x

ilustr: Editorial Verbum

Iklan

Nini Avieni

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 18:56 WIB

Cerita-cerita Eneng Sukesih

Cerita tentang seorang pendongeng yang suka memanipulasi orang untuk kepentingannya sendiri

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Neng Sih membuat tensiku naik.”

“Ada apa?”

“Hari ini dia tak masuk kerja lagi. Kakinya sobek kena pecahan mangkuk. Anaknya yang batita tak suka disuapi dan melempar mangkuk itu. Aku ingat terakhir kali dia absen dengan alasan sakit gigi. Mungkin giginya sudah habis dicabut sehingga tak bisa dipakai lagi untuk alasan mangkir kerja.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku menyeringai dan melirik ke meja seterika di depanku. Meja Neng Sih. Sejak pagi tak ada penghuninya. Bahkan sejak kemarin. Gina, mandorku ini, sibuk menelepon. Minta tambahan tenaga kerja. Tak lama seorang perempuan muda dengan kepala terbungkus harnet datang. Berbicara sebentar dengan Gina, mengangguk sedikit saat melewati mejaku, lalu langsung sibuk mempersiapkan seterika. Tak lama kemudian uap panas mulai mengepul dan setumpuk kemeja telah terlipat rapi di ujung meja.

“Seandainya Neng Sih bisa bekerja segesit itu. Kecepatannya bekerja bagai kura-kura.”

“Dia cerdas, Na. Kau dikadali saja olehnya.”

Gina adalah tetanggaku sekampung. Kami mulai bekerja di pabrik tekstil ini pada waktu yang bersamaan, tetapi dia naik pangkat lebih dahulu. Mungkin karena Gina lebih bisa mempengaruhi orang. Tapi saat ini kemampuannya benar-benar diuji. Eneng Sukesih, salah satu anak buahnya, suka membangkang. Tetapi dilakukan dengan sikap polos, seakan tak bersalah.

“Tahu tidak, dia sudah berusaha membohongiku.”

Aku bersikap mendengarkan, walau dengan tangan yang tetap sibuk menyeterika. Jatah seribu baju harus terlipat dengan baik setiap harinya membuatku tak bisa berleha-leha.

“Kau tahu sendiri masa pandemi begini, tak bisa sembarangan ke luar kota. Semula dia minta izin cuti untuk menjaga anaknya karena ibunya pulang kampung. Lalu beberapa saat kemudian berubah alasan menemani suaminya dinas. Aku bilang kalau seperti itu harus izin yang punya pabrik. Tapi kusarankan untuk tidak pergi ke luar kota. Anaknya banyak, apakah dia mau menanggung risiko tertular di jalan?”

Anak Neng Sih tiga balita. Aku tak dapat membayangkan menyuruh ketiga anak yang sedang lincah-lincahnya untuk tertib memakai masker atau menjaga jarak saat sedang di toilet umum.

“Lalu dia berubah rencana lagi. Mau mengambil ijazah SMA di kampung. Untuk persyaratan kuliah jadi sarjana, katanya. Ini agak aneh. Bukannya dulu dia masuk kerja di pabrik harus menunjukkan ijazahnya? Tentunya ijazah itu ada di sini. Di kontrakannya. Tapi kukatakan padanya bahwa tidak ada perguruan tinggi di kota ini. Jadi apakah dia mau mengundurkan diri untuk kuliah? Kalau begitu, kenapa tidak sekalian sekarang saja?”

Pertanyaan yang terlalu menekan, menurutku.

“Akhirnya dia tak jadi menemui empunya pabrik. Kuyakini dia ingin mengantar ibunya pulang kampung sekeluarga. Tapi kenapa harus mengarang cerita sampai mengambil ijazah SMA segala?”

“Mungkin dia takut tak kau izinkan. Apalagi peraturan keluar kota ketat sekali.”

Gina mengangkat bahu.

“Aku bersikap begini untuk kebaikan bersama. Tapi nampaknya dia tak puas. Kabarnya, suaminya mengamuk habis-habisan dan membawa satu anaknya pergi.”

“Mereka akan baik-baik saja. Lebih baik kau pikirkan cara untuk menghadapi kelakuannya setelah ini.”

“Aku sudah hampir menyerah. Semua pekerjaannya kuambil alih. Responnya lambat sekali saat kuajari. Lihat saat menyeterika. Target seribu kemeja, cuma dikerjakannya 200 lembar. Itu pun selalu dalam kondisi tak rapi. Aku yang terus menjadi sasaran kemarahan boss karena tak mencapai target.”

“Kembalikan saja kepada HRD. Minta orang yang lebih cekatan.”

“Tak semudah itu. Kita sedang efisiensi. Perusahaan lagi sulit karena pandemi. Bahkan yang ada saja hendak dikurangi.”

Perkataannya bisa kupahami. Tak banyak lagi pesanan dari luar negeri untuk pabrik kami yang berorientasi ekspor. Bahkan kata Gina, pesanan yang sudah ada banyak yang dibatalkan. Aku pun harus berjaga-jaga bila nanti ada pengurangan pegawai. Suamiku sebagai ojol pendapatannya sudah jauh berkurang. Anakku masih butuh susu. Sebuah kondisi yang mengkhawatirkan.

“Semua orang dalam kondisi susah, Na. Mungkin Neng Sih juga dalam kondisi kesulitan rumah tangganya. Sehingga berbuat demikian.”

“Seharusnya dalam kondisi seperti ini, dia lebih rajin bekerja. Supaya tak dipecat.”

Tetapi kenyataan berbicara lain. Pengurangan pekerja itu terjadi juga. Demikian cepat. Dan termasuk aku di dalamnya. Gina tertunduk lesu.

“Maaf. Aku tak bisa menolak perintah boss.”

“Kenapa bukan Neng Sih, Na? Kau sendiri yang bilang dia bekerja sangat lambat.”

“Saat ini tak perlu pekerja dengan kecepatan tinggi. Neng Sih lebih murah biayanya karena dia lebih junior dibandingkan kau. Sedangkan ketidakrapiannya sangat mudah termaafkan karena pelanggan lokal kita tak perlu standar produk yang tinggi.”

Aku mengikuti gaya Gina dengan tak sadar. Tertunduk lesu. Rupanya kualifikasi tinggi tak selalu memenangkan kompetisi. Ada kalanya yang diperlukan adalah standar yang lebih rendah. Semua atas nama efisiensi biaya.

“Bila kau tak berkeberatan dan memerlukan bantuan. Ada seorang psikolog di ruang HRD. Kau bisa bercerita kegundahanmu.”

“Aku tak perlu psikolog. Aku perlu uang. Anakku butuh susu.”

Gina diam. Hanya menggandengku menuju ruang HRD. Aku melihat beberapa karyawan ada di sana. Sebuah pintu dengan papan bertuliskan ‘Praktek Psikolog’ terpampang di depannya. Aku dan Gina duduk di sudut ruangan. Tak lama kemudian pintu terkuak. Tak disangka Neng Sih keluar dari balik pintu.

“Mengapa dia ada di sana? Bukankah Neng Sih tak dipecat?”

Bisikan yang nyaring sehingga seisi ruangan dapat mendengarnya. Aku tak perduli. Mengapa harus aku yang pergi sementara yang jauh lebih buruk daripadaku tetap dipertahankan. Gina menepuk pahaku.

“Konsultasi itu untuk seluruh karyawan. Mengenai Neng Sih, dia melaporkanku ke HRD. Katanya, aku menyuruhnya bekerja terus sampai dia kelelahan. Baik fisik maupun mental. Makanya HRD menyuruhnya konsultasi ke psikolog. Untuk menyelidiki kasus ini.”

Wajah Neng Sih tak seganas psikopat seperti bayanganku. Bahkan cenderung manis dan tak berdaya. Saat keluar tadi dia melirikku dan Gina. Aku ingat, pernah dia menanyaiku sesuatu dengan tergesa, tetapi karena aku banyak pekerjaan kujawab dengan kasar dan amarah. Dia minta maaf dengan sangat sopan. Tapi esoknya Gina mengomeliku karena tak mau berbagi pengetahuan dengan Neng Sih.

“Jangan terperdaya sikap manisnya. Dia siap mengganggumu kapanpun dia mau.”

Seorang suster melambaikan tangan ke arah Gina. Gina mengangguk dan mengikuti suster itu masuk ke balik pintu. Selang sepuluh menit kemudian, dia keluar dan pergi. Suara berdenting di teleponku terdengar. Ada pesan whatsapp masuk. Dari Gina.

Kau bisa keluar sebentar?

Aku mendongakkan kepala sejenak. Menghitung jumlah antrean yang ada. Sepertinya aku tak akan segera dipanggil.

“Ada apa, Na?”

“Sebenarnya ini rahasia. Aku tahu tak boleh memberitahukan kepada siapapun. Tapi aku perlu teman bicara.”

Gina nampak gelisah. Ujung bajunya diremas-remas.

“Neng Sih tak punya keluarga di sini. Dia berhalusinasi.”

Aku tak tahu berkata apa.

“Semua tentang keluarga yang dilaporkannya ke HRD itu bohong belaka. Dia membuat kartu keluarga palsu, e-KTP palsu. Tak ada suami, tak ada anak. Semua agar dia mendapat tunjangan keluarga. Cuti melahirkan. Fasilitas kesehatan untuk keluarga. Hanya satu yang benar. Ibunya ada di sini. Tapi ibunya tentu tak mendapat tunjangan keluarga.”

Diperlukan keahlian khusus untuk menggali informasi seperti itu. Bahkan sampai HRD sebuah perusahaan dapat tertipu sekian lama.

“Sebagai atasan, aku juga bersalah. Tak mengetahui kondisi anak buahku. Bahkan percaya saja terhadap semua ceritanya. Perusahaan pun menganggap aku ikut dalam rencananya menyalahgunakan aset perusahaan.”

Kami berdua terdiam. Tatapan Gina nampak kosong.

“Setelah semua masalah pemberhentian pegawai ini selesai, mungkin aku juga harus mundur. Tapi sebelumnya kurasa aku harus konsultasi ke psikolog. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok.”

Bayangan Gina duduk di depan psikolog cukup membuatku gentar. Dia seorang pemimpin yang sangat baik, tetapi gagal menangani salah satu anak buahnya, dan kesalahan itu fatal. Kepercayaan dirinya jatuh. Sama dengan diriku. Walau aku merasa baik-baik saja dan yang kubutuhkan adalah uang yang dapat menutup biaya hidup keluargaku, tapi aku juga tak tahu pasti kondisi mentalku. Bahkan Neng Sih pun, dengan kelihaiannya mengarang cerita-cerita, pun tak tahu kondisi mentalnya yang sebenarnya. Seperti kata Gina, tak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok. Mungkin aku pun akan menjadi pendongeng seperti Neng Sih, atau bahkan menjadi tokoh utama dalam cerita-cerita Eneng Sukesih.

 

-Selesai-

Ikuti tulisan menarik Nini Avieni lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

18 menit lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB