x

seorang anak dan malaikat maut

Iklan

Keisha

Bukan Penulis
Bergabung Sejak: 1 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 19:45 WIB

Tuduhan Palsu di Tengah Lautan Prasangka

Lelaki itu dituduh sebagai penjahat paling kotor di kota yang baru ia datangi. Sisi sok malaikatnya itu tidak henti-hentinya merasuki, menjadi malapetaka bagi si pemilik tubuh itu sendiri. Oh, andai saja ia tidak membiarkan sisi sok malaikatnya menguasai. Bayangkan betapa indah masa depannya nanti.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sosok itu datang secara tiba-tiba, tanpa aba-aba.


“Jadilah temanku.”


Aku tidak tahu siapa dia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan


Hidupku yang damai—yang sebenarnya tidak sedamai itu—dirusak dengan kedatangannya. Sosok itu sepertinya tidak punya kerjaan selain mengetuk pintu rumahku setiap harinya, lalu dia akan memanggil-manggil namaku dan mengajakku bermain bersamanya. Tentu saja, ajakannya itu tidak kuacuhkan sama sekali. Maksudku, aku tidak mengenalnya. Jadi untuk apa aku menerimanya dengan tangan terbuka?

Aku bahkan heran tentang bagaimana dia dapat mendatangi rumah yang berada di entah berantah ini.


Satu kata untuknya; mencurigakan.


***

“Ta, kamu jadi keluar hari ini?”


Kedua bahuku terangkat secara otomatis. Rasa-rasanya hampir saja benda yang berada dalam genggamanku itu jatuh semisal aku tidak membiasakan diri. Pelan, aku menganggukkan kepalaku. “Iya, Nda. Sudah agak bosan berdiam di sini,” balasku sejujur mungkin sembari sibuk menilik habis kamera tua milikku itu, berjaga-jaga kalau aku tidak sengaja merusaknya sedikit.

 

Setelahnya diam. Tidak ada yang melanjutkan topik pembicaraan. Aku yakin Bunda juga khawatir dengan keberadaan sosok yang terus mengusik ketenangan yang susah-susah kami bangun, tetapi tidak ingin membicarakannya langsung di depan wajahku. Karena kehadiran si pengusik itu, aku tidak keluar rumah selama nyaris seminggu, tepatnya setelah dirasa kehadirannya benar-benar menggangguku. Tetapi aku tidak bisa selamanya begitu.


Lalu terjadilah hari ini.


Aku keluar dari rumah, lagi, setelah beberapa hari.


***

“Aerta? Tidak kusangka kamu akan berinisiatif untuk menemuiku sendiri seperti ini,” sapanya dengan intonasi yang kelewat datar. Jubah gelap itu masih setia membungkus tubuhnya.

 

… Aku tidak mengira akan menemuinya secepat ini.


“Sok tahu,” balasku sok tidak peduli sambil memusatkan fokusku ke lingkungan sekitar. Sekuat mungkin aku berusaha untuk tidak memberi bahkan hanya secuil perhatian kepadanya. Waktu yang kumiliki akan sia-sia untuk menyikapi orang aneh sepertinya.


… Kalau kupikir-pikir, suaranya terdengar familier. Tapi aku tidak ingat dari mana aku pernah mendengarnya.

 

“Apa itu? Kamera?” tanyanya, tidak terdengar bahwa dia sungguhan penasaran. Dapat kudengar suaranya semakin dekat denganku seiring dia bicara. “Menakjubkan. Aku tidak tahu kalau kau--”


“Tidak bisakah kau diam?” pintaku yang lebih terdengar seperti perintah.


Menyebalkan sekali.


Tidak bisakah orang ini membiarkanku hidup dengan tenang? Paling tidak seminggu saja berhenti membuntutiku seperti penggemar fanatik yang tergila-gila dengan idolanya. Bedanya, tidak akan ada yang sudi untuk mengidolakanku. Mungkin aku akan bisa lebih menikmati waktuku di sini kalau sosok itu tidak terus mengejar-ngejarku seperti orang gila.

 

“Bisa.”


Tidak terlalu mengejutkan.

 

“Bagus. Sekarang jangan usik waktu kami di sini,” cetusku terlalu terbawa emosi.

 

Waktu tetap mengalir, membawaku untuk menyadari bahwa perkataanku barusan itu dapat terlalu menyakiti. Namun, aku buru-buru menepis pemikiran tidak jelas yang terletak di sudut kepalaku itu. Menjadi terlalu baik tidak akan menyelesaikan semua masalah. Malah, bisa jadi dia akan terus seenaknya saja kepada kami berdua.


Tapi ….


Seperti baru ditampar realita, aku sungguh baru menyadari bahwa aku hanya diam mematung sedari tadi, semakin membiarkan suasana kaku menyelimuti suasana di antara aku dan dia. Keraguan mulai merayapi sudut-sudut tubuhku. Perasaan tidak enakan itu semakin menjadi-jadi, membuatku semakin bingung untuk mengambil bahkan satu keputusan pun.


Sebelum sisi sok malaikatku itu semakin melahap habis, cepat-cepat aku mengambil langkah menjauh dari sosoknya. Kugigit pipi bagian dalamku kuat-kuat, menyalurkan rasa bersalah yang tidak seharusnya ada.


Jangan sampai terulang lagi. Jangan sampai sisi sok malaikatku itu diguna-guna oleh sisi iblis insani yang lain.

 

***

 

“Ah, tinggal dua minggu lagi, ya,” pikirku secara tak sengaja berubah bentuk menjadi sebuah ucapan, meluncur bebas begitu saja. Tentu saja, aku mendapat tepukan keras dari Bunda yang membuatku langsung menyadarinya.

 

“Aerta sudah besar, ya! Duh, anak Bunda sudah bukan bocah lagi,” hibur Bunda yang hanya tersampaikan setengah dari pesan aslinya, setidaknya untukku. Beban di pundakku itu semakin berat rasanya. Tetapi aku hanya bisa menyalurkannya melalui helaan napas berat yang hanya melenyapkan secuil dari isi hatiku.


“Terima kasih, Nda.” Aku mengulum senyum tipis. Rasa pahit itu tidak boleh menghancurkan suasana yang sudah susah-susah kami bangun selama dua minggu terakhir.  “Aku mau ke kamar sebentar, ambil kamera. Sayang sekali, ‘kan, kalau ini tidak diabadikan,” kataku sembari menunjuk ke arah meja makan yang diisi makanan kesukaan Bunda, yang dibalas dengan anggukan pelan.


Aku  langsung melesat ke kamar. Kuambil kamera lama yang kini selalu aku cap sebagai milikku. Setidaknya, untuk dua minggu ini. Senyum tipis yang sudah pudar itu luntur.


Tok. Tok. Tok.


Tiga ketukan itu— Yang benar saja! Malam-malam begini, terutama di hari sepenting ini?


Aku sungguh tidak habis pikir.


Kekesalanku itu meluap-luap sampai aku rela meletakkan kameraku untuk menegur sosok itu habis-habisan. Mungkin memang benar dugaanku kalau gadis itu yang tidak akan menepati ucapannya sungguh-sungguh, tidak seperti yang sisi sok malaikatku katakan padaku.


“Ta—”


“Tidak, Nda, ini sudah kelewatan!” tukasku masih dengan emosi yang meletup-letup. Sepertinya sudah hilang sopan santunku, hanya karena aku menyikapi perilaku tidak jelas sosok gadis itu.


Cepat, aku membuka pintu utama yang baru diketuk oleh sosok itu. Seperti dibutakan oleh amarah, aku hanya mencak-mencak kesal begitu melihat semacam tas kecil menggantung di ganggang pintu. Apakah dia sungguh-sungguh perlu mengacaukan kedamaian kami yang tersisa hanya dengan melakukan hal-hal sepele semacam ini?


Aku segera menyambar tas kecil itu, hanya untuk menemukan sebuah lukisan, sebotol minuman, dan secarik kertas yang terlipat rapi di dalamnya.


Maaf karena telah mengganggu waktumu. Dua minggu lagi. Selamat ulang tahun untuk Ibundamu.


***


Aku tidak menjalani hidup tenang seperti yang aku janjikan pada diriku sendiri tiga minggu yang lalu. Pikiranku kacau tentang perilakuku yang memang kelewat kasar pada sosok yang tidak kuketahui namanya itu, dan tentunya aku tidak setidak sibuk itu untuk hanya memikirkan satu perkara saja.


Penjara ini membuatku muak.


Mereka bersikeras untuk tidak membiarkanku pergi dari pengawasan mereka. Hanya agar aku tidak kabur, katanya. Aku ingin suasana baru. Aku butuh sesuatu selain hutan-hutan labirin ini, seperti melihat lautan misalnya. Namun, mereka tidak menggunakan kepala mereka dengan baik rupanya. Dengan cara apa aku akan kabur dari tempat entah berantah ini? Terbang seperti penyihir andal sementara bakat untuk menyihir saja aku tidak punya?


Aneh.

 

Sepertinya lebih aneh lagi tentang gadis itu yang bisa mengunjungi rumah ini sesuka hatinya.


Sudah satu minggu berlalu tanpa diusik olehnya. Tujuh hari itu pula waktu yang kuhabiskan di ‘rumah’ ini berjalan tanpa hambatan. Setiap sudut dari tempat yang berada dalam jarak kemampuanku telah berhasil kuabadikan ke dalam lembaran-lembaran foto, dan seluruhnya sudah kukumpulkan dalam ruangan yang telah menjadi kamarku selama tiga minggu.

 

Hanya tersisa satu minggu lagi. Lalu aku bisa pergi dari sini.


Kedua ujung bibirku tertarik, berusaha memproyeksikan perasaan yang membuncah dalam hati. Sebelas huruf itu terus kuputar dalam kepala diiringi irama jantung yang terus naik setiap detiknya. Perlahan, kalimat itu melebur menjadi pecahan-pecahan huruf yang menyebar tiap bagian-bagiannya.


Tok. Tok. Tok.


Tidak lagi.


Berbanding balik dengan kepalaku yang sebal dengan kedatangannya yang tiba-tiba, badanku bergerak sendiri untuk menghampiri pintu yang sudah diketuk olehnya selama duabelas hari.


Atau empatbelas hari?


Apapun itu, aku tidak cukup peduli.


Tinggal satu minggu lagi. Hanya tersisa satu minggu lagi. Lalu semuanya akan usai.


Badanku membatu. Sejak kapan menyikapi tingkah laku sosok itu telah menjadi bagian dari urusanku?


Perkara tingkah laku sosok itu tidak pernah menjadi urusanmu.


… Mungkin ada baiknya aku menuruti sisi sok iblis milikku. Sesekali saja, selama hidupku.


***


“Aerta!”

 

Ricuh sekali suasana di bawah langit merah itu. Sorak sorai yang diisi oleh hinaan dilempar khusus untuk kedua insani yang bersimpuh di bawah puluhan tuduhan palsu. Seakan-akan caci maki mereka tidak cukup, dilemparkan pula sampah menyengat sebagai bahan pengganti seru-seruan mereka yang nyatanya tak kunjung mengabur.

 

Kedua insani yang beruntung masih memiliki napasnya itu masih tetap bersimpuh kepada masyarakat yang amarahnya melambung. Sementara satu dari dua orang itu sudah setengah hidup mempertahankan kesadarannya untuk tetap mengapung, meski ujungnya ia lagi-lagi dikeroyok habis oleh caci maki atas kesalahan yang ia sendiri tidak tahu letaknya.

“Bising sekali di sini. Di mana letak kesalahanku?” bisik anak laki-laki itu getir, tak ada yang dapat mendengar pertanyaannya di tengah-tengah lautan makian itu.

 

“Di mana salahku?”

 

Tidak ada yang mendengar suaranya.

 

“Siapa pun, tolong aku ….”

 

***


Aku mengantuk, namun di sisi lain aku sama sekali tidak ingin tidur. Entah sudah berapa lama sejak aku dihantui oleh bayang-bayang peristiwa itu. Mataku terasa perih karena berusaha untuk tetap terjaga sepanjang waktu. Setiap aku hampir kelepasan untuk tidur, aku selalu, dan selalu diingatkan dengan pembukaan dari keadaan kacau di hari itu. Jantungku akan selalu bertalu-talu, kedua tanganku seolah-olah akan membeku, sedangkan leherku akan membara seiring berjalannya waktu. Kombinasi itu selalu membuatku waswas tanpa alasan yang jelas, sedangkan aku sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba saja peristiwa itu terus membayang.


Tidak. Aku tidak boleh menghabiskan minggu liburan terakhirku begini.


“Ta, ayo sarapan dulu,” ajak Bunda sembari menunjukkan setengah badannya di ambang pintu, seolah sedang mengkhawatirkan kondisiku.


Aku mengerjap-erjapkan kedua mataku, seperti linglung karena baru menyadari bahwa matahari telah bangun dari tidur. “Ah, iya. Sebentar,” balasku lesu. Benar, ini sudah kedua kali Bunda mengatakan hal yang sama padaku. Kepalaku rasanya pening sekali, seperti ada yang mencampur adukkan isinya selama dua hari belakangan ini.


Lalu, aku mengulang kegiatan seperti yang kulakukan duapuluh empat jam yang lalu. Membasuh wajahku, pergi mencomot makanan spesial untukku yang disediakan Bunda, lantas pergi membersihkan badanku. Siang hari akan aku habiskan dengan memandangi suasana yang begitu-begitu saja selama tiga minggu terakhir, sembari mengabadikan suatu pemandangan jika dirasa belum pernah terpotret bahkan sekali. Terkadang, aku akan mengeluh atau marah-marah tidak jelas karena aku tidak boleh mendekati laut.


Rutinitas itu terulang selama total enam hari, dan gadis itu tidak pernah menggangguku lagi.


Lalu, hari terakhir dari liburanku itu akhirnya tiba.


***


Ia kembali mengusik hariku.


“Malam— tidak. Pagi, Aerta.”


Wajah tidak bersemangatnya itu bahkan masih sama. Gadis itu asal masuk ke dalam rumah seolah itu memang miliknya, lantas duduk di kursi ketiga meja makan yang memang tidak pernah diduduki selama nyaris empat minggu.


Kubuang napas berat. “Maaf, Nona …?”


Siapa namanya lagi? Aku meringis, menyadari kebodohanku. Ketidaktahuanku itu membuatku kesebalanku melambung. “Tidak bisakah Anda—”


Gadis itu melirikku sekilas, lalu balik menatap Bunda. “Ibu … Ralta, benar? Baik. Perkenalkan, saya Altea, seorang penyihir muda yang ditugaskan untuk mengurus kepergian anak Anda, Aerta. Mohon bantuannya,” tukasnya santai.


Aku termagu.


Dia yang akan membantu kepergianku? Yang benar saja?


Sekesal apa pun, aku tidak bisa mengatakannya. Mau bagaimana pun, dia pasti memiliki alasannya sendiri.


Oh, sial. Sisi sok malaikatku itu mulai menjadi-jadi.


Aku mengulum sebuah senyum kaku sembari menyipitkan kedua mataku. “Mohon bantuannya juga, Nona Altea.”


Altea melirikku sekilas. “Aku juga enambelas tahun.”


Lalu apa peduliku?


“Gunakan otakmu sedikit, Aerta. Kita seumuran. Panggil aku Altea saja,” balasnya seolah membaca pikiranku—atau mungkin saja ia memang bisa melakukannya, mengingat dia adalah seorang penyihir.


Sekarang aku tahu bagaimana ia bisa mengetahui namaku dan mengunjungi tempat ini sesuka hatinya.


***


“Aerta. Mau teh lemon hangat?” tawar Altea sambil repot-repot memegangnya untukku.


 Bukannya dia bisa membawanya menggunakan tongkat sihirnya?


 Aku mengernyit dengan tubuh yang terbaring di ranjang kamarku. Mungkin Bunda yang memberitahukannya tentang minuman kesukaanku.


Seharian ini hanya dihabiskan dengan perayaan hari ulang tahunku yang tidak terasa spesial lagi, lantaran sudah selalu dilakukan selama empat minggu terakhir. Dan seperti janjinya, Altea tidak mengusikku. Dia hanya diam mengamati.


Sudah nyaris larut malam.


Kuubah posisiku menjadi duduk.


Aku tetap menerimanya meski setengah hati. Dahiku berkerut. Panas sekali, tidak seperti yang biasa. Apa dia harus repot membuatkannya untukku?


“Sama-sama.”


… Suaranya terdengar familier.


“Bukan Aerta pelakunya!”

 

Jeritan histeris itu tenggelam dalam lautan bantahan penuh amarah. Seru-seruan yang tidak pantas didengar itu merasuki isi kepalan lelaki yang bersimpuh bersama bundanya.

 

“Di kota netral, pembunuh adalah penjahat paling kotor di mata penduduknya.” Sebuah suara mengaliri kepala lelaki yang ikut bersimpuh di balai kota. Lembut sekali suara itu, terlepas dari kebingungannya atas asal suara itu.

 

Asalkan suara bising itu hilang, ia tidak masalah.

 

“Tapi aku bukan pembunuhnya,” balasnya bingung.

 

Tawa kecil mengalun di kepalanya. “Benar, kamu memang bukan pembunuhnya.”

 

“Lalu siapa?” tanyanya semakin tak keruan, ingin sekali ia meneriakkannya. Kenapa dia dari semua orang yang dituduh habis-habisan? Kenapa?


“Apa yang kau—!” Gelas kaca di tanganku itu jatuh membentur lantai. Hancur berserakan tiap-tiap bagiannya, menghasilkan melodi berantakan.


Badanku lemas.


“Kenapa kau menerima hukuman mati ini, Aerta?” tanyanya, lembut. Suara yang sama dengan yang waktu itu.


Aku tidak punya bukti kuat untuk membantah tuduhan itu.


“Oh? Kau menyimpan lukisan dariku?”


Tentu. Aku kesepian.


“Sudah larut malam.”


Aku tahu. Sudah waktunya.


Senyap.

 

Badanku mati rasa.


“... Aku pelakunya, Aerta.”


Ah. Kenapa kau melakukannya?

 

“Maafkan aku."


Kenapa? Sudah terlambat, Altea.


"Selamat tinggal.”

 

Selamat tinggal, pencabut nyawaku.

Ikuti tulisan menarik Keisha lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler