x

Iklan

Salma amara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 November 2021

Rabu, 8 Desember 2021 18:53 WIB

Tidak Bersalah

Siapa yang bersalah dan siapa yang merasa bersalah? orang-orang hanya diam dan menutup mata akan semua kejadian yang berlangsung, dan itu pun merupakan salah satu kesalahan. Tidak kah seharusnya mereka menjulurkan tangannya, jika begitu maka semuanya mungkin akan berubah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gigi-giginya bergemeletuk, gadis itu tengah menggigit ujung kuku-kukunya sendiri. Tatapannya begitu kosong menatap kegelapan di dalam ruangan kecilnya. Hari demi hari berlalu tanpa disadari bahwa ia telah meninggalkan semuanya. Masa depannya, mimipnya, dan kebahagiaannya, telah sirna begitu saja.

Apa ini semua salahnya?

Pertanyaan demi pertanyaan muncul terus-menerus dalam benaknya yang tidak sekalipun membiarkan dirinya untuk beristirahat, walau hanya beberapa menit. Ia hidup tapi bisa dibilang ia juga tidak hidup. Ia seperti telah ditarik oleh sesuatu hingga ke paling dasar dengan kegelapan dan ketakutan yang terus menyelimutinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perasaan gelisah, cemas, resah dan keputusasaan telah bersatu di dalam dirinya. Sampai dimana ia seringkali bergantung dengan obat-obatan untuk menopang hidupnya. Lingkar mata yang menghitam, tubuhnya yang kian mengurus karena pola makan yang tidak teratur, otot-otot tubuhnya yang tidak bertenaga dan ia hanya menatap langit-langit kamar setiap harinya.

Apakah ia tidak normal?

Mungkin beberapa orang berpikir demikian jika melihat tingkah laku gadis itu yang selalu cemas dan memiliki ketakutan hebat. Gadis itu lebih memilih diam di dalam ruangan kecilnya dengan lampu gelap dan kenyusian, sendirian. Ia sangat takut untuk pergi keluar rumah, walau hanya menginjakkan kakinya di depan pintu utama. Gadis itu tidak berani.

Sudah beberapa kali orang tua gadis itu memberi nasehat, memberi ucapan penyemangat. Tapi semuanya tidak semudah seperti yang diucapkan, karena seseorang yang mengidap trauma sangat sulit untuk bisa sembuh dari rasa takutnya.

Semuanya berbeda sejak setahun lalu. Semuanya masih baik-baik saja dan gadis itu yang bernama Audy, masih menjalani harinya dengan normal. Ia masih bersekolah, ia masih bermain bersama teman-temannya dan ia masih bisa tertawa untuk kebahagiaannya. Hingga dimana sebuah kejadian menimpa dirinya saat ia baru saja memasuki sekolah baru.

Audy yang selalu tersenyum, kini ia selalu menangis setiap harinya. Duduk sendirian di pojok kelas, tanpa ada yang peduli padanya atau bisa disebut sebagai bystander yang bertindak acuh atas tindakan bullying yang menimpa Audy di kelas itu.  mereka hanya diam dan menonton semua kejadian yang menimpa Audy walau gadis itu sudah terluka secara mental juga fisiknya.

Kata ‘tolong’ saja tidak berguna dan Audy sadar bahwa tidak ada yang peduli padanya. Kehidupan bahagia beberapa bulan lalu terasa seperti mimpi, hanya karena kejadian yang tidak pernah Audy pikirkan.

Apa ini semua salahnya?

Audy hanya bisa berpasarah saat seorang perempuan menarik rambutnya, berteriak di depan wajahnya. Berkali-kali pipinya di tampar dan ia diperlakukan secara tidak adil dan tidak manusiawi. Siswa dan Guru, tidak ada yang ingin menatap matanya, tidak ada rasa simpati dan empati dari wajah-wajah mereka semua. Audy yang ketakutan hanya bisa mengunci mulutnya. Sebuah harapan yang Audy inginkan pun, ia rasa tidak akan pernah mendapatkan hal itu.

Kenapa tidak bilang ke orang tua saja?

Apakah semudah itu? Audy sudah berkali-kali meminta kepada kedua orang tuanya untuk pindah sekolah, tetapi mengurus itu semua tidaklah mudah. Biaya terkadang menjadi halangannya. Audy pun lantas memilih untuk membolos sekolah. Sehari, dua hari dan seterusnya sampai dimana ia pun di panggil menghadap wali kelas karena perilaku buruknya.

“Aku memang tidak berguna!” teriak Audy mengingat kembali kenangan-kenangan buruknya semasa di sekolahnya dulu. Ia menenggelamkan wajahnya diantara kedua kakinya yang ditekuk. Audy kembali menangis dengan perasaan yang tidak dapat ia ketahui. Ia kesal tapi di satu sisi ia merasa lemah dan tidak berguna.

Lalu apa yang harus ia lakukan? Sebenarnya siapa yang salah? kenapa harus dirinya yang menderita?

Bahu Audy bergetar begitu hebat. Sudah setahun sejak kejadian itu tapi mengapa ia masih belum bisa melupakannya. Kenapa masih saja terbayang jelas di dalam pikirannya, seakan potongan kenangan itu terus menghantui dirinya. Ia takut akan pandangan orang-orang yang selalu menganggapnya penyebab masalah, ia takut untuk mempercayai orang lain, ia takut bertemu orang-orang yang telah menindasnya dulu. Jika Audy harus menerima penderitaan seperti ini, lalu apa yang di terima oleh pembully? Apakah ia menderita juga, sama sepertinya?

***

“Heh, Audy! Apa yang kamu lakukan? Cepat kemari!” teriak Lala, salah satu teman sekelas Audy. Di samping Lala, sudah berdiri ketiga temannya yang lain yang sedang menatap Audy dengan tatapan sinis.

Audy pun berjalan dengan perasaan ragu, ia menghampiri Lala yang sedang tersenyum lebar. Lalu gadis itu merangkul bahu Audy membuat Audy sedikit tersentak. Audy sedikit menundukkan kepalanya, enggan beradu pandangan dengan Lala, ia terlalu takut dan tidak ingin mencari masalah yang lebih besar pada gadis itu.

“Aku dengar kamu mengadu ke guru, benar?” tanya Lala begitu pelan tetapi Audy tahu bahwa kini Lala sedang merasa kesal padanya.

“Kamu berani sekali, memang salah kita apa?” sahut seorang gadis satunya yang berambut pendek. Ia tersenyum miring dengan permen lolipop di mulutnya, lalu sebelah tangannya memegang dagu Audy untuk membuat mereka berdua saling beradu tatapan.

Audy refleks menepis tangan Sela membuat Lala dan teman-temannya terkejut atas tindakannya berani Audy dan karena hal itu pun Audy kini harus menanggung kesalahan atas sikapnya.

“Kamu menyakiti tangan teman aku, terus apa yang mau kamu lakuin sekarang?” tanya Lala kembali dengan sedikt intimidasi, sedangkan Sela sudah meringis sambil mengelus punggung tangannya sendiri.

Audy mengepalkan tangannya, bukankah ia hanya menepis dengan pelan tapi kenapa ia yang bersalah disini?

“Kamu mau bayar biaya pengobatan tangannya, kan Audy? Atau aku perlu laporin ini ke guru kalo kamu udah bertindak kasar sama teman aku,” ucap Lala, sontak ketiga temannya yang lain termasuk Sela membuka suara dan menyalahkan tindakan Audy yang bersikap kasar.

Semua mata teman sekelasnya yang lain pun kini menatap Audy dengan tajam, seakan memang benar Audy lah yang bersalah tanpa bertanya ada permasalahan apa sebenarnya diantara mereka. Bagaimana pun dan apapun yang dilakukan Audy sejak awal memang selalu dianggap salah.

“Maaf...” lirih Audy pelan.

“Kamu bilang apa? Aku tidak mendengarnya, ya kan?” Sela menatap ketiga temannya yang lain secara bergantian, meminta dukungan.

“Maaf...” ucap Audy kembali. Membuat Lala tersenyum miring lalu ia menarik tangan Audy untuk pergi dari kelas.

“Kamu harus melakukan sesuatu untukku Audy. Kata maaf tidak akan merubah apapun.”   

***                                                                                                                                           

Benar, kata ‘maaf’ pun tidak akan pernah merubah apapun yang telah terjadi hingga membuat Audy seperti saat ini. Audy merasa ini semua tidak adil. Apapun yang ia lakukan terasa tidak ada artinya. Orang-orang hanya ingin bersikap aman, mereka tahu itu tindakan yang salah. Tapi mengapa mereka tidak mengulurkan tangannya pada dirinya? Audy benci pembully tapi iapun benci dengan teman-temannya yang lain serta gurunya yang menutup mata.

Audy lalu mengambil obat miliknya, saat dadanya terasa sakit dan tiba-tiba kepalanya terasa sangat pusing. Mugkin tubuhnya sudah terlalu lemah untuk menanggung tekanan yang selalu Audy rasakan sejak setahun lalu. Ia pun lalu memilih membaringkan dirinya di atas kasur dan kembali menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Gadis itu tidaklah mati tapi ia merasa kehidupannya mulai berada di ujung jalan.

Ia merasa hidup pun percuma, ia merasa sudah menyerah atas pikirannya sendiri. pengobatan yang ia jalani pun percuma saja karena tidak berpengaruh sama sekali padanya dan hanya membuang-buang uang saja. Kini Audy tidak tahu harus bagaimana, apa langkah terbaik yang harus ia lakukan atas trauma yang telah menimpanya. Kekerasan secara verbal dan non-verbal, cemo’ohan, sampai terkadang pelecehan. Bagaimanapun pembullyan bukanlah tindakan yang baik dan Audy kini tidak memiliki apapun untuk ia perjuangkan. Karena semuanya telah sirna. kebahagiaannya telah tiada.

Ikuti tulisan menarik Salma amara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler