x

usplash.com

Iklan

Wayan Udiana Nanoq da Kansas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 November 2021

Rabu, 8 Desember 2021 16:43 WIB

Seputar Kota Mencari Heningmu

Cerita pendek.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

SEPUTAR KOTA MENCARI HENINGMU

Cerpen Nanoq da Kansas

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

dunia kita diciptakan

oleh rantai peristiwa tak terduga

dan sejarah juga membentuk pikiran, ketakutan

serta impian kita

___________________________________________

“Homo Deus” – Yuval Noah Hariri

 

 

Pernahkah anda makan krupuk bleng dengan susu cokelat kental manis? Seorang Pengangguran Kurus mengaku pernah. Nggak enak, katanya. Reaksi spontan Seorang Pengangguran Kurus adalah mengernyitkan alis dan hidung, memencongkan bibir, lalu meludahkan kerupuk yang sedang dikunyahnya itu. Hueeek!!!

“Kenapa sih kerupuk dikasi susu cokelat?” Tanya istrinya sebal.

“Nyobain saja,” jawab Seorang Pengangguran Kurus.

“Coba-coba kok cuma kerupuk? Cobalah sesuatu yang lebih besar,” lanjut istrinya seraya menyodorkan segelas air putih.

“Aku tak tahu apa yang lebih besar yang bisa kucoba.”

“Jadi loyalis kek sana.”

“Loyalis apa?”

“Loyalis Pak Bupati, Pak Gubernur, atau Pak Presiden. Semua bisa dicoba. Kalau mau.”

“Baiklah. Aku mau jadi loyalis Pak Gubernur.”

“Semoga berhasil,” tandas istrinya lalu menyodorkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan.

“Ini uang untuk apa?” Seorang Pengangguran Kurus bingung.

“Buat ongkos naik bus ke rumah Pak Gubernur.”

“Wah, terima kasih. Aku berangkat sekarang.”

“Lho, masak langsung berangkat?”

“Terus gimana lagi, bu?”

“Apa tidak membawa surat lamaran?”

“Oh iya...,” Seorang Pengangguran Kurus mengumpat dirinya sendiri. Lalu masuk ke dalam rumah. Keluar lagi membawa kertas dan pulpen.

 

Dibantu istrinya, Seorang Pengangguran Kurus lalu menulis surat.

Kepada

Yth. Bapak Gubernur

Di Tempat.

 

Perihal: Lamaran Menjadi Loyalis.

 

Degan hormat,

Melalui surat ini perkenankan saya menyampaikan isi hati saya yang terdalam kepada Bapak Gubernur...

 

Di rumah Pak Gubernur, tepatnya di pendapa rumah dinas Pak Gubernur, ternyata sudah banyak tamu. Sekitar 30 kursi tamu yang berderet di pendapa itu sudah penuh. Seorang Pengangguran Kurus duduk di lantai pojok pendapa, bergabung dengan belasan tamu-tamu lain yang tak kebagian kursi. Ajaib, tak ada yang (berani) merokok. Padahal di kantong baju mereka, terutama para tamu laki-laki yang kebanyakan berpenampilan seperti artis atau mungkin seniman, tersembul bungkus-bungkus rokok berbagai merek.

 

Para pembantu atau para pengurus rumah dinas Pak Gubernur sibuk sekali. Ada yang menyiapkan air minum dalam kemasan gelas-gelas plasik di setiap meja, ada yang menghidangkan kue-kue yang baru saja dibawa oleh beberapa pegawai jasa kurir. Ada yang sibuk memeriksa tabung-tabung alat pemadam kebakaran ringan yang dipasang di beberapa sudut rumah.

“Sekarang mudah sekali terjadi kebakaran,” ujar salah seorang tamu itu.

“Di mana-mana ada saja yang terbakar,” timpal yang lain.

“Hutan terbakar.”

“Kantor terbakar.”

“Pasar terbakar.”

“Pemukiman terbakar.”

“Kapal laut terbakar.”

“Mobil terbakar.”

“Cintaku terbakar,” celetuk seorang pemuda sambil sibuk main handphone. Semua menoleh. Sebagian besar menunjukkan kekesalannya.

“Main hp kok di rumah Pak Gubernur,” gerutu seseorang dalam hatinya.

“Sungguh tidak sopan,” gerutu yang lain, juga di dalam hatinya.

“Jangan marah. Cintanya sedang terbakar,” batin seorang ibu berpakaian bidan.

“Siapa yang membakar cintamu, dik?” Tanya seorang Pol PP mendekat.

“Terbakar, Pak. Bukan dibakar,” sahut pemuda itu.

“Oh, membakar beda ya dengan terbakar?”

“Dulu bapak sekolah di mana?”

“Tergantung konteksnya.”

“Maksud bapak?”

“Konteks pertanyaan adik.”

“Kok jadi rumit ya, Pak?”

“Tergantung konteksnya juga.”

“Jadi, begini Pak...”

 

Pak Gubernur keluar dari ruang utama rumah dinasnya dikawal ajudan. Tangannya tercakup di dada, pandangannya lurus ke depan tetapi sama sekali tidak menoleh ke arah pendapa yang terletak di samping kanan rumah besar itu di mana para tamu telah menunggu. Pak Gubernur melintasi halaman dan langsung menuju mobil dinas yang terparkir di tengah-tengah halaman dengan pintu yang sudah terbuka. Pak Gubernur masuk. Pintu mobil tertutup sendiri. Mobil lalu melaju keluar halaman. Ajudan tak ikut.

 

“Maaf ya, bapak-bapak dan ibu-ibu, Bapak Gubernur sangat sibuk. Bapak Gubernur tidak bisa menemui anda saat ini. Silahkan datang lain kali,” kata ajudan itu dengan sangat ramah, lalu memberikan masing-masing sebuah amplop kepada seluruh tamu itu. Di tiap sudut kanan atas amplop ada tulisan: Rp. 200.000,-

 

Semuanya lalu bubar.

 

Setelah semua tamu pergi, ajudan lalu menelpon dengan handphone-nya.

“Sudah clear, Pak.”

Pak Gubernur keluar. Keluar dari pintu ruang yang tadi juga.

“Kok cepat sekali, Pak?” Tanya ajudan heran.

“Halah kamu. Kan ada pintu belakang. Aku tadi muter sedikit di jalan itu, lalu kembali lewat pintu belakang,” jawab Pak Gubernur. “Sekarang tolong panggilkan Bunda,” lanjut Pak Gubernur.

Ajudan berlari masuk ke dalam rumah besar itu. Tak lama kemudian istri Pak Gubernur keluar tanpa ajudan. Pak Gubernur dan istrinya lalu duduk di teras yang sepi itu sambil menikmati sisa kue-kue yang tadi disuguhkan untuk para tamu yang hendak menghadap.

“Sepi ya, bunda?” Pak Gubernur memandang istrinya.

“Aku kangen, pak,” jawab istrinya.

Ajudan menutup gerbang depan rumah dinas itu.

Hari sudah sore.

 

Di rumahnya, Seorang Pengangguran Kurus dan istrinya juga makan gorengan yang tadi dibelinya di terminal bus.

“Ternyata sulit juga melamar jadi loyalis, pak ya?” Istrinya memulai percakapan.

“Wah sulit sekali, bu.”

“Coba diingat-ingat, sudah berapa kali bapak menghadap ke rumah dinas?”

“Menghadap apanya, bu? Bukan menghadap. Hanya hendak menghadap. Kalau menghadap itu berarti bertemu, diterima berhadap-hadapan dan diajak bicara oleh Pak Gubernur. Selama ini belum pernah behadap-hadapan dan diajak bicara. Cuma dilewati saja.”

“Kalau begitu, coba diingat-ingat, sudah berapa kali bapak dilewati Pak Gubernur?”

“Sembilan kali.”

“Sembilan kali dua ratus ribu, berapa ya, pak?”

“Satu juta delapan ratus ribu.”

“Berarti penghasilan bapak baru satu juta delapan ratus ribu. Nanggung. Genapkan lagi sekali, pak. Biar dua juta.”

“Berarti aku harus menulis surat lamaran lagi.”

“Nggak apa-apa. Aku bantu. Sekarang yuk.”

Seorang Pengangguran Kurus dan istrinya lalu masuk ke dalam rumah. Lalu pintu dikunci dari dalam. Mereka tidak keluar lagi. Lama.

 

Sore pun dengan cepat berganti petang. Sepasang burung kedasih membersihkan diri di ranting pohon mangga seberang jalan. Seekor kelelawar melintas terburu-buru di atas bentangan kabel-kabel listrik. Di bawahnya, seekor kucing kurus duduk memandangi cakrawala.

 

Di cakrawala, Elon Musk tersenyum memetik bintang-bintang. Dia meninggalkan bumi menuju Mars dan setiap celah di ruang angkasa, tetapi lupa membawa serta asap roket kebanggaannya dan membiarkannya menjadi racun di udara yang jelas-jelas masih dihirup untuk hidup oleh penduduk bumi.

 

Lalu lampu-lampu jalan dinyalakan. Kota dinyalakan. Malam dinyalakan. Orang-orang kota tetap tergesa. Seperti tikus-tikus. Tikus-tikus kota bekerja malam hari. Di sebuah angkringan, segerombolan seniman daerah menikmati kopi. Salah seorang membaca puisi.

 

menyerupai tikus, masih kucari heningmu

di pondasi-pondasi departemen

kulubangi beton dengan cakar waktuku

limbah deterjen rumah tangga

kian mempertajam tekstur dekorasi sepanjang gang

sejauh dua puluh empat jam

putaran oplet dan taxi

menujumu

 

di manakah terminal terakhir

tata ruang dilingkarkan trotoar

kota dilengkungkan antara hasrat dan kebutuhan

seluruh gerak jadi samar

bagai gerimis di permukaan kaca bus

lalu tiap perempatan senantiasa menyodorkan

keterhenyakan

dan bagi tikus dalam mauku

penunjuk arah yang dipaku lengannya itu

tak pernah mencoba berhenti ketawa

 

adalah kesepianku yang salah

bagaimana kuingin padi menghampar dalam warna aspal

juga sepetak kebun tomat

padahal halaman di samping dapur rumah kost

telah ditanami kebun perhitungan

begitulah kekanakanku

rindu primitifku menyerupai tikus mencari heningmu

andai saja dapat kuibadahkan sepi ini ...

_________________________

“seputar kota mencari heningmu” – puisi Nanoq da Kansas

 

Tikus-tikus kota bekerja malam hari. Sementara hewan-hewan lain pergi menepi atau tidur. Bahkan jangkrik..., ah, jangkrik-jangkrik tidaklah bekerja. Jangkrik-jangkrik hanya bernyanyi untuk memamerkan suaranya yang parau. Jangkrik-jangkrik hanyalah menyindir para pengamen yang hanya berani ngeriung mengerubungi meja-meja kayu beralas plastik di rombong-rombong kaki lima, di pinggir-pinggir terminal, di pasar senggol dan lesehan kelas trotoar. Para pengamen tak pernah berdaya ngeriung di meja-meja mengkilat yang dikerubungi para pemakan malam berkemeja dibalut jas, pemakan malam bergaun harum dengan belahan dada rendah atau gaun yang menganga lebar di punggung tembus lekukan bokong. Tak ada pengamen yang berani ngeriung di bawah eksotika temaram ruangan berpendingin udara. Para pengamen adalah hewan pengerat di udara lembab dan panas. Para pengamen adalah jangkrik-jangkrik bersuara serak di bongkahan batu kapur atau rekah tanah. Dan laron, laron-laron hanya terbang mencari cahaya saat tiba waktunya menjemput maut.

 

Surat lamaran kesepuluh tak jadi dibawa. Ternyata keesokan harinya adalah hari Pemilihan Umum. Pemilihan presiden, gubernur, bupati, walikota, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dan, Pak Gubernur ternyata juga ikut nyalon lagi. Pak Gubernur sudah cuti sejak bulan lalu. Dan, karena ikut nyalon, untuk sementara waktu Pak Gubernur tidak bisa menemui atau melewati siapapun. Tidak bisa memberi uang sangu atau apapun namanya kepada siapapun juga. Peraturan mengatakan bahwa barangsiapa kandidat peserta pemilihan umum dan atau pemilihan kepala daerah memberikan sesuatu pada saat menjelang pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, bisa dianggap melakukan politik uang dan bisa didiskualifikasi serta dipidanakan.

 

“Padahal jam-jam begini kita biasanya nongkrong di trotoar taman dekat pos penjaga depan rumah Pak Gubernur sambil gitar-gitaran,” ujar seorang pemuda kepada dua orang temannya.

“Lalu Pak Gubernur lewat, berhenti sebentar, dan memberi kita uang jajan,” sambung salah satu temannya.

“Lalu kita pergi dari situ. Beli rokok, beli anggur cap orang tua, lalu nongkrong dan gitar-gitaran lagi di pojok stadion.”

“Kamu ada bakat korupsi ternyata,” ujar temannya yang satu lagi.

“Korupsi apa? Ngawur kamu!”

“Tadi kamu hanya menyebut rokok dan anggur.”

“Kamu tidak menyebut arak. Padahal kita juga beli arak.”

“Aku tak enak menyebut arak. Arak itu alkohol. Alkohol kan dilarang. Bisa dipidana.”

“Tapi faktanya kita membeli.”

“Menggunakan uang Pak Gubernur.”

“Itu uang negara.”

“Penggunaan uang negara harus disebut. Kalau tidak, kamu sudah melakukan korupsi. Karena kamu tidak mempertanggungjawabkannya.”

“Masak uang negara dipakai beli arak?”

“Faktanya begitu. Itu yang kita lakukan selama ini.”

“Tapi arak kan dilarang?”

“Tapi kita membelinya.”

“Sebaiknya bagaimana?”

“Sebut saja.”

“Baiklah. Lalu kita pergi dari situ. Beli rokok, beli anggur cap orang tua, beli arak, lalu nongkrong dan gitar-gitaran lagi di pojok stadion.”

“Nah, itu baru benar.”

“Dan jujur.”

“Bertanggungjawab.”

“Setidaknya kita sudah melakukan hal yang benar, jujur dan bertanggung jawab saat kita mabuk.”

“Karena kita mabuk memakai uang negara.”

“Bagaimana kalau itu bukan uang negara, tetapi benar-benar uang milik Pak Gubernur?”

“Manalah mungkin Pak Gubernur punya uang.”

“Kan dari gajinya.”

“Gaji itu dari negara.”

“Pak Gubernur kan tidak bekerja. Maka mana mungkin dia punya uang sendiri.”

“Gubernur itu kan pekerjaan. Menjadi gubernur adalah bekerja.”

“Salah!”

“Lalu?”

“Menjadi gubernur itu amanat. Tugas. Pengabdian”

“Tugas apa?”

“Tugas partai.”

“Tadi katanya dapat uang dari negara. Kok sekarang tugas partai?”

“Kata Ibu Mega begitu.”

“Siapa Ibu Mega?”

“Presiden kita yang dulu.”

“Oh, yang mantan presiden.”

“Bukan mantan. Tapi presiden yang dulu.”

“Presiden yang dulu itu banyak.”

“Siapa bilang satu?”

“Iya, aku bilang banyak.”

“Kamu sudah mabuk?”

“Belum.”

“Omonganmu ngaco.”

“Yang benar itu bagaimana?”

“Berbuatlah yang benar dan bertanggungawab walaupun kamu mabuk.”

 

Truk Pol PP berhenti dekat mereka.

“Bubar! Bubar!”

“Kenapa bubar, Pak?”

‘Sekarang masa tenang. Bubar!”

“Masa tenang apa, Pak?”

“Besok pemilu. Semua harus di rumah. Semua harus tenang!”

“Kami sudah tenang di sini, Pak. Tidak usah repot-repot.”

“Kalian melawan petugas ya? Bubarrrrr!”

“Kok Bapak yang tidak tenang? Katanya sekarang masa tenang.”

“Angkuuuuut!!!!”

 

Mereka lalu diangkut truk Pol PP.

Di atas truk Pol PP mereka gitar-gitaran. Mereka bernyanyi-nyanyi. Pak Pol PP senyam-senyum. Mungkin karena merasa tenang.***

 

 

Bali, 2021

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Wayan Udiana Nanoq da Kansas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler