x

Iklan

Mosthamir Thalib

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 4 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 19:44 WIB

Coryna Anarko

Seorang mertua, wanita tua, sangat terkejut. Menantunya, seorang narapidana kasus Narkoba, alih-alih berada di dalam bilik anak perempuannya, dan itu rupanya sudah berlangsung beberapa hari. Emak Facak, sang mertua, amat takut. Bukan saja takut dituduh menyembunyikan penjahat dan penularan Covid-19 kepada dirinya, anaknya dan cucunya. Tetapi juga amat takut karena isu yang berkembang, menantunya itu juga akan melakukan kejahatan besar dengan menggerakkan seluruh penjahat, mengacaukan seluruh negeri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

CORYNA ANARKO

Cerpen Mosthamir Thalib

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

EMAK Facak terkejut. Anarko. Menantunya yang sudah diputuskan hakim akan bertahun-tahun dikurung di penjara alih-alih sudah berada - meringkuk - di dalam kamar anaknya. Coryna.

Ini kejutan luar biasa di tengah musim Covid-19. Awal-awal puasa Ramadan pula.

Awalnya Emak Facak tak tahu.

Sejak dua malam ini dari kamar anaknya yang tidur bersama cucunya yang berumur empat bulan itu, terdengar suara berisik. Pertama Emak Facak mengira itu musang dan dia pun tidak begitu peduli. Pada musim motoa berbuah dan sudah masak di pohon, memang sering musang datang dan berisik. Tetapi sekarang motoa baru saja berputik.

“Kalau itu suara musang kenapa terdengar dari bilik Coryna pula. Tidak di atas pohon, atau di atas atap?” Dia bertanya di dalam hati. “Apa Coryna mengigau menggigit-gigit ranjang?”

Jelang sahur Emak Facak mengetuk-ngetuk pintu kamar anaknya ketika suara berisik itu makin bising. “Cory. Cory. Engkau mengigau, Cory?”

Dari biliknya Coryna terdengar melenguh. “Tidak, emak.”

“Itu suara apa tadi? Engkau tidak apa-apa?”

“Ya, emak. Tidak apa-apa. Saya cuma mimpi.”

Sampai terbit matahari Emak Facak tetap penasaran soal suara berisik dari dalam bilik anaknya. Dia  sempat berpikir buruk tentang anak perempuan satu-satunya ini. “Apa Coryna memasukkan lelaki lain ke dalam kamarnya?”

Pagi itu, ketika Coryna pergi ke kamar mandi di belakang, Emak Facak menguak daun pintu kamar anaknya yang tertutup rapat. Pelan-pelan dia dorong, lalu dia jengukkan kepalanya ke dalam.

Ketika pintu kamar mulai terkuak, pertama yang terlihat oleh Emak Facak, cucunya yang masih tertidur pulas di atas ranjang. Tetapi sesaat kemudian dia terkejut setengah mati, melihat memang ada seorang lelaki di dalam kamar anaknya. Orang itu tidur bergelung di lantai di tepi ranjang.  

Emak Facak spontan menjerit. Badannya menggigil, ketakutan.

Lelaki yang tertidur di lantai langsung terbangun. Gelagapan. Dari dalam bilik cucu Emak Facak terdengar pula menangis, terkejut dari tidurnya.

Coryna secepatnya keluar dari kamar mandi. Tunggang-langgang. Berlari terbirit-birit sambil mengemban handuk yang terlepas-lepas di tubuhnya. Menuju ke tempat suara emaknya berteriak.

“Ada orang! Ada orang! Siapa itu lelaki di kamar engkau, Cory?! Siapa?!” teriak Emak Facak. Badannya terguncang-guncang.

 “Emak, tenang, emak. Tenang, emak. Nanti gaduh didengar orang.”

“Ya, ya! Siapa itu? Siapa lelaki itu?” Suara Emak Facak masih kencang.

“Mak, mak. Itu menantu emak, mak. Itu Narko, emak. Anarko.”

Emak Facak tercengang. “Hha?”

“Saya Anarko, emak.” Lelaki itu keluar dari kamar Yoanah. Wajah aslinya tampak. Bengisnya tak hilang. Dia keluar menggendong anaknya.

“Kenapa? Kenapa? Engkau lepas?”

Emak Facak terus menggigil. Lemas. Lalu pingsan.

***

WANITA tua ini memang sangat benci pada Anarko. Sekaligus juga sangat takut. Menantunya ini memang mereman saja perbuatannya. Malas kerja. Kompas sana kompas sini. Lalu jadi pengedar Narkoba. Inilah yang mengantarkannya masuk penjara.

Soal yang membuat Emak Facak tambah geram, Yoanah, anaknya yang masih kuliah itu sempat pula dibuahi Anarko, lalu dinikahinya. Itulah yang membuat lahir Anas, cucu Emak Facak satu-satunya. “Bibit Narkoba,” kata hati Emak Facak setiap kali melayani cucunya ini.

Ketakutan Emak Facak pun semakin menjadi-jadi sejak riuhnya pemberitaan di televisi. Banyak penjahat yang dilepaskan ke alam bebas di tengah mewabahnya corona melakukan kejahatan kembali. Yang perampok, merampok kembali. Yang begal, membegal kembali. Yang biasa dengan Narkoba, ber-Narkoba ria lagi.

“Apakah koruptor tidak akan korupsi lagi kalau macam ini contoh-contoh yang terjadi?” Emak Facak menggerutu sambil nonton televisi.

Coryna yang tengah bermain dengan anaknya saat itu senyum-senyum saja mendengar komentar emaknya. “Yongyak..! Papa datang.. Yongyak..! Papa datang.. Chkilik-kilik..! Chkilik-kilik..!”

Satu soal lagi membuat Emak Facak takut mati ketakutan. Tiga hari lalu seorang penjahat yang baru lepas dari penjara ditangkap warga di sebuah sebuah rumah yang jaraknya beberapa kilo kilometer saja dari rumah Emak Facak.

Penjahat itu beraksi dengan mengenakan mukena. Orang-orang pun tidak curiga. Tetapi celaka baginya, saat tertangkap langsung tersingkap. Di balik mukenanya ada kumis yang tajam. Rupanya dia lelaki tulen. Yang membuat Emak Facak sangat terkejut, mukena yang dipakai perampok itu. Itu mukena miliknya sendiri. Milik Emak Facak. Emak Facak mengetahui ini saat menonton televisi, yang menayangkan wajah perampok itu bonyok diamuk massa.

Emak Facak tersentak. Dadanya bergemuruh. “Macam mana perampok itu mendapatkan mukenanya? Apa dia sudah menyasar rumah ini?” Emak Facak baru sadar mukenanya lenyap ketika akan sholat Zuhur. Barang yang dicari-carinya tidak berada di tempat biasa. Penat dicari-carinya tetap juga tidak jumpa.

Mengingat rumahnya seperti sudah disasar perampok badan Emak Facak panas dingin. “Kalau macam ini nyawa aku pun bisa terancam,” pikirnya, terbayang peristiwa yang dialami seorang wanita hamil, yang tewas seketika, terjatuh dari sepeda motor, saat dijambret dua penjahat kambuhan berlabel asimilasi musim corona itu.

***

EMAK Facak siuman. Coryna duduk di sampingnya, mengusap-usap muka emaknya.

“Emak sudah sadar?”

Emak Facak tak menyahut. Matanya tajam. Memelototi langit-langit rumahnya. “Mana laki engkau tadi?”

“Tenanglah, Emak. Tidak ada yang perlu emak risaukan.”

Emak Facak tidak bisa tenang. Dia menatap tajam ke mata anaknya. “Sejak kapan penjahat itu engkau simpan di kamarmu, hahh?”

Sesak napas Coryna melihat sikap emaknya. “Emak, tenanglah. Nanti emak bisa sakit. Kalau sakit semakin rentan diserang corona.”

Emak Facak menggeram lagi. “Jangan mengajari emak. Virus yang sebenarnya dalam keluarga ini sudah engkau undang masuk ke dalam rumah! Engkau simpan dalam bilikmu!”

***

EMAK Facak memaksa duduk, menegakkan badannya.

“Ini air hangat. Minum, emak. Supaya emak segar.”

Gelas yang disodor Coryna ditepis Emak Facak. “Emak puasa.”

Emak Facak terus menggeram. Geramnya ini memuncak seketika dia terpandang lagi wajah Anarko, yang masih juga berada di depan kamar, di celah pintu.

“Hei! Engkau masih ada di sini?” Emak Facak berteriak lagi.

“Emak. Jangan keras-keraskan suara emak. Nanti tetangga bisa berdatangan.” Suara Coryna memelas.

“Biar saja.”

Emak Facak lalu mengintrograsi menantunya kembali. “Mengapa engkau ada di sini, hahh?”

“Saya disuruh keluar dari penjara, emak,” jawab Anarko.

“Tapi kenapa engkau menuju ke rumah ini? Kenapa tidak pulang ke rumah orang tuamu?”

“Saya ingin lihat anak saya, emak.”

“Hmhh! Bagusnya engkau itu di penjara saja. Tidak menyusahkan orang-orang di luar. Tidakkah engkau lihat sekarang ini? Semua orang sangat susah hidupnya.”

“Saya sebetulnya juga tidak mau keluar, emak. Saya tahu cari kerja susah sekarang.”

“Tapi kenapa kamu keluar juga?”

“Saya ditendang keluar. Tidak dapat mengelak lagi.”

Emak Facak tetiba meraung. “Emak takut sekali. Takut virus corona. Takut mati kelaparan. Takut disembelih perampok yang banyak dikeluarkan dari penjara. Ehh, tahu-tahu engkau sudah ada di dalam rumah membawa semua yang kami takutkan.”

Anarko terdiam. Coryna sejak tadi berlinang-linang air, juga terdiam. Anak mereka dibiarkan main sendiri, mengedot botol susu yang sudah tidak lagi berisi.

“Emak dengar di tv engkau akan membuat kerusuhan serempak di seluruh negeri, ya kan?”

“Tidak, emak.”

“Nama engkau disebut-sebut. Anarko. Itu siapa kalau bukan namamu?”

“Emak. Itu bukan saya maksudnya...”

“Tapi itu namamu. Engkau kepalanya, kan? Anarko akan buat kerusuhan di seluruh negeri. Serentak!”

“Bukan, emak. Itu bukan saya.”

“Huhh! Mana ada penjahat bisa dipercaya.”

Emak Facak kembali terbayang aksi kejahatan yang mengenakan mukenanya itu. “Oh, mukena itu. Bisa saja akan bersaksi!” Tiba-tiba dia tersentak. Lalu secepatnya bangkit dari duduknya. “Emak mau pergi. Tinggal saja engkau dengan lakimu ini di sini!” katanya pada Coryna sambil keluar, bergegas.

Coryna  cuma termangu, menyaksikan sang ibu berlalu.

***

JELANG tengah hari datang sebuah mobil patroli polisi. Berhenti pas di depan rumah Emak Facak.Tiga orang polisi turun. Satu berjaga di luar, dua orang merangsek masuk ke dalam rumah.

“Anarko! Menyerahlah! Kami ingatkan, jangan melawan!”

Coryna yang berada di dalam rumah, menangis, menggigil ketakutan. Namun begitu dia masih memberanikan diri. Jadi perisai. Berdiri di depan sang suami. “Ampun, Pak. Ampun. Jangan tembak! Jangan tembak suami saya!” Coryna memohon. Mengangkat-angkat tangannya.

Anarko sudah angkat tangan tinggi-tinggi setelah melepaskan anaknya dari gendongannya dan membaringkannya di depan televisi.

Dalam sekejab lelaki itu sudah digari. Digiring ke mobil polisi, diiringi tangis raung sang istri.

Emak Facak yang sejak awal menyaksikan penyergapan terhadap Anarko dari jauh, segera keluar dari mobil saat polisi memasukkan menantunya itu ke dalam mobil patroli. “Terima kasih, Pak Polisi. Terima kasih, Pak Polisi.” Dia bergumam-gumam sendiri sampai ketika polisi meninggalkan lokasi.

Coryna terus menangis, tersedu-sedu di balik pintu, ketika Emak Facak masuk ke rumah seraya menenteng sepotong kayu.

“Sampai hati emak.” Suara ibu muda ini terdengar pilu.

Emak Facak tercegat. Dia tatap mata anaknya itu lekat-lekat.

“Cory! Ingat!” sergahnya.

Coryna tak menanggapinya.

“Engkau pastikan,” suaranya keras. “Anas. Anakmu itu tidak boleh lagi diberi adik dari Anarko! Tau?!

Coryna tetap tak menanggapi.

Terus saja menangis, tersedu-sedu.

Di balik pintu.***

 

Pekanbaru, 2021

Ikuti tulisan menarik Mosthamir Thalib lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler