Lelaki dan ATM
Rabu, 8 Desember 2021 20:15 WIB
Lelaki dan ATM
Oleh : Sri Ariefiarti Wijaya
Tiga puluh menit berlalu, belum ada kesempatan merangsek bagi Topo untuk masuk ATM. Beberapa kali dia menengok dan masih ada beberapa yang mengantre. Kotak kaca beratribut biru dan kuning emas itu seperti sarang penuh madu. Maklum ini tanggal satu. Dilanjutkannya menyedot rokok dalam-dalam dan melipat sebelah tangan mengusir dingin.
Dua bulan terakhir, bapak dua anak itu terlihat sering berlama-lama di sebelah ATM. Matanya tak lepas mengamati tingkah polah pengunjung. Ada yang menggerutu, gelisah, marah atau batal masuk. Topo berpikir bahwa ruang tak seberapa besar itu adalah ruang pengubah ekspresi. Bahkan ruang ajaib! Dan itu menggelikan baginya.
“Saldo tidak mencukupi!” seorang laki-laki berujar dengan wajah kecewa menuju istri yang menunggunya di luar.
“Gimana sih? Seharusnya kan sudah cair?” Si perempuan tak kalah kecewa.
“Mana kutahu? Mungkin yang melalui bank ini memang belum. Terus bagaimana?”
“Ya nggak jadi beli! Emang bayar pakai daun?” sang istri mulai tidak sabar.
Motor distarter kasar. Sang istri terlihat enggan membonceng. Detik kemudian motor melaju dengan kencang. Topo diam menyaksikan drama pendek yang baru saja melintas di depannya. Saat masuk wajah laki-laki itu penuh harap. Tak berselang lama kotak ATM telah mengubah wajah laki-laki yang baru saja berlalu menjadi kesal. Topo mengulas senyum. Drama singkat serupa sudah sangat sering terjadi antara dia dengan Lastri. Bahkan tak terbilang angka sudah berapa kali terjadi.
Setelah benar-benar lengang laki-laki kurus itu menyerbu masuk. Dirogohnya tabung stainless di sebelah mesin ATM. Senyumnya penuh kepuasan dengan segenggam kertas yang ditinggalkan pengguna ATM. Dibawanya kertas-kertas kecil itu menjauh dalam kantong baju. Mulailah tangan kotornya membuka struk-struk yang telah diremas pemiliknya. Matanya terbelalak melihat jumlah saldo yang bisa diambil di struk yang dia pegang. 250 juta! Angka fantastis yang tak akan pernah ada dalam saldonya meski harus bekerja seumur hidup. Wajah kosong itu menerawang jauh. Bila saldo itu miliknya, tak perlu dia begadang semalam suntuk menjaga usaha garmen. Tak perlu setermos kopi yang memaksa matanya harus jaga. Tak akan ada wajah masam Lastri. Tak ada wajah kecewa Sari tiap minta uang kebutuhan sekolahnya. Tak ada impian tentang motor matic yang tak pernah dimilikinya.
Wajah laki-laki pucat itu berubah masam melihat saldo berikutnya yang hanya 67 ribu. Ingatannya tertuju pada Lastri yang sering menjumpai saldo seputar puluhan ribu saja. Itupun tak bisa diambilnya. Harus ada saldo yang mengendap. Percakapan terakhir kali dengan perempuan yang telah 26 tahun hidup bersamanya melintas kembali. Seperti baru tadi pagi itu terjadi.
“Beras dan minyak sudah habis. Tak punya apa-apa lagi.”
“Sabar!” Topo menyedot rokoknya lebih dalam.
“Coba cek ke ATM!” Lastri menekan suaranya.
“Sudah! Belum cair!”
“Coba datangi bossmu!”
“Kau pikir aku saja? Ada Giman, Tarno, Surti yang hampir melahirkan, dan Suto yang istrinya sekarang kena Covid!”
“Coba datangi sekali lagi atau cek ATM lagi!” nada suara Lastri lebih memaksa.
“Harus berapa kali? Bila kemudian aku tak sabar, aku marah, dan memukulnya, apakah itu menjadi lebih baik?”
“Tapi Dia sudah janji segera. Tapi sampai empat bulan ini?”
Percakapan itu hanya satu dari ribuan percakapan selama hidup bersama. Sudah terlalu Banyak padanan kata ‘sabar’ yang dia gunakan untuk menenangkan istrinya. Tak seluruhnya berhasil meski mereka bertahan hingga puluhan tahun. Namun, enam bulan ini Topo menyerah. Dia termasuk rakyat kecil yang terdampak pandemi. Tenaga penjaga malam di usaha konveksi itu diberhentikan. Perhatian dunia tertuju pada penyelamatan manusia. Garmen tak termasuk sektor yang penting . Usaha tempatnya bekerja gulung tikar.
Pemilik konveksi menjanjikan pesangon. Bahkan berjanji memanggilnya kembali bila pandemi telah berakhir. Setiap hari Laki-laki kerempeng itu ke ATM. Saldo belum juga bertambah meski sudah lewat enam bulan. Pesangon yang dijanjikan tak kunjung dibayarkan. Topo terpenjara dalam perasaan marah, kecewa dan malu. Penantian tak berujung akhirnya membuatnya menyerah. Tak terlihat lagi dia memasukkan kartu debitnya. Tiap berkesempatan masuk hanya untuk menyerbu struk. Selebihnya hanya mengabiskan waktu di kursi beton, tempat ternyaman. Mengamati orang keluar masuk dengan ragam ekspresi. Itulah hiburan yang sering membuatnya tersenyum.
“55 juta…” Topo berguman lirih menatap struk berikutnya.
Bapak dari gadis 23 tahun itu menerawang ke kejauhan. Ada seulas senyum bahagia membayangkan uang itu adalah miliknya. Wanti tentu akan memiliki pesta pernikahan yang diidamkan. Setahun bertunangan tentulah cukup lama. Dia menjanjikan anak gadis yang menjadi tenaga honorer di kantor kecamatan itu menikah secepatnya. Wanti akan berterima kasih padanya. Kuade penuh bunga, foto, iringan elekton, dan hidangan lezat akan dia dapatkan. Besan dan para tetangga akan berdecak kagum. Pesta itu akan menjadi yang termewah di kampung yang terbilang agak kumuh.
“1.500.000…” wajah Topo kembali muram.
Jumlah itu begitu dikenalnya. Itulah yang tiap bulan didapat dari perusahaan. Tak pernah cukup untuk hidup sebulan. Tak pernah bisa membuat perempuan yang dicintainya berbaju bagus. Uang sejumlah itulah yang menjadikan Lastri sering bersungut-sungut. Minta tambahan meski dia mendapat upah dari buruh cuci. Memicu pertengkaran meski berulang dia minta jumlah itu untuk disyukuri.
Kini Topo benar-benar bebas. Tak ada teriakan Lastri yang memintanya mengecek saldo di ATM. Semua orang di rumah telah bertoleransi padanya. Tak ada kata-kata menyakitkan. Semua membiarkan dia tak memikirkan apapun. Tak ada pembicaraan tentang beras yang menipis, token listrik habis, uang sekolah yang belum terbayar, atau apapun yang rumit. Semua seolah memberi ruang untuk mengistirahatkan pikirannya. Topo bebas!
***
Adzan Isya baru beberapa menit selesai berkumandang. Udara dingin menyerbu setelah seharian kota kecilnya diguyur hujan. Tak nampak geliat berarti seperti malam-malam biasanya. Topo meringkuk di kursi beton menahan dingin. Seorang perempuan memarkir motornya. Masuk bilik ATM di samping tempat dia duduk. Bunyi tombol mesin ATM menjadi musik di suasana sepi. Bunyi yang dulu dikenalnya. Bunyi yang membuat orang-orang rindu mendatanginya.
Cukup lama Topo menunggu perempuan itu keluar. Bunyi tombol mesin ATM makin sering. Mengisyaratkan tak hanya sekali dua perempuan itu bertransaksi. Memakan waktu yang cukup lama. Dia bergegas bangkit setelah perempuan itu menarik pintu untuk keluar. Satu dari laki-laki yang tadi dilihatnya di atas motor turut menyerbu. Bukan masuk kotak kaca namun untuk menarik bajunya. Dia merasakan perempuan itu berlindung di belakang tubuh kecilnya. Laki-laki kerempeng yang belum sepenuhnya menyadari kejadian itu merasakan sesuatu menancap di ulu hatinya.
“Cabut…!” suara laki-laki di atas motor sempat didengarnya. Selanjutnya hanya raungan knalpot memekakkan telinga.
Topo terhuyung menekan perut. Banyak cairan yang dirasakan merembes di sela-sela jarinya. Ada rasa sakit yang melampaui batas yang mampu ditahannya. Dunia seperti berputar dan laki-laki lusuh itupun ambruk. Kesadarannya belum benar-benar hilang. Dia masih bisa mendengar perempuan itu panik dan memanggil-manggil. Titik-titik sisa gerimis membasahi wajah yang tengadah menahan sakit. Beberapa orang mengelilingi. Kerumunan semakin bertambah dan membuat sesak.
“ Ada apa?” seorang laki-laki menerobos kerumunan dan menyanggah kepalanya.
“ Orang stress yang sering masuk ATM ditikam rampok!”
“Telpon ambulans!”
Topo diam, badannya terasa ringan. Udara dingin yang dikenal di ruangan ATM menyerbu tubuhnya. Nanar dilihatnya orang-orang masih mengerumuni. Ada tangisan perempuan tapi bukan Lastri, Wanti, maupun Sari. Raungan ambulan semakin mendekati laki-laki yang mulai kehilangan napas. lampu merah menyala berputar-putar menyilaukan mata. Namun, Belum lagi pintunya dibuka, dua sosok menggamit lengannya. Membawanya meninggalkan kerumunan. Pergi menjauh, bahkan sangat jauh.
Selesai
Baca Juga
Artikel Terpopuler