x

Iklan

Hikmah Sholawati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 November 2021

Rabu, 8 Desember 2021 16:42 WIB

Tawa Tanaya

Tawa Tanaya adalah sebuah cerita pendek tentang seorang anak laki-laki yang sering tertawa tiba-tiba dengan jemari menunjuk kepala orang-orang di sekitarnya. Hal ini membuat Tanaya dicap anak tidak waras. Pada akhirnya, misteri tawa Tanaya terkuak dan membuat orang-orang termenung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Huahahaha….huahaha….haha.…hahaha……”

     Keheningan kelas pagi ini tiba-tiba pecah oleh suara tawa Tanaya. Aku yang sedang mengoreksi penilaian hari kemarin tersentak. Anak-anak yang sedang serius mengerjakan tugas mendongak.

“Heh, Tanaya, gak ada yang lucu.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Ngapain kamu ketawa?”

“Dasar edan.”

      Kelas riuh rendah. Teguran anak-anak ditimpali tawa Tanaya yang tak juga berhenti membuatku berdiri.

“Tok…tok…tok…”

Kuketuk meja kerjaku.

“Sudah anak-anak. Silakan kerjakan kembali tugas kalian! Tanaya, kamu menertawakan apa, Nak?”

“Haha…haha…haha…itu di kepala bu guru…ha ha ha ha….”

      Semua mata kini menatapku. Kasak-kusuk kembali terdengar. Kuusap kepalaku dengan khawatir. Aku yang phobia dengan segala jenis serangga mencoba berusaha tenang. Bisa hilang wibawa di depan siswaku jika ketakutan kutampakkan. Biasanya, secara reflek aku akan berteriak atau bahkan melompat-lompat jika menemukan serangga di dekatku.

“Apa ada hewan di kepala bu guru?Atau kerudung bu guru tak rapi, Nak?”

Semua kepala menggeleng.

“Haha…haha…haha… Itu…”

      Tangan Tanaya terus menunjuk-nunjuk kepalaku sembari terus tertawa. Aku yang tak mendapat jawaban apapun, terpaksa membawa Tanaya ke ruang kepala sekolah. Sepanjang selasar, tawa Tanaya terus bergema membuat guru dan siswa di kelas yang kulewati menengok kami.

          Kuketuk pintu ruang kepala sekolah. Kusampaikan kejadian Tanaya di kelas dengan hati-hati. Sepanjang percakapan kami dengan Tanaya tak membuahkan jawaban apapun. Hanya tawa yang selalu muncul dari mulut Tanaya.

“Sepertinya kita perlu menemui orang tuanya, Bu Laras.”

“Tapi, nuwun sewu, Pak. Orang tua Tanaya sudah meninggal. Dia diasuh oleh neneknya.”

“Ya sudah. Sebentar lagi kita antarkan Tanaya ke rumahnya. Silakan kelas dititipkan dulu. Jika menunggu jam belajar selesai, saya khawatir akan mengganggu semuanya.”

“Nggih, Pak.”

“Biar Tanaya di sini saja, Bu.”

        Aku meninggalkan ruang kepala sekolah dengan penuh tanya. Tawa Tanaya masih terus terdengar. Kubelokkan langkah ke toilet. Kuamati diriku di depan cermin. Tak kutemukan apapun yang lucu atau janggal. Aku kembali ke kelas. Meski hatiku bergemuruh dan penuh tanya, kuperlihatkan sikap biasa-biasa saja di depan siswa.

“Anak-anak, silakan kalian lanjutkan mengerjakan tugas! Bu Nisa sementara akan menggantikan tugas bu guru.”

“Baik, Bu….”

         Kami mengantar Tanaya dengan mengendarai mobil kepala sekolah. Sepanjang jalan tangan Tanaya menunjuk-nunjuk setiap orang yang lewat. Tak sepatah kata yang keluar, hanya tawa yang terus bergema. Kami hanya diam, memikirkan segala kemungkinan. Tanaya yang kami tahu tidak pernah melakukan hal tercela. Sejak ia duduk di bangku kelas satu sampai sekarang di kelas enam, tidak pernah muncul keluhan dari wali kelas, kecuali nilainya yang selalu di bawah rata-rata.

      Mobil berhenti di halaman yang cukup luas. Pohon asem menjulang di ujung halaman. Selebihnya tampak gersang. Kami disambut dengan ayam-ayam yang berkotek tak henti-henti. Kuketuk pintu rumah Jawa kuno milik nenek Tanaya. Meski dinding-dindingnya tampak rapuh, aku yakin rumah ini sangat indah pada masanya.

       Pintu berdecit kala dibuka perlahan. Sesosok renta berjalan terbungkuk menemui kami. Tanaya bergegas mencium dan menuntun tangan renta itu. Kami terkejut, tawa Tanaya berhenti seketika. Ia nampak sangat berbeda.

Nuwun sewu, ontene griyane Tanaya kados niki.

        Kami duduk di risban panjang. Kuedarkan pandang ke sekeliling. Semua tampak kuno dan tak terawat. Foto kusam menempel di dinding sejajar dengan bambu runcing. Kupicingkan mata mengamati foto lelaki berpakaian pejuang.

Niku foto mbah kakunge Tanaya. Riyin nderek perang jaman Belanda. Mbahe niku sing maringi asma Tanaya, artine lare. Menawi tiyang sepuhe Tanaya pun ninggal awit Tanaya alit.

Nenek Tanaya menerangkan keadaan cucunya tanpa kami minta.

Nggih, Mbah. Nepangaken, kula pak Ridwan lan niki bu Laras, gurune Tanaya.”

        Pak Ridwan menyampaikan maksud kedatangan kami terkait perilaku tak biasa Tanaya. Kami sungguh terkejut kala nenek Tanaya menyampaikan hal berbanding terbalik yang kami hadapi di sekolah. Apalagi saat Tanaya keluar membawa nampan berisi tiga cangkir teh hangat. Ia tampak sangat sopan dan tak menampakkan gelagat aneh. Kami pamit tak lama kemudian. Tanaya mencium tangan kami takzim.

       Seminggu berlalu. Kelas kami lalui dengan tenteram tanpa tawa Tanaya. Aku meninggalkan kelas dengan gembira. Hari ini anak-anak dipulangkan lebih awal karena kami akan menghadiri peringatan Maulid Nabi di masjid kampung.

        Peringatan maulid berjalan lancar. Tausyiah yang diberikan kyai di atas panggung membuat air mata kami berderai. Kami diliputi haru saat perjuangan Rasulullah dikisahkan. Tiba_tiba kami dikejutkan Tanaya yang berlari ke depan panggung. Jemarinya kembali menunjuk-nunjuk kepala hadirin dan terus tertawa.

Bocah kurang ajar.”

Dasar gemblung kaya ramane.”

“Tarik saja, Mas. Suruh pulang ke rumah.”

        Sumpah serapah muncul dari mulut-mulut yang tadi menggemakan salawat nabi. Kyai di atas panggung mencoba menenangkan. Keadaan yang sempat ricuh kembali tenang kala istighfar dilantunkan dan Tanaya diantar pulang.

     Kasak-kusuk keadaan Tanaya mulai terdengar di seantero kampung. Tanaya menjadi lebih sering mendadak tertawa. Saat salat jamaahpun Tanaya selalu tertawa. Sebagian menganggap Tanaya gila seperti bapaknya. Sebagian lagi menganggap Tanaya kesambet penunggu pohon asem di halaman rumahnya.

      Sore ini kuputuskan kembali ke rumah Tanaya. Kuajak serta Karin, sahabatku yang seorang psikolog. Kami menemui nenek Tanaya yang bingung dengan kondisi cucunya. Ia selalu merasa Tanaya baik-baik saja. Kami pulang dengan bimbang. Hasil dialog kami dengan Tanaya tak menunjukkan gejala ke arah kelainan.

“Aku baru menemui kasus begini, Ras. Kamu lihat tadi kan, bagaimana ia menjawab pertanyaanku? Angket yang kuberi juga diisinya dengan baik. Anaknya juga sopan banget. Jangan-jangan ia menertawakan kalian yang memang lucu menurutnya.”

       Aku termangu mendengar penjelasan Karin. Kuakui Tanaya jauh lebih sopan dibanding teman-temannya. Tentu saja sebelum tawanya menjadi-jadi. Aku semakin dibuat tak mengerti dengan perilaku Tanaya.

“Tapi, ini aneh Rin. Dua kali kutemui ia tertawa-tawa sembari menunjuk kepala orang-orang. Kemarin aku saja dapat teguran dari wali murid, kalau Tanaya sering menunjuk kepala dan menertawakan mereka. Apa ini tak aneh menurutmu?”

“Kalau dari hasil percakapanku dengannya sepertinya tidak, Ras. Kamu lihat hasil coretannya? Tapi, kita pantau dulu perkembangannya, Ras. Aku rasa pendekatan secara pribadi perlu kamu lakukan. Apalagi Tanaya sudah yatim piatu. Kamu sepertinya sangat terforsir memikirkan Tanaya. Kantong matamu sampai tebal begitu. Ada baiknya kamu refreshing, Ras.”

     Aku menyetujui saran Karin. Kami melepaskan sejenak persoalan Tanaya di warung kopi langganan kami.

       Pagi ini aku kembali ke sekolah dengan semangat baru. Percakapnku dengan Karin kemarin sore membuatku berpikir untuk melakukan pendekatan secara pribadi pada Tanaya.

“Bu Guru, Bu Guru … Ardi sama Bono menangis.”

“Kepalanya ditonjok Tanaya, Bu Guru.”

“Cepetan ke kelas, Bu Guru.”

       Suara-suara tak sabar di depan pintu kantor membuat kami menoleh. Aku yang baru meletakkan tas kerjaku segera berlari diikuti beberapa guru di belakangku.

“Kasihan bu Laras, harus menghadapi Tanaya yang aneh.”

       Kami tiba di kelas yang sudah penuh anak-anak, bahkan dari kelas lain. Di tengah kelas Tanaya terus tertawa menunjuk kepala-kepala di depannya. Ardi yang masih menangis terduduk di pojok kelas. Bono yang temperamental dan sering membuat onar masih berusaha memukul Tanaya. Aku menghela nafas panjang.

“Bu guru, tadi Tanaya tiba-tiba memukul kepala Ardi.”

“Aku juga dipukulnya Bu. Padahal aku duduk diam.”

Anak-anak melapor tak sabar.

“Semuanya, silakan kembali ke kelas masing-masing! Yangdi kelas ini, silakan berdoa dan lakukan pembiasaan pagi!”

        Aku menuntun tangan Tanaya menuju ruang kepala sekolah diikuti pak Faisal yang menuntun Ardi dan Bono. Tawa Tanaya tak juga berhenti meski kami sudah sampai di ruang kepala sekolah. Tangannya menunjuk kepala kami bergantian. Kami menatapnya penuh prihatin.

“Sepertinya kita perlu melibatkan kyai dalam hal ini. Bisa jadi Tanaya benar-benar kesurupan dan perlu diruqyah.”

Pak Hambali, guru agama sekolah ini berbisik pada kepala sekolah.

“Tanaya, sebenarnya apa yang kau tertawakan? Apa kamu tak lelah tertawa sepanjang hari? Kali ini kamu sangat keterlaluan. Mengapa kepala Ardi dan Bono kamu pukul?”

Tanaya tiba-tiba terdiam. Matanya menatap kami bergantian.

“Aku pukul laki-laki dan perempuan di kepala Bono, Pak. Mereka berpelukan. Bajunya saru.”

Kami mengalihkan pandang pada Bono. Kami tak melihat apapun seperti yang dikatakan  Tanaya.

“Apa maksudmu, Nak. Kami tak mengerti. Taka da apapu di kepala Bono.”

“Apa kalian tak lihat laki-laki dan perempuan itu di kepala Bono? Hampir tiap hari aku melihatnya berputar-putar di kepala Bono? Apa Bono tak malu melihat laki-laki dan perempuan seperti itu? Apa kalian juga tak melihat mobil-mobil balap berseliweran di kepala Ardi? Aku pukul mereka biar pergi dari kepala Bono sama Ardi. Aku kasihan mereka tak bisa belajar gara-gara itu. ”

Kami terkejut dengan pernyataan Tanaya.

“Pak Guru juga. Hahaha…haha…haha… Itu kenapa di kepala pak guru ada mobil, sawah, sama sapi? Apa tidak berat?” Tanaya menunjuk kepala pak Ridwan.

Tangan Tanaya beralih ke kepala pak Faisal, “Itu laki-laki sama perempuan yang tadi di kepala Bono berpindah ke kepala Pak Guru? Hahahaha… Lucu sekali.”

Pak Faisal mengusap kepalanya dengan kasar.

“Pak bu, coba lihat di kepala bu Laras. Seperti kemarin saat di kelas gambar-gambar lingkaran biru, hijau, merah muda, burung putih selalu berputar-putar sepanjang hari di kepala bu guru. Apa bu guru tak pusing?”

“Hahahaha…. Banyak sekali orang joget-joget di kepala pak guru. Apa kalian semua tak melihatnya?”

Tanaya tertawa-tawa sambil menunjuk kepala pak Hambali.

Ruangan tiba-tiba sunyi. Kami terhenyak dengan kalimat-kalimat Tanaya. Aku mulai menyadari satu hal. Kutundukkan kepala dalam-dalam. Logo-logo Facebook, WhatsApp, Instagram, dan Twitter tiba-tiba terpampang jelas di mataku. Ekor mataku menangkap semua kepala tertunduk menekur. Isi kepala kami tiba-tiba berloncatan memenuhi ruangan, seperti yang Tanaya lihat selama ini. Kupeluk pundak Tanaya. Air mataku menderas, membasahi baju Tanaya yang kusam.

 

Ikuti tulisan menarik Hikmah Sholawati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler