu, malam disekap bisu, tak terdengar nyanyian jangkrit dan kodok, anginpun bisu. Aku lihat pohon-pohon yang mematung bagai potret suram, tak terusik oleh angin. Bulan dilangit telah terpejam total, ditelang oleh mendung, makin menggelap-gulitakan malam, aku kehilangan arah. Aku tersesat dihutan pinggir jalan setapak. Lirih aku mengadu. Celaka, tak kusangka aduhanku mampu membangunkan kesiagaan tentara-tentara itu.

Ibu tercinta, entah dari mana tembakan mengarah padaku, dor…dorr…dorrr….tret…trett…tret….!! Sangat cepat peluruh itu melesat diantara tubuhku. Namun aku tak gentar, aku tidak takut mati ibu, yang menggannguku adalah nasib ibu setelah aku tiada. Ibu, aku berdoa dalam diam.

“Siapa disitu? Keluar!” teriak salah seorang tentara.

“Mohon jangan tembak,” teriakku merasa heran melihat senjata AK-47 yang dibawa mereka, bagaimana benda pembawa maut itu bisa menarik hati para lelaki.

“Berdiri! Angkat tangan kau! Jalan pelan-pelan kemari!” Bentak mereka memecah kesunyian malam.

“Dengan siapa kau?” Tanya yang lainnya, diikuti sorot-sorot senter menyibak malam, mencari-cari siapa yang mengikuti aku, karena mereka mencurigai aku.

“Aku sendiri, tidak dengan siapa-siapa,” aku berusaha berkata jujur.

“Siapa kau? Bikin apa kau keluar malam-malam sendiri, haah? Mau kemana?” Tanya mereka.

“Aku Netanya, anak Martina, istri Almarhum Simon. Aku mau kerumah Nataniel, temanku. Bapaknya meninggal kemarin pagi, tak ada yang datang berduka dirumahnya,” jawabku gementar.

Senter-senter itu menyorot tajam diseluruh tubuhku.

“Senter dan periksa dia, mungkin saja dia membawah sesuatu,” salah satu dari mereka berkata.

“Kau membawah senjata ya?” yang lainnya bertanya.

“Tidak Pak,” jawabku parau.

Maka ibu sayang, dengan alasan pemeriksaan, aku dihalau ke rumah tua. Jalan setapak yang kami lalui, kiri-kiri kanan ditumbuhi rumput Cerei liar. Di halaman rumah dengan sorot cahaya senter, rumput Cerei berbaur dengan bunga Tadapu, tumbuh tak terlurus. Begitupun rumah tua itu, tak terurus sejak ditinggal oleh pemiliknya. Papan rumahnya sudah lapuk dimakan waktu dan rayap. Atap dari daun Pandang menggantung hendak akan jatuh kapan saja.

Ibu, aku tak menduga apa-apa ketika mereka berbisik-bisik dalam bahasa daerahnya, dan aku tidak mengerti. Kudengar cekikan dan tawa, meremang bulu tubuhku, aku merasakan rencana jahat mereka.

Ketika pemimpin mereka berkata hendak memeriksaku, aku mulai gementar dan pasrah untuk diperiksa, ibu.

Ibu, setelah aku diperiksa, aku disuruh lari karena mereka tidak menemukan apa-apa didalam diriku. Walaupun malam begitu gelap dan situasi begitu mencekam, dengan senang hati saya mencoba berlari sekuat tenaga, namun tak diduga terdengar bunyi satu tembakan yang pelurunya melesat cepat dan menembus jantungku.

Ibu tersayang, maafkanlah aku yang tek mendengarkan perkataanmu. Ibu maaf, maafkanlah aku!! Ibu aku tergeletak dipersimpangan jalan.

Ikuti tulisan menarik Yulianus Degei lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu