x

Iklan

Imam Muzakki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 16:50 WIB

Demi Bahan Bacaan

Cerpen yang penulis buat khusus untuk mengikuti Sayembara Cerpen Indonesiana 2021.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Demi Bahan Bacaan

By Imam Muzakki

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Matahari masih malu-malu untuk menampakkan dirinya. Jalanan masih sepi, toko-toko pun masih belum dibuka. Suara kicauan burung yang menyambut pagi bisa terdengar dengan jelas. Oh, dan derap langkah juga bisa terdengar dari kejauhan, diiringi dengan bunyi rintik gerimis yang menenangkan hati. Namun, terlihat si pemilik dari derap langkah itu tak menunjukkan ekspresi yang tenang. Badannya yang bisa dibilang cukup standar untuk seorang siswa SMA melesat diantara rintik hujan bagaikan sedang dikejar setan. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang dipenuhi kepanikan, disertai dengan napasnya yang terengah-engah. Samar-samar terdengar beberapa umpatan yang dihaluskan keluar dari mulutnya.

Tio yang sedang dalam keadaan genting memutuskan untuk mempercepat larinya habis-habisan. Sekarang mungkin masih gerimis kecil, tapi siapa yang tahu kapan si Zeus akan menurunkan hujan lebat, atau bahkan badai yang dahsyat?  Sambil mengutuk dirinya sendiri karena lupa membawa payung dari rumah, Tio memfokuskan dirinya agar tidak terpeleset di jalanan yang mulai menjadi licin. Ah, gerbang sekolah sudah terlihat di seberang jalan sana. Dengan menggunakan tenaga yang tersisa, Tio menambah laju kecepatan sprintnya untuk kemudian melewati gerbang tersebut bagaikan atlet lari olimpiade yang memenangkan pertandingannya. Setelah melakukan finish yang sempurna (baca; menabrak dinding kelas), Tio mengatur napasnya yang berantakan dan segera menuju ke kelasnya di lantai 2. Dengan lemas, Tio menyapa teman-temannya dan duduk berselonjor di kursinya. Dibukanya tas yang agak dingin karena hujan dan diambilnya buku yang semalam belum sempat dia selesaikan. Dengan cepat pikirannya teralihkan ke isi dari buku tersebut.

Sekian menit berlalu. Gerimis yang kecil berubah menjadi hujan yang cukup lebat. Jam pelajaran sudah dimulai, tapi belum ada guru yang masuk untuk mengajar. Beberapa siswa pun masih belum terlihat di kursinya. Wajar sih, namanya juga terhalang hujan. Apalagi hujan ini bukan hujan kaleng-kaleng. Guntur sudah terdengar dari kejauhan. Telat lima menit saja, mungkin Tio akan sampai di sekolah dengan seragam yang basah.

*DUARRR-

 Sekilas terlihat kilatan cahaya yang membutakan dari kejauhan, diikuti dengan suara yang mengkagetkan seisi kelas. Tio yang kehilangan fokus terhadap bacaannya mengalihkan pandangannya ke luar jendela. “Kira-kira siapa sih orang yang cukup gila buat nantangin Zeus tanding lempar target di saat hujan gini?” begitu pikirnya. Menghela napas, Tio memutuskan untuk lanjut membaca ketika terdengar suara pintu terbuka. Saat itulah dia melihatnya; monster berwarna putih bersih dengan tinggi 177 cm sedang berdiri di hadapan pintu yang terbuka lebar- Ah, ternyata itu cuma si Ido yang baru sampai di kelas. Segera setelah melepaskan dan menjemur jas hujannya yang basah di depan kelas, Ido duduk di kursinya yang bersebelahan dengan kursi Tio. Terlihat badannya menggigil kedinginan. Bagaimana tidak? Dia berjalan kaki menembus badai kecil ini dengan hanya berbekal jas hujan. Tio yang merasa kasihan merogoh isi tasnya dan menyerahkan sebuah korek api kecil. Dengan mata berbinar-binar, Ido segera menyalakan korek itu dan meletakkan tangan besarnya yang berkerut diatasnya. Ekspresi wajahnya yang semula menggigil lambat laun meleleh dipenuhi oleh kehangatan. Tio yang melihatnya hanya bisa tersenyum sendiri.

Setelah menghangatkan tangannya, Ido meraih tasnya yang tampak masih kering dan merogoh-rogoh isi tasnya. Kalau dipikir-pikir lagi, kok bisa ya tasnya tetap kering seperti itu? Apakah jas hujan yang Ido pakai jas hujan bermerek? Dari G*cci? Ah, tangannya mengeluarkan sebuah ensiklopedia. Itu adalah ensiklopedia tentang fauna kutub yang dia pinjam dari Tio. Dengan ceria dia kembalikan buku itu kepada Tio. Sepertinya Ido sangat puas setelah menyelesaikan ensiklopedia tersebut. Tio yang melihatnya tersenyum lebar. Mereka segera terbenam dalam diskusi yang panjang tentang buku.

Tio dan Ido memanglah sahabat sehobi. Saking serasinya, teman-teman sekelasnya menjuluki mereka “Pelayan Buku”. Konon, kalau salah satu dari mereka sedang terlihat berada di salah satu perpustakaan di dunia ini, kau bisa menemukan satunya lagi tak jauh darinya. Legenda lain menyebutkan kalau mereka pernah menyelesaikan semua buku di perpustakaan kotanya yang hampir menyentuh angka 1000 hanya dalam waktu seminggu. Bagi mereka, membaca itu sudah seperti bernapas. Tiada hari tanpa membaca, bahkan saat sedang bermimpi.

“Kau udah beli majalah Tidur edisi terbaru yo? Cerpen di dalamnya ada banyak, bagus-bagus lagi, asli. Gak kaya edisi kemarin, cuma ada 3. Kurang mah kalo cuma segitu. Tapi artikel-artikelnya emang bagus sih, berisi semua.”

“Yang edisi 42 kan? Belum sempet nih, kemarin di tempat ane hujan soalnya. Padahal udah tinggal gowes ke kiosnya. Nah, bisa nih ente nemenin ane ntar beli. Besok kiosnya Mang Ucup tutup soalnya. Udah ga sabar nih. Sekalian beli kertas folio buat tugas fisika besok. Gimana?”

“Walaupun misal nanti masih hujan? Kau pulangnya gimana?”

“Semoga ga hujan.”

Tio berharap dirinya bisa membeli majalah kesayangannya itu tanpa ada halangan. Kalau tidak, minggu ini mungkin akan jadi minggu yang terburuk baginya.

Jam pelajaran terakhir. Setelah memberikan setumpuk kertas berisi tugas, sang guru matematika pamit meninggalkan kelas. Ingin menjemput anak di sekolah, katanya. Para murid merelakan kepergian gurunya dengan ekspresi yang bercampur aduk. Melihat jumlah soal yang harus mereka kerjakan, semua murid hanya bisa menghela napas. Apalagi sang guru meminta agar tugas tersebut diselesaikan hari itu juga. Tamat sudah riwayat para murid di kelas ini.

10 menit sebelum bel pulang berbunyi. Tio dan Ido masih sibuk mengerjakan tugas tersebut. Mereka berusaha untuk menyelesaikannya secepat mungkin, terutama karena hujan sudah mulai mereda. Kios Mang Ucup biasanya akan tutup lebih awal kalau turun hujan deras. Selain itu, hari ini mereka juga kebagian giliran piket kelas. Kalau tidak cepat-cepat mengantarkan semua tugas kelas ke meja gurunya, bisa jadi hujan malah akan kembali bertambah deras. Sambil memikirkan hal ini, kecepatan menulis Tio dan Ido naik dengan agresif mendekati kecepatan cahaya.

Pukul 2 siang, bel pulang berbunyi. Masih ada beberapa siswa yang belum selesai mengerjakan tugas tersebut, namun sebagian besar menunjukkan ekspresi lega sekaligus lelah di wajahnya. Tio dan Ido termasuk di antaranya. Samar-samar terlihat ada asap yang keluar dari kepala mereka. Setelah mengumpulkan kembali tenaga yang hilang, Tio dan Ido bergegas mengumpulkan lembar tugas milik para siswa. Secara tidak langsung, mereka juga ‘terpaksa’ menunggu beberapa temannya yang masih mengerjakan tugas milik mereka. Sebagai teman yang baik, Tio dan Ido berpikir dengan optimis, “Seharusnya gak lama lagi mereka bakal selesai. Rata-rata sudah di nomor 29 tadi kuintip. Masih sempat mah ini.” Sayangnya, mereka melupakan satu hal yang penting; siswa yang piket juga harus membersihkan kelas itu setelah siswa yang lain pulang. Dan ketika siswa yang terakhir menyerahkan lembar tugasnya untuk dikumpulkan, Tio dan Ido baru menyadarinya. Lantai kelas yang biasanya berwarna putih bersih, sekarang dipenuhi jejak sepatu yang basah akibat hujan. Melihat pemandangan yang menyedihkan itu, mereka hanya bisa menepuk jidat sambil tersenyum dengan getir. Ingin sekali rasanya mereka meninggalkan kelas dalam kondisi seperti itu. Namun, mereka merasa sungkan untuk menyerahkan tugas yang sudah seharusnya mereka kerjakan kepada orang lain. Dengan lemas, Tio dan Ido melangkahkan kaki menuju ke gudang sekolah.

Setengah jam berlalu. Terlihat  Tio dan Ido sedang mengepel lantai dengan kaki telanjang dan celana yang digulung keatas. Sepatu dan kaos kaki mereka masukkan kedalam kantong kresek dan disimpan dalam tas. Saat ini, baik Tio maupun Ido terlihat seperti tukang bersih-bersih profesional. Dan seperti tukang bersih-bersih profesional yang bekerja dengan efisien, mereka sudah setengah jalan dalam mengepel keseluruhan lantai kelas itu. Senyum optimisme muncul di wajah mereka. Tugas-tugas sudah mereka kumpulkan di ruang guru terlebih dahulu. Setelah selesai mengepel, mereka bisa langsung pergi membeli majalah bersama dan segera pulang menuju ke kasur kesayangan. Buku di rumah sudah menunggu untuk dibaca, ditemani dengan cemilan dan secangkir teh hangat. Tio dan Ido yang termotivasi meningkatkan kecepatan mengepel mereka hingga menyaingi jasa cleaning service kelas internasional. Manuver-manuver pel yang berkelas terlihat disana-sini. Koordinasi tangan yang mengagumkan diikuti oleh pantulan cahaya dari lantai yang sedikit demi sedikit memperoleh kembali kilauannya. Dan akhirnya, dengan kerja keras serta kekuatan persahabatan, ubin terakhir pun selesai dibersihkan. Dengan ekspresi yang berbinar-binar, mereka bertos tangan dan berteriak sekeras mungkin, melampiaskan semua kekesalan yang terpendam. Oh, momen mengharukan ini juga berbarengan dengan hujan yang kembali turun dengan deras.

“..............”

“..............”

Tatapan Tio dan Ido yang mengarah keluar jendela terlihat kosong. Padahal mereka sudah berusaha sekeras mungkin, namun usaha tersebut terbayar dengan hasil yang pahit. Tio dan Ido hanya bisa duduk dan melamun, memikirkan di bagian mana mereka melakukan kesalahan,.Tak butuh waktu lama bagi suasana untuk berubah menjadi canggung. Yang terdengar hanyalah suara gemericik hujan yang jatuh menimpa atap kelas.

.

.

.

“Gimana nih yo? Mau nyoba ngecek? Mantelku bisa dipakai buat dua orang tuh. Mumpung  belum kesorean, siapa tau Mang Ucup masih buka,” ucap Ido memecah keheningan. Terlihat raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran pada sahabatnya ini.

“....Bolehlah,” balas Tio dengan lirih.

Dengan cepat mereka memasangkan mantel tas milik masing-masing. Ido pun segera mengambil jas hujannya yang sudah lumayan kering dan memakainya. Keduanya turun ke bawah dan dihadapkan pada hujan yang turun dengan deras. Tio segera menyelusup ke belakang Ido, dan dengan seirama mereka berjalan menembus hujan.

Berbagai perasaan bercampur aduk dalam hati Tio. Ada sedikit harapan bahwa kios Mang Ucup masih buka. Namun Tio meragukan hal tersebut. Dia sering lewat di depannya, dan kios itu pasti selalu tutup saat sedang hujan lebat. Dirinya sendiri belum pernah mencoba untuk membeli saat hujan, tapi tetap kemungkinan terbesarnya adalah dia harus menunggu hingga minggu depan untuk menikmati edisi terbaru tersebut. Sebuah penyiksaan yang teramat sangat bagi Tio. Mukbang mie pedas 5 piring pun masih lebih baik daripada harus melewati penderitaan ini.

Tak terasa mereka sudah hampir sampai di tujuan. Tinggal satu belokan lagi dan takdir Tio akan segera ditentukan. Akankah Tio menghabiskan sore hari itu dengan bersantai di kamar sambil membaca majalah kesayangannya? Ataukah Tio akan merasakan penderitaan yang melebihi dalamnya palung Mariana untuk sisa pekan ini? Detak jantung Tio bertambah dengan cepat. Kecemasan dapat terlihat di wajah keduanya. Napas mereka bertambah berat setiap langkahnya. Belokan itu sudah sangat dekat. 5 langkah  lagi. 3 langkah lagi. 1 langkah lagi. Dan...

“......”

“......”

Sesuai ekspektasi mereka, kios Mang Ucup sudah tutup. Walaupun sudah bersiap untuk yang terburuk, tetap saja kekecewaan tidak bisa disembunyikan dari wajah mereka. Memang, menjaga ekspektasi serendah mungkin adalah cara paling ampuh untuk menghindari kekecewaan.

“...Yuk pulang. Aku anterin,” ucap Ido sambil menepuk-nepuk lembut punggung Tio.

“...uhm,” gumamnya.

“Hari ini ane kurang beruntung,” pikir Tio. Moodnya langsung turun. Ingin sekali rasanya untuk langsung pulang dan tidur saja. Ido yang ada di depannya juga merasa kasihan. Sebagai sesama penyembah buku, dia bisa merasakan rasa sakit yang Tio alami saat ini. Namun apa yang bisa mereka lakukan? Nasi sudah menjadi bubur. Dengan lesu mereka melangkahkan kaki kearah yang berlawanan. Namun tiba-tiba...

“Ooooii! Tiioooo! Kamu mau beli majalah Tidur kan? Sini, udah mamang tungguin dari tadi!”

Seorang pria berumur 20-an awal terlihat sedang melambai-lambaikan tangannya dan berteriak dari pintu kios yang semula tertutup. Dia adalah Mang Ucup, pemilik dari kios tersebut. Rupanya dia sudah cukup lama menunggu kedatangan Tio yang merupakan pelanggan setianya. Namun, bagaimana caranya Mang Ucup yakin kalau Tio bakal tetap datang walaupun sedang hujan lebat sekalipun?

“UWOOOOOHH¾” Tio dan Ido yang mendengar panggilan dari Mang Ucup segera berlari dengan seritme melebihi kecepatan cahaya. Dengan jas hujan putih yang mereka kenakan, dua orang itu tampak seperti monster karpet berkaki empat yang sedang mengejar mangsanya.

“Huff...huff...kok mang tau saya bakal mampir kesini?” tanya Tio sambil mengatur napasnya.

“Tau lah, kamu kan udah pasti minimal seminggu sekali mampir kesini. Terutama buat beli majalah Tidur. Kamu belum beli edisi terbarunya, terus minggu kemarin mang juga udah cerita kalau besok mang mau pergi liburan sama keluarga. Kamu ini maniak buku, makanya mang yakin kalau kamu gabakal tahan nunggu lama dan tetep mampir kesini walaupun lagi hujan. Heh, mang bahkan yakin 100% kalau ada gempa pun kamu bakal tetep mampir,” jawab Mang Ucup dengan percaya diri sambil menyerahkan majalah Tidur edisi 42 yang Tio dambakan.

“E-ehehe, Mang tau aja,” ucap Tio yang tersipu malu. Dia segera menyerahkan uang yang sudah disiapkan di sakunya sejak tadi pagi.

“Hujannya masih gede nih. Mau masuk aja? Sekalian nyore bareng,” tawar Mang Ucup.

Dengan mata yang berbinar-binar, Tio dan Ido menerima tawaran tersebut. Lumayan kan, bisa bersantai-santai sambil ngobrol ditemani dengan teh hangat dan cemilan? Dan begitulah, mereka menghabiskan waktu bersama menunggu hujan reda di kios Mang Ucup.

Ah, Tio dan Ido merasa mereka melupakan sesuatu yang penting. Namun, pikiran itu dengan cepat menghilang ditengah hujan yang mengguyur langit senja.

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Imam Muzakki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB