x

Iklan

Yunita Putri Handayani

penulis
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 13:06 WIB

Inilah aku, Lastri dan Putih yang Membiru


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Inilah aku, Lastri dan Putih Yang Membiru

 

Dia adalah Lastri, teman semasa SMP. Setahun yang lalu, secara tidak sengaja kami dipertemukan kembali. Aku cukup terkejut dengan perubahan dia setelah hampir 22 tahun tidak bertemu. Dulu, kami memang kurang begitu akrab. Hanya sebatas kenal biasa untuk sekedar saling sapa. Lastri adalah sosok murid perempuan sederhana dan polos. Meskipun begitu, dia termasuk murid cerdas secara kemampuan berpikirnya. Itu kenapa, dia  selalu bisa masuk jajaran murid-murid yang berprestasi.

Selama setahun kami berkomunikasi via whatsapp maupun medsos, yang paling berkesan adalah 5 bulan terakhir. Ada banyak hal yang saling kami ceritakan. Mulai dari masa selepas lulus SMP, selama SMA, bahkan hingga cerita perih dan pedihnya kehidupan.

Lastri memang jauh berbeda denganku. Waktu SMP, aku adalah seorang gadis yang dinamis, bahkan urakan.

Meskipun begitu, ada beberapa hal yang bisa aku tonjolkan, ya, biarpun itu bukan kemampuan isi kepala dalam menangkap banyak pelajaran sekolah, tapi keaktifan dalam organisasi ekstra/intra kulikuler di sekolah, ya, setidaknya masih ada nilai lebihnya lah.

Sejak SMP, karena urakan, aku tumbuh menjadi gadis yang cukup mudah untuk punya banyak teman. Laki-laki ataupun perempuan, baik itu adik kelas maupun kakak kelas. Aku bisa berperan menjadi  teman yang baik hati, teman menyenangkan, adik kelas yang dicari bahkan kakak kelas yang disegani dan ditakuti teman seangkatan; terkadang dibenci juga oleh warga sekolah.

 

Euforia kami antar sesama anggota grup masih terasa di awal jumpa dan terbentuknya grup tersebut. Diinisiasi oleh teman yang memang sejak jaman sekolah dulu selalu dipercayai oleh guru dan teman-teman: sebagai pemimpin bagi para murid dan berbagai kegiatan resmi sekolah maupun organisasi, group WA menjadi semakin seru. Saking serunya, seolah kami sedang ada di sebuah ruangan dan membicarakan banyak hal sambil bercanda layaknya kami dulu masih bersekolah. Meskipun anggota group tidak semuanya adalah satu angkatan, tapi setidaknya ada sepertiga lebih adalah teman satu angkatan.

Berbagai macam celotehan dan topik diskusi yang dibahas dalam ruang publik tersebut. Semuanya bergulir secara random bahkan saling sahut menyahut dan saling menimpali, hingga terjadilah tumpukan pembahasan topik dan argumentasi dari kepala yang berbeda isi.

Bahkan ada beberapa yang memutuskan hanya sebagai penyimak saja ,dan beralih kepada komunikasi secara jaringan pribadi, termasuk aku pada saat itu, cukup kewalahan membalas pesan dari beberapa teman yang komunikasi melalui jaringan pribadi .

“Apa kabar, Yun! bunyi pesan masuk yang dikirim oleh salah satu teman.

Dilihat dari foto profilnya, sepertinya tidak asing.

“Alhamdulillah, baik. Ini lastri ya? “ balasku sambil berusaha mengingat setelah sebelumnya melihat foto profilnya. Dia hanya menjawab singkat, iya, diikuti emoji senyum yang diperbanyak. Cukup lama kami melanjutkan obrolan, bernostalgia masa-masa sekolah hingga saling bertukar cerita tentang keadaan kehidupan yang sekarang. Dan dari banyak obrolan itulah, kami memiliki pengalaman yang sama, yaitu sama-sama dipilih Tuhan menjadi orang tua yang istimewa: kami sama-sama dianugerahi Anak Berkebutuhan Khusus atau ABK.

Topik obrolan yang sering dia sampaikan tentang parenting. Beberapa hal yang sering ditanyakan mengenai bagaimana menyikapi anak yang terdiagnosa sebagai Anak berkebutuhan khusus atau ABK. Terkadang kami juga saling bertukar pendapat, karena tidak semua penanganan ABK sama.

Selama berkomunikasi, banyak pertanyaan dilontarkan Lastri. Aku pun berusaha semampunya untuk menjawab berdasarkan pengalaman dan pengetahuan selama ini mendidik dan mengasuh si kecil agar setiap kebutuhannya dalam hal pendidikan dan lainnya tidak tertinggal jauh.

Karena kebetulan dirumah sama-sama full sebagai IRT, jadi kami memiliki keterbatasan waktu untuk kami fokus pada gawai kami. Jadi, sering sekali di antara kami tahu-tahu menghilang dari obrolan tanpa berpamitan terlebih dahulu. Beruntungnya, kami bisa saling memaklumi.

Hingga suatu ketika pada sebuah percakapan kami, Lastri menanyakan perihal beberapa properti khusus untuk ABK yang sudah tidak terpakai. Tanpa sedikitpun niat untuk merendahkan, aku langsung menawarkan beberapa properti, dan tanpa pikir panjang, dia mengiyakan mau mencoba beberapa properti khusus itu untuk bermain dan belajar anaknya; suami Lastri yang nantinya mau mengambil ke rumah.

Beberapa waktu berlalu, pasca suaminya kerumah mengambil beberapa barang properti. Kami sudah tidak lagi intens berkomunikasi, tapi masih tetap saling sapa dan saling berkabar. Hanya sekedar saling menunjukan ketertarikan pada pembaruan status di beberapa platform media sosial khususnya WA.

Terkadang, sambil melihat story WA Lastri, aku bicara dalam hati. Lastri yang dulu kukenal sebatas tegur sapa saja, ternyata memiliki keunikan sangat otentik. Jika dibandingkan dengan beberapa teman yang katanya dulu mengaku sebagai sahabat satu genk, menurutku Lastri adalah sosok yang istimewa. Ya, terlepas dari setiap sudut pandang dan pendapat mereka masing-masing.

Cara Lastri dalam berkomunikasi memang terkesan tekstual di pesan media sosial. Terkadang berusaha homuris agar bisa dengan mudah masuk ke obrolan, namun garing. Aku sih bisa memahami hal itu, sebab Lastri dulunya adalah si cerdas yang tak bisa jauh dari buku dan halal formal lainnya. Penggunaan kata dalam setiap percakapan terlalu baku untuk skala ibu-ibu seusia kami: 38 tahun. Bisa jadi, mungkin selepas SMP pun tetap menjadi kutu yang tak bisa jauh dari buku. (Hahaha…)

 

Istimewanya Lastri adalah perihal kejujuran, dia berbeda dengan teman-teman SMP, SMA bahkan teman kuliahku yang lainnya. Sekian lama kami intens berkomunikasi, sama sekali aku tidak melihat misi terselubung yang biasanya di tunjukan tanpa sadar oleh temanku yang lainnya. Dan hal yang paling penting, membuat aku mengistimewakan dia, tidak pernah sedikitpun merasa malu menceritakan soal anaknya yang berkebutuhan khusus. Menurut sudut pandangku, justru ketulusannya begitu kemilau untuk memberikan yang terbaik buat anak kesayangannya itu.

Sedikit cerita berdasarkan fakta yang ku alami, beberapa teman reuni, rata-rata meskipun tidak semua, mereka datang mendekati dan terkoneksi lagi denganku karena memang mempunyai sebuah misi demi keuntungan pribadinya. Ya mungkin karena sekarang aku memiliki kehidupan  yang berbeda dengan dulu. Saat ini, secara finansial aku memang jauh lebih beruntung dibandingkan beberapa  teman SMP dan SMA: puji syukur kepada Tuhan, aku menikah dengan seorang lelaki yang mapan secara finansial, sehingga di mata mereka mungkin aku dianggap lebih beruntung dan sejahtera.

Nah, karena sempat dikecewakan oleh beberapa oknum  teman. Aku menjadi lebih mudah dalam hal bagaimana menyikapi mereka. Sebab, mereka tidak begitu memahami dan memaknai  konsep ketulusan dalam pertemanan. Akhirnya akupun jengah sendiri, aku tercerahkan dan mulai memutuskan untuk mundur teratur dari lingkungan pertemanan yang hanya berdasarkan azas manfaat. Yang jelas, pelan namun pasti, setiap pertemanan model ada udang dibalik batu semakin menunjukan jati diri ,ciri dan strategi mereka saat menjalankan setiap modusnya saat berusaha memanfaatkanku.

Makanya, aku pun menjadi peka dan  banyak belajar atas beberapa kejadian pahit dalam pertemanan model toxic friend ship itu.

Setelah sekian lama kami terputus komunikasi, akhirnya kami dipertemukan lagi oleh semesta dalam komunikasi yang pembukaan wacananya tentang sebuah aplikasi tiktok.

Aku mulai tertarik menggeluti dan mendalami tentang tiktok, karena sering memposting status di WA yang kuunduh dari tiktok secara random.

Aku pun beberapa kali membuat beberapa konten yang sudah terkonsep sedemikian rupa. Dan menurutku, sudah bisa mengakomodir imajinasi dan banyak hal lainnya. Aku yang selama satu tahun terakhir ini sedang  memperjuangkan diri sendiri atas kewarasanku, dimana aku terdiagnosa sebagai pejuang mental illness.

 

Setahun terakhir, aku menjadi seorang yang lebih menyukai sang malam: gelap, senyap dan tak ingin mendengar berbagai langkah derap. Bahkan, ketertarikanku sebagai makhul sosial untuk berinteraksi di dunia luar lenyap. Aku menjadi jarang keluar rumah: berkunjung kerumah teman , acara komunitas ibu-ibu yang ada di sekolah anak-anak, dll.

Meskipun awalnya terkesan aneh, aku justru mulai menikmati kesendirianku dan begitu betah menjadi orang rumahan. Keluar pun hanya untuk berkonsultasi dengan pakar psikologis atau psikomatrik.

Keadaan kemudian menuntun dan mengarahkan ketertarikanku untuk lebih mendalami dan memahami ilmu tersebut dari tiktok para pakarnya langsung . Banyak para pakar di berbagai bidang keahlian khusus  yang dengan senang hati membagikan ilmu mereka secara sukarela di platform tiktok .

Karena beberapa materi konten yang aku posting, Lastri pun terkadang ikut nimbrung menunjukan ketertarikannya dengan mengomentari postingan yang aku unduh dari tiktok para pakar tersebut, terutama saat menyoal tentang edukasi psikologis.

Karena belum mendapatkan sosok yang dapat memvalidasiku dan mensuportku full secara tulus , sering kali mengharap perhatian dan validasi dari publik yang terkoneksi denganku di media sosial Platform Whatsapp. Lastri lah yang kerap berkomentar atau kadang banyak pertanyaan.

Hingga beberapa video tentang psikologis pun kami berdua bahas bersama, kami saling memberikan penilaian terhadap diri sendiri dan saling memvalidasi bahkan sampai terdeskripsikan dengan jelas disuasana santai kami berkomunikasi. Dan dimulai dari sinilah aku kembali akrab dengan Lastri. Dia adalah sosok yang memiliki kepribadian introvert dan aku si ekstrovert.

Menariknya ritme komunikasi diantara kami saat membahas tentang perbedaan 2 kepribadian antara kami dahulu adalah dimana akhirnya membawa kami pada sebuah situasi kami saling mengungkapkan sisi lain dari pada kehidupan kami masing-masing.

Akhirnya akupun mengakui pada Lastri bahwasanya aku yg dahulu ekstrovert kini berubah menjadi introvert, semenjak aku  terdiagnosa sebagai pejuang kewarasan, hingga secara detail, bagaimana kondisi dan keadaan kejiwaanku.

 

Kami pun menjadi saling mempercayai. Apa yang menjadi penyebab dan pemicu utama atas menurunnya kestabilan emosional dan moodku; bagaimana caraku menjalani keseharian saat berjuang mengembalikan kewarasanku.

Pun dengan Lastri, bercerita tentang masa-masa selama berproses sejak kecil, remaja hingga dewasa dan kini sudah berkeluarga .

Kurang lebih ada banyak persamaan atas kisah masa lalu kami, meski berbeda jenis kasus dan konsep cerita yang diberikan Tuhan kepada masing-masing kehidupan kami. Intinya kami sama-sama diposisi sebagai wanita dewasa yang masih terjebak dalam kepahitan masa kecil dan remaja kami.

Begitupun dengan kehidupan rumah tangga kami, pasangan kami masing-masing pun juga memiliki trigger isu atas kepahitan masa lalunya. Hingga menjadikan mereka sosok suami yang kurang memahami perasaan dan harapan kami sebagai istrinya. Akhirnya menjadikan kami seperti istri-istri yang kehilangan pegangan dan panutan dari sosok pasangan sendiri.

Di antara kesamaan dari berbagai kisah antara aku dan Lastri, yang paling menggelitik adalah kami sama-sama insomnia. Cara mengisi waktu terjaga kami di malam hari pun hampir sama, yaitu berselancar di dunia maya. Pernah suatu malam, hampir bersamaan mengetik kata yang sama untuk menyapa, akhirnya malam kami pun pecah dengan berbagai pembahasan dan gelak tawa.

 

“Kayaknya kita memang butuh kegilaan ya, Yun! “ tulis dia dengan diakhiri banyak emotion tertawa lebar yang banyak.

 

Bukan butuh kegilaan, memang kita orang gila yang lagi belum bisa tidur, lalu nyari teman sama gilanya” balasku, tak kalah banyak emot yang kububuhkan diakhir kalimat.

 

“Ono… ono… wae kamu, Yun! lanjut Lastri.

 

Dari panjang kali lebar lalu dikalikan lagi tingginya ekspektasi kami soal malam yang samadengan siang, obrolan kami pun terpotong dan berakhir oleh azdan Subuh.

Hadirnya Lastri, bagiku bagai pendobrak atas pintu yang terkunci rapat. Aku yang begitu tertutup untuk orang lain bisa masuk ke kehidupanku. Itulah mengapa aku meyakinkan diri bahwa Lastri bisa membuatku nyaman dalam mengekspresikan semua kepenuhan di kepalaku dengan berbagai macam kegilaan imajinasiku. Meski mungkin Lastri tidak sepenuhnya menunjukan kadar perasaan dia selama dekat komunikasi denganku, tapi aku yakin, dia pun minimal merasakan hal yang sama atas sikap dan karakterku.

Keakraban kami memang masih seumur jagung, tapi kami sudah saling yakin dan faham. Bahkan setiap percakapan, hampir bisa dipastikan selalu satu frekuensi. Beberapa topik pembahasan kami yang memercikkan chemistry amat sangat diluar ekspektasi dan tidak seperti umumnya yang selalu di bahas oleh para ibu rumah tangga kebanyakan .

Kami tidak pernah membahas sinetron, film, berita viral di media sosial atau elektronika, apalagi bergosip tentang jagat hiburan bahkan mengghibah orang atau teman. Yang sering kita ghibah sebagai bahan lelucon ya kita sendiri. Mentok, jatuhnya ngeghibah suami sendiri.

Hal lain yang membuat nyaman, setiap kali berkomunikasi dengan Lastri, kejiwaanku menjadi sedikit waras dan lebih bersemangat menjadi tokoh atau lakon utama kehidupanku. Lastri sudah seperti sosok bayanganku dalam cermin. Aku seperti mendapatkan wadah untuk mengakomodasi setiap kepenuhan di kepalaku. Aku tak pernah merasa takut banyak bicara di depan Lastri, banyak gerak atau tingkah pun tidak pernah canggung.

Apapun topik obrolan yang kami kupas, selalu saja ada celah untuk kami saling berusaha membuat candaan. Ya, meskipun sesekali kadang receh dan garing. Tapi anehnya, mau sereceh dan segaring apapun, chemstry untuk menjadi tertawa selalu ada.

 

Terimakasih, sahabat…

Putih yang tadinya membiru, tak lagi serupa lebam

Sebab, setiap gelak tawa telah merubah malam

Tulus yang tadinya terluka, tak lagi serupa muram

Sebab, aku berkaca dalam dirimu yang mampu merubah temaram

 

Matursembah nuwun…

Telah melunakkan hati yang tadinya telah membatu

Mengeraskan kembali tekad yang tadinya telah lunglai layu

Menambal setiap retakan dengan nasehatmu

 

Cukup panggil aku, Yun

Dan kau adalah sahabatku, Lastri

 

Jakarta, 06 Desember 2021

Saat senja mulai memanggilku, Jingga

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Yunita Putri Handayani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu