x

Iklan

Angga Wiwaha

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 16:39 WIB

Disekuilibrium


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Semua berjalan biasa saja sebelum hadir lelaki itu.

Karena sore belum mengizinkanku untuk pulang, maka membawa secangkir gayo ke meja kerja adalah sebaik-baik piihan. Kopi yang kuseduh sendiri.

“Lexa ngopi juga?” tanya karyawan baru itu, mencoba mengakrabkan diri. Aku ingin terdengar ketus, berusaha menyembunyikan ketertarikanku padanya yang sejatinya sudah muncul bahkan sejak hari pertama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Iya. Memang kenapa?”

Tak ada jawab, namun dia merogoh sesuatu dari tasnya kemudian menunjukkan sebuah kemasan tanpa merek. Aku langsung tahu isinya: sepaket biji kopi.

“Fazenda,” sebutnya.

“Brasil?”

“Langsung dari sumbernya,” tegasnya sambil mengedipkan mata padaku.

Saat aku baru mencoba menjajaki rasa, dia malah seperti membuka pintu untukku. Baru hitungan hari bersua, ternyata semesta juga mempertemukan kami pada minat yang sama. Lelaki itu kemudian bercerita, seorang karibnya membuka kedai kopi di bilangan Kemang. Di kedai itu dia kerap meracik kopinya sendiri. Dia juga memilih untuk membawa biji kopi sendiri. Lebih privasi saja, menurutnya.

“Kamu harus mampir,” undangnya, “gak boleh enggak.”

“Kalau soal kopi aku gak bisa nolak,” sahutku, walau sebenarnya dia adalah alasan utamanya. Bolehkah kuanggap ini sebagai isyarat jika dia juga ingin dekat denganku? Aih, memang siapa aku? Sepadan pun tidak.

Sebelum lelaki itu datang, sesungguhnya aku hanyalah pemimpi yang sederhana. Sebagai anak rantau, aku sudah jelma jadi bagian kecil dalam gerombolan kaum urban yang mengais nasib dalam deru ibu kota. Budak kapitalisme yang awalnya dibuai andai nan utopis, penuh khayalan akan karier yang akan lesat melejit, namun ujungnya malah terjebak dalam lumpur hidup metropolis: berontak mati terisap, pasrah pun megap-megap. Tak bisa ke mana-mana. Bagaimana bisa punya mimpi muluk-muluk, kalau aku bahkan tak bisa memliki diriku sendiri. Konsekuensinya, selama tiga tahun terakhir aku harus bergumul dengan lika-liku kehidupan ibu kota sendirian.

Sudah kebal aku dengan rutinitas membelah kemacetan di atas tunggangan roda dua, mendengar berbagai umpatan dan adu klakson di jalanan, berangkat sebelum terang dan pulang selepas petang, hingga hanyut dalam kesibukan bak robot tersebab menggumuli hal yang itu-itu saja. Aku yakin dalam benak orang-orang yang mengisi kemacetan itu pun ihwal impian hanya tergambar yang sederhana-sederhana saja. Seperti aku yang sendirian hidup di kota ini, punya pekerjaan yang mencukupi kebutuhan jasmani sudah cukup rasanya. Sederhana. Perkara hati? Hingga kini sungguh masih pelik untuk kujajaki.

Namun kehadiran lelaki itu membuat segala impi kembali nisbi.

###

Memang aku bisa apa, jika dia selalu membawaku gumul dengan dunianya. Dalam kebersamaan kami yang sejatinya belum lama itu, harus kuakui kami semakin saling merasa nyaman. Urusan kerja, makan siang, menikmati kopi di sore hari, bahkan melepas penat selepas pulang kerja, tak segan dia memboyongku. Sebidak demi sebidak, hati kami mulai saling luruh. Setidaknya menurutku.

Suatu larut, kami melanjutkan malam selepas penatnya kerja di kedai kopi favorit yang mendudukkanku bersamanya. Dua gelas kintamani telah diseduh oleh tangan terampilnya sendiri. Seperti sengaja, dia memilih kopi yang bercita rasa pahit agar semakin lama habisnya dan semakin lama pula malam itu kami saling menemani. Lagi-lagi aku hanya menerka.

“Area Jateng memang dari dulu seperti itu, ya?” tanyanya, menyinggung kantor cabang di daerah yang terlambat mengirim laporan pembayaran pajak.

Ngomongin kerjaan banget, nih?” tanyaku menyindir. Dia hanya tersenyum sembari menyeruput kopinya, menyembunyikan raut ragu yang terarsir pada wajahnya di balik gelas kecil itu. Aku paham, sejatinya dia hanya menggali topik untuk menepis canggung, namun aku tak tahu pasti apa yang saat itu terbesit di benaknya.

Sejenak kemudian dia menyergap mataku, sehingga kami saling memandang.  Matanya menatapku semakin lekat, mencoba menafsirkan pikiran dari balik kelindan uap yang mengepul dari masing-masing gelas kami. Garis tegas di wajah itu kembali menghipnotisku, meleburku dalam kekaguman yang khilaf kepada pria eksotis itu. Bibirnya yang basah oleh kopi semakin menyiksa khayalku. Aku tak tahu apakah dia sempat melihatku menggigit bibir sendiri, menahan dera yang telah lama tak ada yang menyambutnya.

Aku berprediksi dalam khayalan yang bodoh, jika bukan karena kami sedang berada di tempat umum mungkin bukan hanya tatap mata kami yang saling menyentuhkan rasa.

Ayo, tunggu apa lagi? Cepat rengkuh aku, Rian, gerutuku di dalam hati. Namun dia malah membuyarkan lamunku dengan pertanyaan yang tak kalah menyiksa.

“Kamu itu sudah punya pacar, belum?” Aku henyak sejenak. Jika saat itu aku sedang meneguk kopiku, niscaya aku tersedak.

“Belum,” jawabku sambil menahan getar dalam suara akibat debar dalam dada. “Kamu tahu sendiri rutinitasku cuma kerja-pulang-kerja-pulang.”

“Ya, barangkali kamu punya pacar di kampung, mungkin,” tebaknya. Dia sudah tahu aku bukan orang asli kota ini.

Enggak, lah. Malas pacaran,” balasku sedikit berbohong.

Kemudian malam itu bergulir dengan obrolan renyah seperti biasanya, penuh canda. Namun sayangnya hanya sampai di situ saja. Mengingat bagaimana cara dia memperlakukanku sejauh ini, aku masih bertanya-tanya tentang apa yang membuatnya terhenti dan tak melangkah lebih dekat padaku. Tapi kurasa malam itu cukup.

“Sudah jam sepuluh, nih. Pulang, yuk,” pintaku.

“Aku antar, ya,” sambutnya yang seketika membuat jantungku seolah terhenti.

“Jangan. Antar ke kantor saja. Biar aku ambil motorku dan pulang sendiri,” jawabku menolak. Kami memang datang ke kedai itu dengan mobilnya.

“Ayolah, Lexa. Ini sudah terlalu malam. Biasanya, kan enggak sampai selarut ini,” sanggahnya kemudian. “Aku memaksa,” pungkasnya. Aku pun tak kuasa menolak.

Lahan parkir kedai kopi itu berada di sisi lain jalan raya. Kami harus menyeberang untuk mencapainya. Apa yang terjadi selanjutnya justru semakin mengacak-acak perasaanku padanya. Tanpa komando dan aba-aba, dia tiba-tiba menggenggam lenganku bersiap menuntun menyeberangi jalan. Di situ saja aku sudah kehilangan kata-kata. Selepas sebuah sedan melintas dan kami siap menyeberang, genggaman hangatnya beralih menuju telapak tanganku. Sepanjang melintasi jalan, jemari kami saling terpaut, seolah sedang menyalurkan rasa yang sedari tadi hanya bisa kami alirkan lewat tatapan mata.

Di dalam perjalanan menuju tempat tinggalku, kami tidak membicarakan apa-apa. Keakraban antara aku dan dia yang biasanya renyah seolah tertinggal bersama ampas kopi di kedai tadi. Genggaman tangan itu masih meninggalkan kecamuk di pikiranku, hingga malam itu diakhiri dengan perpisahan canggung di antara kami.

“Terima kasih sudah dianterin.”

“Iya, sama-sama. Lexa masuk, deh, langsung istirahat,” tanggapnya.

Kamu mau mampir?

Tidak, tawaran itu tak sempat kuucapkan karena tercekat ragu. Aku masih mencoba realistis, praduga kalau dia juga punya rasa padaku tak lebih dari sekadar wak sangka saja. Orang-orang menyebutnya “baper”.

“Aku pulang dulu, ya.”

“Iya, kamu hati-hati di jalan,” jawabku. Kemudian dia bergegas pergi, meninggalkan sebuah hal yang paling menyiksa: tanda tanya.

###

 

Tunggu, foto apa ini?

Aku baru saja masuk ke beranda media sosialnya. Awalnya, lagi-lagi aku harus pasrah terpesona padanya, betapa lelaki itu kembali melangkahi ekpektasiku. Antarmuka halamannya berisi karya hasil jepretan kamera yang didominasi lanskap jalanan, bangunan artistik, dan arsitektur masyhur dari berbagai daerah dan kota. Ada juga beberapa citra kopi dan suasana kedainya. Penataannya juga ciamik, setiap baris berisi foto dengan kesan warna yang senada. Siapapun dapat melihat kalau dia bukan tukang foto amatir. Semuanya tampak mengagumkan, hingga sebuah gambar menghenyakkanku.

Tanda tanya yang tersisa di malam itu menemukan jawabnya.

Hanya satu foto, dan itu tak butuh penjelasan. Perlukah ketika nyata jelas tercitra lelaki itu tengah duduk berdampingan dengan seorang perempuan yang mengenakan busana senada dengannya. Mesra. Keduanya memandang ke depan dengan senyuman bahagia, seolah sedang mengejekku habis-habisan karena sempat menaruh harap pada hati lelaki itu.

Tak cukup itu saja, di gambar itu juga ada seorang anak perempuan tengah berdiri di antara keduanya, ditambah sesosok bayi lucu bersandar manja di pangkuan si perempuan. Ringkasnya, dia adalah pria beristri dan telah memiliki dua orang anak.

Bersandar di kursi kerja, mataku nanap menatap ke luar jendela yang tepat berada di sebelah meja kerjaku, memendam kejut yang urung redam. Tanda tanya malam itu kini telah berubah menjadi sebuah tanda seru: dilarang masuk!

Di belakangku, dia tak mengucapkan apa-apa. Entah dia menyadarainya atau tidak. Atau mungkin dia memang sengaja membiarkanku bergumul dengan kenyataan akan tercabiknya harapan. Kepada apa atau siapa aku harus kecewa? Bahkan berhak pun tidak. Kepada harapanku sendiri? Atau kepada kenyataan bahwa kami berdua memang berbeda?

Sesingkat itu, apa yang tadinya kupikir muskil kini malah bertambah jadi mustahil.

###

 

Malam itu adalah malam tutup buku. Untuk divisi yang mengurusi akuntansi dan pajak perusahaan, malam tutup buku di akhir bulan adalah malam yang sakral, seumpama hari raya bulanan yang memaksa kami pulang lebih malam.

Lantai di gedung kantor ini terbagi menjadi dua bagian. Sisi barat adalah ruang kerja divisiku, sedangkan sisi timur adalah ruang kerja divisi lain. Kedua sisi dipisahkan lorong di mana terdapat elevator dan bilik toilet. Di waktu selarut ini, di malam tutup buku seperti ini, ruang divisiku masih ramai, sedangkan sisi timur sudah tak berpenghuni. Ketika ruang kerja kami masih benderang, lampu-lampu sisi timur sudah dimatikan dan hanya mendapat seberkas cahaya muram dari papan penunjuk arah evakuasi bertuliskan “Exit”. Hanya orang kurang kerjaan yang berkunjung ke sisi timur pada waktu selarut ini.

Siapa nyana, akulah orang yang kurang kerjaan itu.

Pekerjaanku rampung kala arlojiku menampilkan digit 22:30. Sebelum pulang, kusinggahkan hajat di toilet. Tanpa pernah sempat kuramalkan, saat keluar tiba-tiba segenggam tangan teruntai di lenganku. Di bawah cahaya lorong yang seadanya, tangan itu menarikku menuju gelap. Bahkan dalam redup itu aku dapat langsung mengenalinya; tinggi badannya, kuat genggamannya dan wangi khas lelakinya. Genggaman tangan itu adalah hangat pertautan jemari yang kurasakan sepulang ngopi malam itu.

Saat berhasil mengumpulkan sadar yang sempat alpa, kutemukan aku dan dia telah berada di ruang redup dengan cahaya muram seadanya: sisi timur lantai kantorku. Tak akan ada yang sempat menemukan kami di sini.

Dia berdiri tepat di hadapanku. Dekat. Teramat dekat hingga dapat kurasakan hela nafasnya yang begitu cepat, sama cepat dengan deru jantungku yang memotori perlombaan antara gairah dan logika. Saat kuberanikan mengangkat wajah,  kutemukan matanya tengah menatapku dalam-dalam, seperti mata yang menyimpan kata dan hasrat yang sudah tak mampu dia bendung lagi. Mungkin dia juga bisa membaca hal itu di mataku.

Hanya hitungan detik dari tatapan itu, dia pun mendekatkan wajahnya padaku, siap menyatakan rasa dengan tindakan nyata tanpa kata. Dalam detik-detik pamungkas itu, perang yang berhari-hari telah berkecamuk di benakku akhirnya menemukan pemenangnya.

 “Rian!” bentakku menyebut nama seraya mendorong tubuhnya, ketika logika akhirnya berhasil mengumpulkan kesadaranku akan jalinan hati kami yang mustahil itu.

“Ini sama sekali tidak benar!” tegasku, bersama tajam tatapku yang kini menembus matanya. Tanpa menunggu reaksinya lagi, selepas kejadian bodoh itu aku pun segera berlari pergi, meninggalkan nyata yang kusadari tak akan pernah sanggup kuhadapi.

“Lexa!” serunya memanggilku. Tak sedikitpun aku berpaling.

Setetes air mataku jatuh, namun aku sadar tidak ada waktu untuk kecewa. Bagaimana mungkin aku dan Rian bisa bersama, jika dia adalah lelaki yang sudah berkeluarga, sedang aku hanyalah pemuda rantau yang masih gamang dengan hasratku sendiri.

“Alexander!”

Aku tak peduli lagi, bahkan jika ada rekan kerja lain yang mendengar suaranya.

 

###

Ikuti tulisan menarik Angga Wiwaha lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu