x

Iklan

Yustisia Putri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 18:49 WIB

Lautan Tanpa Cahaya

Lautan Indonesia penuh dengan misteri, kekayaan, dan pesona tersembunyi. Namun, semuanya berubah semenjak kedatangan "mereka" di laut kami. Cerpen ini dibuat untuk mengikuti Sayembara Cerpen Indonesiana 2021

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di sinilah aku berpijak, kawasan terpencil yang jauh dari era modern. Di tempat yang masih lestari tanpa adanya teknologi modern. Masyarakat di daerah ini menyatu dengan lautan untuk bertahan hidup. Tidak ada hologram yang muncul setiap saat menanyakan “Hai! Kami di sini siap membantu Anda, apa yang bisa kami bantu?” hanya ada kedamaian dan keindahan. 

“Ada gunanya juga aku menerima tugas di sini,”  kataku seraya melepas sepatu yang kemasukan pasir putih. Hiruk pikuk keramaian dari tengah laut menarik perhatianku begitu juga dengan masyarakat yang langsung berbondong-bondong keluar dari rumah apung kayu sederhana. 

“Sampan-sampan sudah datang!”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Mereka datang!”

Sampan? Aku mengernyitkan dahi mendengar kata sampan. Apakah itu sejenis kapal pesiar sederhana? Aku ikut-ikutan berkerumun menunggu sampan itu menepi. Aku mematung tak sanggup berkata. Sampan ternyata lebih kuno dari yang aku pikirkan dan juga sangat unik. 

Bentuknya seperti perahu kecil yang terbuat dari kayu kuat disusun sederhana dan satu pertiga bagian sampan tertutup oleh atap rotan untuk tempat berlindung. Masyarakat suku Laut bahu-membahu mengeluarkan hasil melaut mereka. Aku mengeluarkan kameraku untuk mengabadikan momen langka ini. Aku tersenyum tipis, jumlah tangkapan mereka kalah jauh dengan nelayan modern, tetapi senyum mereka mengembang sempurna. 

***

“Luar biasa! Enak sekali ikan bakar ini,” aku tak bisa berhenti memuji masakan Bu Trinata di acara syukuran yang diadakan Suku Laut untuk menyambut kepulangan keluarga mereka setelah melaut lebih dari tiga bulan. Sejak kedatanganku sebulan yang lalu, suku Laut sudah menganggapku bagian dari mereka. Akan tetapi, sang ketua suku yang baru saja tiba di sini tak menyukaiku. Orang asing, katanya. Wajah garang beliau ketika pertama kali melihatku masih sulit kulupakan. Beliau marah dan membentak para wanita yang menjaga kampung selagi mereka tak ada karena membiarkan orang luar masuk. Beruntung Bu Trinata yang merupakan istrinya segera melindungiku dan menenangkan beliau. 

Namun, di tengah syukuran meriah ini aku tak melihat sosok beliau. Kakiku berjalan menjauhi kerumunan seolah tahu aku ingin pergi mencari sang Ketua. Ketika aku sampai di daerah rumah apung, aku melihat sang Ketua berjalan menuju sisi utara pantai seraya menenteng lampu kuno berbahan minyak. Hendak ke manakah dia? 

Menit demi menit kami masih berjalan dalam keheningan. Aku tak peduli dia menyadari keberadaanku atau tidak. Tanpa sadar aku sudah berada di sisi lain pesisir yang belum pernah ku datangi. Cahaya terang dari laut membuatku berhenti seketika. Mulutku menganga tak percaya melihat pesisir pantai yang memancarkan cahaya biru. Air mataku mengalir tanpa kuminta. Tubuhku bergetar takjub. Aku sudah berkeliling ke 48 pantai dan laut, tetapi tak pernah bisa menjumpai fenomena langka ini. Laut tersebut bercahaya karena adanya mikroorganisme yang dapat memancarkan cahaya, sayangnya makhluk kecil itu sudah sangat jarang ditemui. 

Aku berjalan mendekati pinggiran pantai meninggalkan tujuan utama mengikuti sang ketua. Kuambil air pantai tersebut dan meraba benda cair bercahaya tersebut. Ini benar-benar nyata bahkan cahaya itu menempel sebentar di tanganku. 

“Bagaimana? Bukankah ini semua sangat mengagumkan?” Aku terperanjat kaget, sang Ketua sudah berdiri tepat di sampingku. 

“Aku sudah melaut sampai ke ujung dunia tapi tak pernah menjumpai hal indah seperti ini, memang air di laut sana sudah tercemari hasil modernisasi yang diciptakan manusia,” kata sang Ketua. Aku terdiam, lidahku kelu tak bisa menjawab beliau. 

“Mereka bilang ini yang terbaik untuk umat manusia tapi pada kenyataannya ini yang terburuk untuk kami. Manusia-manusia di luar sana merekayasa alam supaya tetap lestari, menambah bahan kimia supaya air laut tetap jernih, membuang makhluk-makhluk kecil ke dalam air untuk menyeimbangkan ekosistem. Namun, apakah mereka memikirkan apa yang terjadi pada penghuni asli bahwa air itu? Mungkin kelihatannya tak ada efek berkat kecanggihan teknologi saat ini. Tetapi kami, suku Laut, sangat  merasakan dampaknya.”

Napasku tercekat. Semua yang dikatakan beliau benar. Aku pun mengakui apa yang sebenarnya ku lakukan. Kelihatannya saja laut ini bertambah baik setelah krisis lingkungan dua puluh tahun yang lalu, nyatanya? Bahkan aku sudah meragukan apakah ini laut buatan atau murni dari alam.

“Kami berusaha untuk menjaga cahaya biru ini. Karena itu kami tidak akan diam jika peneliatanmu mengganggu kami,” kata beliau penuh dengan ketegasan.

***

Sudah terhitung dua bulan semenjak kedatanganku ke tempat di mana suku Laut berada, wilayah perairan Kepulauan Riau. Masa tugasku untuk mengamati mereka tersisa satu bulan lagi. Aku berjalan seorang diri ke pesisir pantai bagian utara mencari cahaya biru. Entah kenapa malam ini terasa lebih dingin dari biasanya. Deburan ombak menggulung dengan ganas sebelum menghantam bebatuan. 

Sebentar, apakah aku salah arah? Sudah lima belas menit aku berjalan, tak kunjung kutemukan cahaya biru. Cahaya itu lenyap tanpa jejak. Keringat dingin bercampur angin malam menusuk tulangku. Kucelupkan tanganku ke dalam air, nihil. Mereka benar-benar menghilang. Segera kuambil sedikit air tersebut menggunakan plastik kecil untuk diteliti. Tiba-tiba petir menyambar seolah-olah membelah langit menjadi dua. Suara gemuruh ombak mulai ganas disusul angin ribut yang menusuk kulit. Aku berlari menjauhi pesisir dengan perasaan gelisah yang berkecamuk. 

Terhitung dua hari aku tak melihat cahaya biru itu. Kemarin aku mendapatkan kabar mengejutkan bahwa Perusahaan GreenTech meresmikan peluncuran rumah apung futuristik berbentuk ikan pari dan bisa berlayar layaknya kapal pesiar bernama Batoidea Island. Aku tak percaya mereka benar-benar meluncurkan produk itu tepat pada waktu yang direncanakan. Produk itu masih memiliki kekurangan dalam sistem pengelolaan sampah dan bahan bakar! Tentu saja aku mengetahuinya karena aku adalah satu dari penguji Batoidea Island. 

Sekarang aku tahu sumber penyebab hilangnya mikroorganisme bercahaya itu. Batoidea Island secara tak langsung mengubah kondisi perairan Indonesia. Apalagi benda itu diluncurkan di dekat perairan Kepulauan Riau. Suhu di sekitar pun mulai meningkat dan tercemar karena kebocoran limbah Batoidea Island. Perubahan kondisi perairan membuat cahaya biru itu lenyap secara tiba-tiba karena tak dapat bertahan. Hilangnya cahaya itu membuat suku Laut gusar dan menuduhku atas peristiwa ini. 

Dering handphone-ku berbunyi, layar hologram muncul di hadapanku memperlihatkan wajah Profesor Wijaya. “Rio, saat ini Batoidea Island sedang menuju wilayah suku Laut. Kami berusaha menghentikan mereka sekarang juga. Tugasmu adalah menenangkan suku Laut,” kata beliau.

“Dari sekian banyaknya laut dan pantai indah di dunia kenapa GreenTech memilih tempat terpencil ini?”

“Mereka sudah mendengar tentang cahaya biru itu,” kata Profesor.

“Cahaya itu lenyap semenjak Batoidea Island beroperasi.” Kulihat raut terkejut di wajah Profesor disusul hela napas kecewa. 

“Dan kenapa pula Batoidea Island beroperasi sesuai jadwal tanpa ada perbaikan sama sekali?” protesku.

“Negara tetangga memiliki ide yang sama dengan GreenTech karena itu GreenTech mengeluarkan Batoidea Island sekarang.” Aku diam, jelas sudah penyebab masalah ini. 

***

Aku berlari menenangkan kerumunan warga. Nampaknya berita tentang Batoidea Island sudah menyebar. Suku Laut terang-terangan mengancamku termasuk Bu Trinata. 

“Kau! Kalau kau tak datang ke sini pasti perairan kami baik-baik saja!”

“Kami tak butuh teknologimu! Kami hanya butuh alam ini,”

“Cahaya itu lenyap! Cahaya yang kami jaga selama puluhan tahun itu sudah lenyap karena benda asing milikmu,”

Panik, takut, dan gelisah. Aku tak bisa membela diri. Bagaimanapun, secara tak langsung akulah yang menyebabkan cahaya itu menghilang. Jika saja aku tak mengatakannya di forum pertemuan daring kemarin, pasti perairan ini tetap aman dan aku masih bisa lebih lama menikmatinya.

“KAU PERGI DARI SINI, RIO!” teriak sang Ketua. Tangannya mengepal menampakkan urat-urat. Sorot matanya tajam dan mengintimidasi. Aku tak bisa berkutik, tak ada celah untuk kabur. 

‘Tenangkan suku Laut dan bertanggung jawablah atas tindakanmu itu adalah tugas terakhirmu di sana.’ Bagaikan kaset rusak, pesan terakhir dari Profesor terus bergema di pikiranku di tengah hiruk pikuk keributan. 

“Benar. Sayalah yang menyebabkan benda itu kemari, sayalah yang menyebabkan hilangnya cahaya kalian karena keteledoran.” Suara keributan menghilang seketika setelah aku membuka mulutku.

“Karena itu saya di sini akan bertanggung jawab atas kesalahan saya pada kalian dan juga pada perairan ini, beri saya waktu untuk menghentikan benda itu kemari dan menyelamatkan perairan yang bisa diselamatkan. Saya mohon maaf, maafkan saya yang membuat kita dalam bahaya,” kataku menyesal. 

“Pegang ucapanmu dengan benar!” kata sang Ketua seraya meninggalkan kerumunan. Beberapa warga yang melihat perginya ketua pun turut memisahkan diri.

Aku menghela napas berat, kini saatnya aku kembali beraksi untuk mengembalikan keadaan semula wilayah perairan Kepulauan Riau dan juga cahaya biru itu.

***

Lima tahun berlalu secara singkat. Kasus wilayah perairan suku Laut dan Batoidea Island sudah terselesaikan. Izin pengoperasian Batoidea Island dihentikan dan sedang dalam masa percobaan. Berkat kerja keras kami, para ilmuwan pelindung laut, kondisi perairan Kepulauan Riau perlahan-lahan kembali seperti semula. Namun, kekosongan masih menimpa suku Laut. 

Aku masih berada di tengah-tengah suku Laut untuk meneliti keadaan perairan. Mereka sudah kembali ramah padaku hanya beberapa yang masih menghardik. Masalah lingkungan lima tahun yang lalu masih menjadi trauma bagi mereka. Ditambah dengan “harta” mereka yang lenyap. 

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku berjalan-jalan di pesisir pantai utara untuk menghirup udara segar seraya berharap dan menanti cahaya biru itu. Mungkin saja tiba-tiba makhluk-makhluk kecil itu datang dan mengembalikan “harta” suku Laut sekaligus pesona tersembunyi Indonesia. Aku tak sendiri, di sampingku ada sang Ketua yang juga menanti. Beliau masih terlihat berwibawa meskipun sudah memasuki kepala tujuh. Raut kegusaran tak pernah pudar dari wajahnya. Ketegasan yang biasa ada di sorot mata itu kini mulai redup berganti dengan sorot kecemasan. Aku bisa merasakan adanya kesedihan dan gejolak amarah yang masih tersimpan. Sudah dua puluh menit berlalu, baik aku maupun beliau masih bungkam seraya memandangi deburan ombak.

“Hanya di tempat inilah kekayaan terakhir yang sesungguhnya berada,” bisik sang Ketua.

 

 




 

Ikuti tulisan menarik Yustisia Putri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler