x

Iklan

Elnado Legowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 8 Desember 2021 10:22 WIB

Sakura di Tanah Air

Seorang anak penjual rujak keliling yang menjadi saksi dari sebuah peristiwa kerusuhan besar di Jakarta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Rujak... rujak...” teriakku di pagi hari.

Tepatnya saat matahari baru menampakkan diri di muka bumi, dan aku harus pergi berjualan rujak keliling. Perihal ini biasa aku lakukan saat sebelum dan sesudah pulang sekolah; karena sekolahku masuk di siang hari.

Aku memang kesal dengan pekerjaan ini. Seharusnya pekerjaan ini dilakukan oleh ayah. Tetapi dia malah sibuk berjudi, mabuk-mabukan, bermain dengan moler muda, dan menghambur-hamburkan uang hasil kerja kerasku. Jika aku pulang tanpa membawa hasil sebesar seribu rupiah, maka dia akan menghukumku. Padahal uang sebesar itu sangat mahal pada masa ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah berjam-jam aku berkeliling jalan, dari kompleks ke kompleks lainnya,akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat di terminal. Biasanya di sana banyak sekali para pedagang kaki lima yang suka mangkal.

Utjo, temanku. Dia biasanya menemaniku saat sedang beristirahat di terminal.

“Ah! Zaman sekarang, produk buatan Indonesia sudah tidak ada nilainya!”

“Memang kenapa, mas?”

“Kamu bisa lihat sendiri! Zaman sekarang orang-orang lebih suka produk asing. Seperti coca-cola, burger, pizza, dan lain-lainya!”

“Masa mas?”

“Iyalah!" balas Utjo dengan nada tinggi, "Sekarang yang makan makanan lokal hanya orang-orang yang sedang kantong kempes. Kalau orang kaya makan makanan lokal...mana tahan!”

Memang betul, akhir-akhir ini banyak perusahaan asing yang datang secara bergerombol ke Indonesia. Alhasil, produk negeri sendiri jadi tersingkirkan.

Di tahun 1974 ini, produk-produk yang paling terkenal adalah produk dari negeri Sakura, yaitu Jepang. Lebih-lebih berapa hari lagi PM Jepang, bernama Kakuei Tanaka, akan berkunjung ke Indonesia. Banyak orang yang tidak begitu suka dengan kedatangannya, sehingga membuat hubungan massa - terutama mahasiswa - dengan pemerintah menjadi panas. Banyak isu-isu yang mengatakan bahwa akan terjadi unjuk rasa besar-besaran.

“Kamu tidak sekolah?” tanya Utjo memecah lamunanku.

“Oh iya, mas!" ujarku kaget saat mengingat bahwa waktu sudah mendekati jam masuk sekolah, "Aku pamit dulu, ya! Sampai ketemu siang nanti.”

Lantas aku bergegas pergi ke sekolah; tapi sebelum itu aku tidak lupa untuk menitipkan gerobakku pada Utjo. Selain sebagai teman bicara, Utjo juga orang yang sering kujadikan sebagai tempat penitipan gerobakku.

****

Seusai sekolah, aku segera kembali ke terminal dengan menumpangi oplet. Setibanya di sana, aku mendapati raut wajah Utjo yang tampak dongkol.

“Kenapa, mas?” tanyaku.

“Dari Tadi tidak ada yang beli dagangan kita!” jawabnya dengan penuh kekecewaan.

Arkian, seketika seorang pengemis - entah dari mana - datang menghampiri kami.

“Pak... kasihan pak... kasih aku sedikit sedekah.”

“Kami aja belum ada pembeli, bagaimana mau kasih sedekah!” ujar Utjo dengan nada tersinggung.

Sewaktu aku melihat wajah pengemis itu; aku merasa tidak asing dengannya. Setelah aku amati lebih teliti, aku berhasil mengenali identitasnya, bahwa pengemis itu adalah Arman. Dia adalah seorang yang mungkin bisa dibilang sukses. Dia punya rumah dan pekerjaan. Tetapi perihal yang membuatku bertanya-tanya, mengapa dia berakhir jadi pengemis? Arman menyadari bahwa aku berhasil mengenalinya. Lantas dia segera memalingkan muka dan angkat kaki dari tempat kami berada. Namun, saat baru tiga langkah, seketika dia terjatuh pingsan. Kami segera mengangkat tubuhnya dan menaruh ke dalam terminal. Orang-orang di sekitar kami hanya melihat saja, selayaknya menonton sebuah pertunjukan topeng monyet.

Aku segera mencari minuman untuk Arman, sedangkan Utjo mengipaskan topi baretnya di atas kepala Arman untuk menghilangkan hawa panas siang hari.

Tidak jauh dari terminal, aku melihat sebuah warung minuman. Lantas aku segera mendatangi tempat itu dengan sisa uang jajan di dalam sakuku. Setibanya di warung tersebut, aku segera disambut oleh ibu penjual warung yang memiliki wajah judes.

“Mbok, segelas air putih berapa harganya?” tanyaku.

“Lima rupiah, nak.” jawabnya.

“Mahal amat! Biasanya cuman dua rupiah?”

“Sekarang harga sudah naik!” jawabnya sinis.

Aku segera mengeluarkan semua uang dari dalam sakuku, dan hanya ada uang sebanyak tujuh rupiah. Alhasil, dengan terpaksa, aku harus mengorbankan lima rupiah demi segelas air putih.

Tidak lama kemudian, setelah aku kembali ke terminal, Arman sudah kembali sadar dan sedang menangis seperti anak kecil. Kemudian dia menceritakan bahwa setahun yang lalu, tempat kerjanya bangkrut dan lahannya diambil alih oleh perusahaan asing. Sedangkan beberapa bulan yang lalu, rumahnya digusur karena lahan perumahannya mau dipakai untuk pembangunan tempat wisata. Penggusuran rumahnya dilakukan secara paksa, serta tanpa adanya ganti rugi. Walhasil, sekarang Arman harus bersusah payah mencari kerja untuk menghidupi keluarganya. Tetapi nahas, sampai sekarang dia belum berhasil mendapatkannya. Aku ikut sedih mendengar cerita Arman. Tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain berusaha menghiburnya. 

****

Ketika hari sudah menjelang magrib, aku memutuskan untuk pulang dengan tangan hampa. Setibanya di depan rumah, tampak ayah dengan raut wajah bengis sudah menanti uang hasil jualanku. Namun, setelah mengetahui bahwa aku gagal membawakan uang; dia lantas mengamuk seperti orang kesetanan. Kemudian dia segera menyeretku masuk ke dalam kamar; lalu dia melepas ikat pinggang kulitnya yang besar; kalakian dia mencambuk tubuhku dengan brutal sambil melempar hinaan yang vulgar. Setelah puas mencambuk tubuhku; dia langsung meninggalkanku di dalam kamar; serta mengunci pintu kamar dari luar.

Peristiwa ini sangat melukai hatiku, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa meneteskan air mata, serta menahan tangisku.

“Ya Tuhan, apa salahku? Sampai aku harus menjalani kehidupan seperti ini?” doaku di dalam hati.

Aku menutup kedua mataku, dan seketika muncul sosok ibu di dalam pikiranku. Ibu sudah meninggal saat aku masih SD; akibat kecelakaan saat perjalanan pulang; setelah mengantarku ke sekolah. Hal itu tidak hanya membuatku merasa kehilangan, tapi juga membunuhku secara batin. Menyisakan rasa sakit dan sedih karena ditinggal pergi oleh orang yang telah melahirkanku, sekaligus orang yang paling kucintai. Semenjak ibu meninggal, kelakuan ayah mulai berubah. Dia menjadi lebih sering mabuk-mabukan, berjudi, bermain moler muda, hingga menghambur-hamburkan uang untuk suatu hal yang tidak penting.

Semakin lama aku membayangkan sosok ibu; aku makin jatuh ke dalam jurang yang sangat gelap; sampai akhirnya aku keluar dari alam nyata dan masuk ke sebuah mimpi yang sangat emosional. Sampai pada akhirnya, aku terbangun di pagi hari dan mendapati pintu kamar yang sudah tidak terkunci. Lantas aku segera beraktivitas seperti biasa, yaitu berjualan rujak keliling. Tetapi hari ini tampak berbeda daripada hari-hari sebelumnya. Banyak mahasiswa yang turun ke jalan untuk berunjuk rasa ke gedung pemerintahan. Aku hanya bisa memerhatikan mereka dengan perasaan yang bimbang. Setibanya di terminal tempat aku biasa mangkal, aku segera bertanya ke Utjo;

“Mereka sedang apa, mas?”

“Mereka sedang berunjuk rasa untuk menentang kedatangan perusahaan asing, sekaligus kedatangan PM Jepang hari ini.”

Aku hanya mengangguk sambil melihat para mahasiswa tersebut.

“Kamu tidak sekolah?" tanya Utjo mengingatkanku. "Sudah mau dekat jam masuk sekolah. Biar aku yang jaga gerobakmu.”

Aku segera menuruti perkataannya dan bergegas pergi ke sekolah. Kebetulan hari ini adalah hari keberuntungan bagi para pedagang lokal. Karena banyak dari mahasiswa - yang berunjuk rasa - yang jajan di warung-warung lokal.

****

Aku memulai kelas seperti biasa dan semua berjalan sewajarnya. Tetapi saat hari menjelang siang; seketika para guru pada keluar dan membicarakan sesuatu yang sangat serius dan mereka semua tampak panik. Arkian, salah satu dari mereka masuk ke kelasku, lalu mengatakan;

“Anak-anak hari ini sekolah akan diliburkan, karena telah terjadi kerusuhan. Kalian jangan pulang sendirian!”

Setelah mendengar pengumuman tersebut, aku lantas terkejut. Hatiku menjadi sangat panik, begitu juga dengan teman-teman di kelasku. Sebagian dari mereka ada yang langsung pulang; tapi ada juga yang memilih untuk menginap di sekolah karena takut.

Tetapi aku memilih untuk segera pergi ke terminal, untuk memastikan gerobak dagangan dalam keadaan baik-baik saja. Setelah aku berhasil tiba di jalan, aku mendapati sebuah pemandangan yang luar biasa mengerikan.

Banyak massa yang menjarah toko-toko. Banyak bangunan-bangunan yang dirusak. Ada yang membakar mobil-mobil produk Jepang di tengah jalan, sehingga asapnya menutupi cakrawala kota Jakarta. 

Lantas, aku bergegas lari ke terminal dengan dibelenggu oleh kengerian akut. Namun, saat aku hampir tiba di terminal, ratusan massa dan mahasiswa berlari ketakutan dari arah yang berlawanan, dengan segerombolan tentara yang sedang mengejar mereka sembari membawa senapan dan pukulan listrik.

Aku berusaha berlari menghindar. Tetapi nahasnya, tiga ledakan senapan terdengar dan menembus dadaku. Tubuhku langsung ambruk dengan darah yang mengalir deras dari lubang-lubang di dadaku. Rasa sakit sangat menusukku; sampai-sampai membuatku mati rasa. Mataku mulai gelap, serta menyisakan suara amukan massa yang berusaha melawan balik para tentara. Setelah itu, aku kehilangan kesadaranku.

****

Aku berhasil keluar dari pandangan yang paling gelap, dan mendapati diriku yang sudah berada di dalam rumah sakit. Aku bertanya-tanya mengapa aku ada di sini? Di mana Utjo? Bagaimana dengan gerobak daganganku?

Tiba-tiba seorang pria tua datang menghampiriku dan berkata;

“Nak, tadi kamu tertembak oleh tentara. Jadi aku segera membawamu ke sini.”

Aku mulai tidak bisa mengendalikan diriku, tapi para perawat dan pria tua itu berusaha menenangkanku. Lantas pria tua itu menceritakan bahwa hari ini telah terjadi unjuk rasa besar-besaran yang menentang produk asing dan menolak kedatangan PM Jepang, Kakuei Tanaka. Tetapi nahasnya, aksi unjuk rasa ini berakhir dengan kerusuhan massal.

“Lalu bagaimana dengan gerobak daganganku? Bagaimana dengan Utjo?” tanyaku.

“Utjo... temanmu... dia sudah meninggal. Dia terkena tembak. Sedangkan gerobakmu telah hancur, akibat massa yang panik.”

Setelah mendengar kabar itu, rasa sedih sekaligus kecewa mulai menyelimuti batinku. Aku telah gagal membawakan hasil jualanku untuk ayah, serta kehilangan teman yang paling dekat denganku.

Setelah berapa hari kemudian, peristiwa tersebut dikenal sebagai Malari atau Malapetaka Limabelas Januari 1974. Sebuah awal tahun yang dihiasi oleh kekerasaan, kekacauan, dan peristiwa mengerikan. Aku juga mendengar berita dari siaran radio yang terpajang rapi di atas lemari di dalam kamar rawatku; pemerintah mengumumkan bahwa dalam peristiwa tersebut terdapat 11 orang meninggal, 177 mengalami luka berat, 120 mengalami luka ringan, dan 775 orang ditangkap. Salah satunya adalah temanku, Arman, yang ikut jadi korban luka berat karena berusaha melawan aparat keamanan.

Kemudian siaran berita dilanjutkan oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta, yang ikut mengumumkan;

“522 buah mobil dirusak dengan 269 di antaranya dibakar, 137 buah motor dirusak (94 buah dibakar), lima buah bangunan di bakar ludes, termasuk dua blok proyek pasar senen bertingkat empat. Serta gedung milik PT. Astra di jalan Sudirman, dan 113 buah bangunan lainnya dirusak. 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.”

****

Dari hari ke hari, kondisiku tidak kunjung membaik. Dokter yang merawatku mengatakan bahwa luka tembak di dadaku sangat fatal, sehingga membutuhkan perawatan yang khusus. Tetapi yang sangat ironi, selama aku dirawat di rumah sakit, ayah tidak pernah datang menjengukku. Aku merasa sangat kesepian dan tenggelam di dalam kesedihan. Aku juga tidak tahu caranya nanti membayar biaya pengobatan, yang tentu tidak murah.

Di tengah keresahan yang menghantuiku, seketika datanglah sebuah cahaya terang dari langit, dan cahaya itu berubah menjadi sosok perempuan. Saat kupandang wajah perempuan itu, dia adalah ibu. Namun, tidak ada satu-pun orang yang menyadari eksistensinya, selain diriku sendiri. Aku yang melihat wajah ibu, langsung berkata;

“Ibu... andaikan aku bersamamu... mungkin aku bisa hidup tenang di alam sana. Mungkin aku sudah lepas dari segala penderitaan ini. Ibu... maafkan ayah yang telah menelantarkanku. Ibu... bawalah aku bersamamu.”

Lalu ibu tersenyum dan mengulurkan kedua tangannya. Aku-pun menggapai kedua tangan ibu dan ikut terbang bersamanya, meninggalkan tubuhku yang sekarat di atas kasur rawat. Setibanya di atas langit, aku melihat suasana kota Jakarta yang baru saja mengalami kejadian mengerikan. Banyak sekali toko, pabrik, hingga bangunan kantor asal Jepang yang hancur. Bagaikan bunga sakura yang jatuh ke dalam lidah-lidah api.

****

Ikuti tulisan menarik Elnado Legowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB