x

orang sedang menulis

Iklan

Paksi Kencana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 20:15 WIB

Ngelarung

“Masih bisakah aku menulis dengan jujur tentang anomali yang terjadi? Atau aku harus menuliskan kepalsuan? Atau aku larungkan saja pena beserta buku-buku ini?”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ngelarung

Matahari terus bergerak ke tengah membagikan teriknya secara merata. Sayangnya belum ada inspirasi terpancar dari cakrawala yang bisa menembus otaknya untuk dijadikan bahan tulisan. Pikirannya masih buntu, tak tahu harus menulis apa.

Syams duduk bersila di sebuah gazebo yang dipasang di samping jembatan kayu Pantai Kenjeran Lama. Sambil menikmati suara burung-burung melintas di atas lembutnya ayunan ombak laut, dia berusaha menangkap setiap isyarat alam untuk bisa dituliskan. Dia tidak ingin menyerah begitu saja biarpun kebuntuan menghadang jalannya. Syams masih menyimpan keyakinan akan adanya setapak jalan keluar yang bisa dilintasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selama itu pula, selembar kertas, sebilah pena, setumpuk buku dan sebuah kardus kosong masih tergeletak di pangkuan. Pena itu sangat setia mengikuti kehendak hati Syams selaku tuannya.

Dngan pena inilah Syams merangkai kata dan menyusun alinea hingga menorehkan banyak cerita sebelum diketikkan melalui seperangkat gawai. Memang bukan kisah percintaan melainkan tentang realita dan pesan-pesan kehidupan. Bagi Syams, sebilah pena tak ubahnya naga puspa yang akan sangat berbahaya jika berada di tangan manusia berwatak jahat. Karena itulah dia tidak pernah mau sembarangan dalam membuat karya.

“Menjadi matahari,” inilah yang selalu diucapkannya saat hendak mulai membuat tulisan. Dalam keyakinannya, menulis bukan semata-mata menciptakan keindahan kata-kata. Menulis adalah pekerjaan memancarkan kejujuran, harapan dan pesan-pesan kebaikan.

“Apa yang harus kutuliskan sekarang sebelum kularungkan pena dan buku-buku ini? Hmmm…,wahai burung-burung laut. Kabar apa yang hendak kau bagi kepadaku dari seberang sana? Harapan apa yang akan kau siulkan? Apakah ilusi kemakmuran, kesejahteraan, gemah ripah loh jinawi?”

Namun kawanan burung itu seperti tak peduli dengan celotehan Syams. Mereka tetap sibuk dengan urusannya sendiri. Sepertinya mereka pun tak pernah ambil pusing dengan segala bentuk silang sengkarut masalah yang terjadi di negeri ini.

Syams memandang kawanan burung itu dengan menggumamkan perasaan iri,”Kalau saja hidupku seperti mereka. Bebas mencari jalan rezeki, seberapapun dapatnya tetap bisa disyukuri. Nyaman rasanya hidup seperti mereka. Tanpa perlu memanggul beban kemana-mana.”

Kembali ia menatap kertas-kertas di pangkuannya. Semuanya masih kosong, sekosong harapannya.

“Masih bisakah aku menulis dengan jujur tentang anomali yang terjadi? Atau aku harus menuliskan kepalsuan? Atau aku larungkan saja pena beserta buku-buku ini?”

Banyak sudah realita yang ia kemas dalam bentuk cerita. Banyak keresahan yang ia suarakan melalui tulisan. Inilah caranya menyampaikan pesan setelah pensiun dari jalanan.

“Hmmm, kata Pram, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Secerdas apapun seseorang jika tidak menulis maka dia akan dilupakan masyarakat dan tenggelam dari sejarah. Jika kelak aku meninggalkan kefanaan ini, sejarah akan mencatatku sebagai apa? Sebagai matahari atau polutan?”

Gamang. Itulah yang Syams rasakan sekarang. Menulis kebaikan? Untuk siapa? Lima buku tunggal buah kerja otaknya tidak ada pembacanya. Kadang mencuat penyesalan mengapa ia tidak hidup sezaman dengan Chairil Anwar.

Masih terbayang dan terngiang dengan sangat jelas di pelupuk mata dan telinga Syams apa yang terjadi tiga puluh hari lalu. Saat Prathivi dan Ardha, dua orang yang membuat Syams rela berletih-letih, pergi meninggalkannya sendirian.

“Kenapa Vi? Kenapa harus seperti ini?” tanya Syams.

“Kalau matahari sudah tak menyinari, untuk apa bumi menanti kehadirannya?” tukas Prathivi beranalogi.

“Bukankah aku masih  di sini buat kalian dan tidak kemana-mana?” balas Syams.

“Adanya kamu tak beda dengan tidak adanya. Kamu seperti arca, ada tetapi tak berkata-kata,” jawab Prathivi.

 Syams terdiam sejenak sebelum akhirnya melempar pertanyaan lagi,”Adakah gunanya aku berkata-kata?”

Namun pertanyaan itu malah dibalas dengan tanya pula oleh Prathivi,”Kamu tidak menganggapku ada?”

“Apalah gunanya berkata-kata kalau hanya memantik bencana. Apalah gunanya aku mengungkap pandangan kalau akan dikata mencari pembenaran,” jawab Syams.

“Itu asumsimu,” sahut Prathivi.

“Bukan asumsi. Itu realita yang selama ini terjadi. Setiap aku memberi penjelasan, saat itu juga tangan-tangan tergerak ke arah wajahku seolah-olah akulah penguasa segala kesalahan.  Setiap aku berpendapat, pasti kamu mendebat dan selalu bermudah-mudah menyebut pengadilan,” panjang lebar Syams mengajukan bantahan.

“Bukankah keadilan yang kamu inginkan?” tanya Prathivi bernada menyerang.

“Keadilan. Bukan pengadilan. Aku hanyalah api yang tak mungkin bisa menyala sendiri,” tangkis Syams.

“Jadi kamu ingin berkata kalau aku adalah pemantiknya?” sembur Prathivi kesal.

“Hukum aksi reaksi. Reaksi salah yang lahir setelah aksi yang salah,” terang Syams.

“Kamu angkuh, tidak mau disalahkan,” sergah Prathivi.

“Silakan. Timpakan saja semua kesalahan padaku. Lemparkan semua cap buruk ke wajahku,” sahut Syams mulai gerah.

“Akhiri saja,” cetus Prathivi singkat namun sangat jelas.

“Setelah bau keringatku merebak, lambungku sering berteriak, retina mataku retak, kamu ingin segala letihku sia-sia?” tanya Syams meminta ketegasan.

“Bila matahari masih bisa tiap hari membagi sinarnya, apa yang kamu berikan pada kami?” sahut Prathivi cepat.

“Perlukah aku sebut satu persatu apa yang sudah aku usahakan supaya pahala ikhlasku hangus terbakar?” tanya Syams.

“Sebut aja. Toh kenyataan jugalah yang berbicara. Hidup pas-pasan di atas tumpukan hutang,” sahut Prathivi.

Syams terdiam. Kesedihan dan kegeraman berpadu dalam dirinya. Hingga kemudian ia hanya bisa berbisik,”Aku harus gimana?”

 “Aku sudah menawarkan jalannya,” jawab Prathivi.

“Menanggalkan semua atributku?” Syams menunjukkan kebimbangan.

“Menjadi penulis buku? Isi pikiranmu yang kau sebar ke banyak orang lewat tulisan-tulisan, terbukti gagal membuat orang-orang terdekatmu menikmati hidup. Jadi apa yang kamu harapkan?” Prathivi melempar pertanyaan.

Simple. Aku berharap  tulisanku bisa menjadi matahari yang memancarkan kecerahan dan harapan. Itu saja,” ungkap Syams.

“Kecerahan? Untuk siapa? Jangan mengingkari kenyataan. Hidup kita tidak secerah omong kosongmu,” sahut Prathivi sinis.

“Untuk para pembaca bukuku. Bukan uang ukurannya,” tegas Syams.

“Siapa pembaca bukumu?” tanya Prathivi dengan sorot mata bak jurnalis yang sedang melakukan investigasi.

Syams menggeleng lemah kemudian berkata,”Tidak ada. Bukuku ndak laku.”

“Apa? Nggak ada pembacanya? Lalu apa yang mau kamu harapkan?” sergah Prathivi sengit.

Namun Syams memotong,”Ah tidak. Ini baru permulaan. Bukankah tidak ada kesuksesan yang instan? Aku akan terus menulis dan menulis. Mungkin bukuku berikutnya bernasib lebih baik.” 

“Kamu lupa. Kamu tidak sedang hidup di Rusia, Jepang, ataupun China  Di sini buku tidak lebih menggoda dibandingkan social media. Tidak lebih menggairahkan dibanding aplikasi permainan,” ungkap Prathivi membuka kenyataan secara blak-blakan.

Syams menghela napas. Pahit rasanya mengakui kenyataan hidup di negara yang kebanyakan orangnya tidak lagi suka membaca. Sepertinya mereka lupa bahwa Indonesia Merdeka juga berkat jasa orang-orang yang gemar membaca. Tapi itu dulu, waktu awal-awal abad 20. Sekarang semuanya sudah beda.

Perasaan Syams terpukul. Semua yang gigih diperjuangkannya serasa tidak berarti apa-apa buat juga orang-orang terdekatnya.

“Jadi aku harus bagaimana?” tanya Syams meminta petunjuk untuk bisa mengurai kekusutan ini.

“Ah terserahlah. Kalau mau buang-buang waktu dan energi untuk bermain-main di duniamu, terserah,” cetus Prathivi ketus.

“Aaah! Selalu begini. Setiap sengketa selalu kau buka pintu perpisahan. Akhirnya kau sebut pula  pengadilan. Kenapa? Karena sudah ada matahari lain?” ucap Syams sambil merapatkan giginya.

Tak ada sahutan. Prathivi tetap nekad pergi dengan membawa Ardha meninggalkan kepedihan di hati Syams. 

Terasa sesak setiap ingatan itu kembali menyeruak. Mendadak dadanya bergolak laksana kawah menggelegak. Matanya dipejamkan. Semua urat-uratnya menegang berusaha sekuat tenaga memendam amarah.

“Ya, kau benar Vi. Kalau matahari sudah tak menyinari, untuk apa bumi menanti kehadirannya?” celetuk Syams.

Kembali wajahnya menatap ke atas. Alam sudah mulai melukis senja. Matahari sudah bersiap-siap merapat ke ufuk barat. Syams menghela napas sejenak. Ibu jari dan telunjuknya mulai menjepit pena. Selembar kertas sudah disiapkan untuk menerima tumpahan isi hatinya.

Tulisan Terakhirku Untuk Semesta

Mungkin tulisanku ini bukanlah yang terindah. Tetapi sangat mungkin inilah tulisan terakhirku. Aku tak tahu apa tulisan yang ini bernasib lebih baik atau sama saja dengan semua karyaku sebelumnya.

Bangsa ini tak punya gairah membaca. Itu bukan kataku. UNESCO yang mengatakan demikian. Kata orang-orang UNESCO, dari 1.000 orang cuma ada satu orang yang suka membaca. Terbayang kan betapa sulitnya menemukan orang gemar membaca di negeri kita ini? Mungkin sama sulitnya dengan menemukan jarum di atas gurun pasir.

Jangan tanya kepadaku ini salah siapa. Karena aku sudah lelah mengatakannya. Tapi kenyataan berkata, bangsa kita harus berkaca dari negara-negara yang menjadi besar karena rakyatnya suka membaca. Aku pernah membaca, di negara China, rakyatnya yang hidup sebagai pemulung tiap hari mampir ke perpustakaan. Bukan untuk cari gratisan makanan melainkan untuk membaca buku ataupun koran. Di Finlandia yang lebih keci dari negara kita, sejak kelahirannya seorang bocah sudah dikenalkan dengan membaca.

Izinkan aku bertanya, bagaimana dengan kita? Sejak lahir anak kita dikenalkan dengan buku atau gawai?Kuharap kita tidak menepuk dada karena negara kita ada di lima besar pengguna media sosial sedunia. Lalu ada pula yang mengabarkan jumlah pemain game online dari negara kita sudah mencapai 100 juta. Apakah ini luar biasa?

Sudahlah semesta. Biarkan “matahari” ini pergi tanpa tahu kapan akan kembali. Sepertinya ini akan menjadi tulisan terakhirku. Aku lelah. Aku sudah kalah. Cukuplah sudah aku berkata-kata. Mungkin memang sekarang saatnya aku menikmati kesendirian layaknya seorang pertapa tua.

Terakhir, untukmu Prathivi. Akan kularungkan pena beserta tulisan ini. Juga semua buku-buku yang pernah memuat karya-karyaku Ya, buat apa berkarya bila tak ada penikmatnya. Jadi, biarlah mereka tenggelam beserta semangatku untuk menjadi mataharimu yang menerangi semesta.

 

Dengan perasaan hancur Syams melipat selembar kertas yang baru saja ia torehkan dengan tulisan perpisahan. Lalu kertas, pena dan lima buku itu dimasukkan dalam kardus  kemudian dilarungkannya ke laut.

Dia sadar tak ada keabadian di alam fana ini. Ada awal pastilah ada akhir. Seiring hilangnya warna jingga matahari di bibir pantai Kenjeran, terbenam pula kisahnya sebagai matahari yang menyinari semesta dengan karya. Syams pun tak bisa menjawab, apakah ada saatnya “matahari” itu terpancar lagi.

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Paksi Kencana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler