x

\x22Enggak selamanya dunia berputar dan berpusat untuk kita, Mars.\x22\xd \x22Tapi aku, Mars, akan memberikan seluruh duniaku berputar untuk Venus.\x22

Iklan

Silmi Nur Afifah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 20:25 WIB

Venus

"Enggak selamanya dunia berputar dan berpusat untuk kita, Mars." "Tapi aku, Mars, akan memberikan seluruh duniaku berputar untuk Venus."

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Langit di sore itu sedang percaya diri menampilkan semburat jingganya yang indah. Berpaduan dengan burung-burung yang terbang dengan anggun di atas sana. Mengepakkan sayap tanpa beban di pundak. Jauh dari langit indah disana, sepasang netra tengah menatap burung-burung itu dengan kagum dari pucatnya ruang peristirahatan. Ia membayangkan bagaimana hidupnya akan indah jika hidup seperti burung yang bisa terbang bebas kesana kemari.

Fokusnya teralihkan pada suara detak jarum jam yang bertengger manis di dinding dan cukup mengganggu inderanya. Dapat dilihat oleh sorotnya bahwa jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Kenyataan membuatnya mendengus kesal karena waktu seakan memaksanya untuk kembali ke dalam suasana ruangan yang tak pernah memberikan rasa nyaman untuknya.

Venus, begitu sapaan akrab untuknya, mulai memejamkan mata. Membiarkan angin yang datang melalui jendela di samping tempat ia berbaring untuk membelai halus kulit wajahnya. Anak rambutnya sedikit bergerak dengan lembut mengikuti arah kemana angin itu bergerak. Detik berikutnya ia memutuskan untuk berbalik memunggungi jendela untuk menatap teman kecil yang sudah setia menemaninya, Aro, seekor ikan kecil berwarna jingga dengan ekor dan siripnya yang selalu bergerak dengan cantik. Venus sengaja meletakkan tempat tinggal Aro di samping tempat tidurnya agar ia tidak pernah mengenal kata bosan di ruangan yang sebenarnya memuakkan ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Knop pintu mulai bergerak, menandakan seseorang akan datang berkunjung. Entah perawat atau dokter dengan seragam lengkapnya atau mungkin Mars yang sudah berjanji akan menjenguknya. Setelah pintu berhasil dibuka dari sebrang sana, penglihatannya dapat dengan jelas menangkap dua sosok yang selama satu tahun terakhir ini hilang dari jarak pandangnya. Tak ada perasaan rindu juga tak ada ingin untuk memberikan peluk. Semuanya terlalu perih untuk Venus. Maka ia putuskan untuk kembali berbalik menatap jendela, membelakangi dua manusia yang asing baginya. Venus tak menyambutnya dengan senyum hangat juga tidak menunjukkan bahwa ia tertarik pada pertemuan sore menuju malam ini. Gadis itu hanya diam memunggungi sembari menunggu adanya obrolan diantara mereka sedang fokusnya lurus menatap dedaunan dari pohon yang bergoyang akan hadirnya angin sore.

"Venus,"

Dengan cepat Venus memotong kalimat lelaki yang mulai mengeluarkan suaranya di sana, "Langsung aja ke intinya. Ada apa?"

Gadis yang datang dan memilih untuk terus berdiri di samping Andrew tampil tanpa ekspresi apapun di wajahnya. Venus tentu sudah sangat mengenal mengapa gadis itu memilih diam dan Venus muak akan alasan itu.

"Minggu depan kami akan menikah."

Jantungnya terasa nyeri seakan ada pedang yang datang menghunus ke dalamnya. Dusta jika ia tidak menangis mendengar kalimat yang begitu menyakitkan. Tapi, Venus memilih untuk bungkam dan menahannya, tak memberikan respon apapun. Namun kontras dengan isi kepalanya yang sedang ribut. Bagaimana bisa kekasih dan sahabatnya dapat dengan tenang mengumumkan pernikahan mereka di hadapan Venus yang tengah terbaring akibat leukeumia yang dideritanya?

"Gue sama sekali nggak nyangka kalau hati lo berdua sebusuk ini."

"Ven-"

Venus memejamkan matanya kuat-kuat. Ingatannya kembali berputar tentang kejadian-kejadian atau pengalaman-pengalaman hidup yang sudah ia lewati bersama lelaki dengan sebait nama Andrew ini. Matanya mulai memanas akibat bulir-bulir bening di dalamnya sedang saling dorong untuk keluar. "Pergi."

Suaranya melemah, bahkan Venus tak kuasa lagi untuk membuka matanya. Pengkhianatan terbesar menghampirinya setelah kedua orang tuanya memilih untuk pergi meninggalkannya tiga tahun lalu. Bahkan kedua manusia yang hadir di hadapannya itu sama sekali tidak memiliki empati dengan keadaan Venus yang sedang terbaring lemah dengan segala peralatan guna membantu hidupnya. Tidak ingin ada keributan yang berlanjut, Andrew menuntun gadis di sampingnya untuk berjalan menghampiri pintu kamar meninggalkan Venus yang sedang berjuang menerima kenyataan pahitnya. Pahit, tentu karena hubungannya dengan Andrew sama sekali belum selesai sebelum Andrew mengumumkan pernikahannya. 

***

Jam dinding menunjukkan pukul enam pagi dan Venus belum juga terlelap. Matanya masih terjaga hingga kicauan burung yang merdu mulai berdatangan. Semakin lama semakin merdu namun terasa menyakitkan. Cairan bening yang sudah mengalir sejak kemarin petang sudah berhenti bertepatan dengan seseorang yang mulai melangkah masuk ke dalam kamarnya. Venus tersenyum menyambut kedatangannya, sebisa mungkin ia sembunyikan segala rasa sakit yang sedang menyerangnya. 

"Kemarin-"

"Enggak selamanya dunia berputar dan berpusat untuk kita, Mars." Venus segera memotong kalimat yang akan terlontar dari mulut saudara kembarnya karena ia tahu bahwa Mars sudah mengetahui kejadian apa yang tengah menimpanya. Mars hanya bisa menghela nafasnya dengan panjang. Lelaki itu tak mengerti bagaimana bisa adik kecilnya dapat bertahan meski dalam keadaan sedang terbaring diatas ranjang putih yang terlihat menyakitkan. 

Mars mengangguk, ia melemparkan tatapan teduhnya ketika sosok gadis kuat di hadapannya ini mengembangkan senyum manisnya. "Jalan-jalan ke taman mau?"

Bohong jika Venus tidak terharu dengan apa yang kakak laki-lakinya selalu lakukan untuknya. Mars akan melakukan apapun untuk adik kecil tersayangnya. Termasuk mengiyakan keinginan adiknya untuk duduk di pinggir kolam ikan yang terletak di halaman belakang rumah sakit. Bahkan sebelum Venus dilarikan ke rumah sakit, Mars tidak akan segan untuk membalas pelaku perundungan adiknya ketika Venus masih sekolah. Matanya dapat menangkap sosok Venus yang tengah tersenyum dengan amat sangat manis ketika gadis itu dihadapkan pada ikan-ikan yang sedang berenang dengan indah. Bagi Venus, ikan adalah satu-satunya makhluk ciptaan Tuhan yang dapat membuatnya merasa tenang.

"Mars,

"Selemah itu kah seorang Venus? Seburuk itu, kah? Seorang Venus tidak akan pernah cukup untuk seorang Andrew, iya? Bahkan seorang Venus pun tak akan pernah cukup untuk Papa juga Mama. Kalau memang hadirnya Venus cukup untuk Mama, Papa, juga Andrew, mereka nggak akan pergi apalagi Andrew yang dengan mudahnya menemukan sosok baru."

Mars bergerak untuk semakin mengikis jarak antar dirinya juga Venus. Maniknya menatap paras milik Venus lamat-lamat, adik kecilnya yang cantik juga manis kini sudah tumbuh menjadi gadis yang kuat. Gadis yang menanggung beban berat bahkan jika Mars diberi kesempatan untuk menggantikan Venus di posisinya, ia yakini ia tak akan bertahan sekuat Venus. Secara perlahan, bulir bening itu mulai membasahi pipi gembul milik Venus. Adik perempuannya tak menahan juga tak berusaha menghilangkan jejak air matanya yang mengalir.

Ibu jarinya bergerak menghapus air mata yang kian deras, setelah itu tangannya yang besar bergerak menangkup wajah mungil milik Venus. Mars tersenyum hangat disana, "Kamu ngga boleh bicara kaya gitu karena kamu lebih dari cukup untuk Mars."

***

Udara pagi hari ini terasa begitu hangat ketika semilir angin saling membelai lembut surai milik dua anak kembar yang tengah bersiap untuk sarapan. Venus duduk di atas ranjangnya dengan sarapan di hadapannya yang diletakkan di atas meja kecil. Sedang Mars duduk di samping ranjang milik Venus, ia melahap roti isi coklat yang sengaja Venus siapkan untuk Mars di kamarnya. 

"Enak?" Tanya Mars sembari memperhatikan Venus yang cukup lahap dalam aktifitas menyantap sarapannya.

Gadis itu tersenyum lebar, seakan sakit dan beban yang menimpanya kemarin sudah sirna. Venus menggeleng pelan, "Enggak, hahaha."

Mars tertawa gemas dengan mulut yang masih dipenuhi roti isi coklatnya, "Terus-"

"Kan biar cepet sembuh."

Lagi, Mars dibuat takjub dengan Venus dan usahanya untuk sembuh walaupun hanya memiliki sedikit kemungkinan untuk mewujudkan kesembuhannya. 

"Mars,"

Mars tidak menjawab, digantikan dengan ia yang menumpahkan seluruh fokusnya pada sosok Venus dihadapannya. Tangannya bergerak untuk menggenggam tangan mungil milik Venus sembari mengelusnya dengan lembut. Setelahnya ia berdiri untuk merapikan peralatan makan yang sudah selesai Venus gunakan. Mars berjalan menuju meja yang tak jauh dari ranjang dan mulai menaruh peralatan makannya dengan rapi. Selesai menyimpan peralatan dengan rapi, anak sulung dari Papa Adam dan Mama Nara berbalik dan kembali berjalan mendekat untuk duduk di sisi adiknya. "Jangan banyak begadang, ya? Kalau tugas dari kampus banyak, kerjainnya harus dicicil. Jangan dikerjain sekaligus sampai begadang."

"Jangan telat makan juga, okay? Jaga kesehatan selalu."

Bibirnya melengkung dengan manis ketika mendengar kalimat demi kalimat manis yang jarang terlontar dari mulut adiknya, "Iya-iya, tumben?"

"Hehehe, selama ini kan nggak pernah kaya gitu. Aneh, ya?"

Mars menggeleng pelan sebagai bentuk atas jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan adiknya. Ia semakin mengeratkan genggamannya. Menyalurkan kehangatan melalui genggamannya agar Venus semakin nyaman berada di dekatnya dan hal itu terbukti dari senyum Venus yang belum juga memudar.

"Kemarin, orang yang namanya Venus masih kuat buat ketemu hari esok. Tapi, kayanya sekarang udah nggak begitu kuat dan jauh lebih takut setiap harinya." Venus menunduk, ia menatap tangannya yang masih berada di dalam genggaman erat sang kakak.

"Mars, mau janji, kan?"

Dalam posisi duduknya, Mars berusaha untuk menahan cairan bening di pelupuk matanya. Ia tak ingin adik satu-satunya ini melihat sosok kakaknya yang kuat menangis. Maka Mars memilih untuk membawa Venus ke dalam dekapannya. Tangan kanannya mengelus surai panjang milik Venus juga tangan kirinya mengelus lembut punggung yang sudah tampak ringkih milik Venus. "Janji apa?"

"Janji untuk selalu kuat, ya? Boleh nangis, kok. Tapi, nangisnya cuma boleh di rumahku nanti. Mars juga harus janji untuk enggak sedih kalau aku pulang nanti. Boleh sedih, kok. Tapi lagi-lagi, sedihnya di rumahku aja nanti. Biar Mars nggak sedih sendirian."

"Dulu, mama cerita kalau nama Mars dan Venus disematkan untuk anak kembarnya karena mama ingat cita-cita papa yang nggak tercapai jadi seorang astronaut. Akhirnya papa memutuskan untuk menjadi dosen astronomi dan bertemu dengan mama yang juga seorang dosen. Mama selalu cerita gimana antusiasnya Papa kalau Mars dan Venus banyak bertanya soal pengetahuan luar angkasa. Mama juga bilang kalau pemberian nama Mars dan Venus adalah nama yang paling indah yang pernah Mama dan Papa dengar."

"Ada satu buku yang akhirnya membuat Mama dan Papa memutuskan untuk memberikan kita nama Mars dan Venus. Judulnya Men Are From Mars, Women Are From Venus. Kalau nanti aku udah pulang, tolong dibaca, ya? Atau mau baca bareng-bareng di rumahku?"

Mars semakin mengeratkan pelukannya. Tentu ia amat sangat paham dengan ucapan-ucapan yang dimaksud Venus. Mars tahu rumah yang dimaksud Venus. Ia tak ingin lebih banyak mendengarnya lagi. "Venus..."

"Mars, kalau aku bilang terima kasih, jangan ketawa, ya?"

Kakak laki-lakinya hanya diam tak menggubris, maka Venus menganggap bahwa diamnya Mars adalah persetujuan dari kakak laki-lakinya itu.

"Mars, terima kasih. Terima kasih karena dengan hadirnya Mars sebagai kembar yang lebih tua dari adiknya ini, hidup Venus jadi terasa lebih aman dan berwarna. Terima kasih untuk Mars karena sudah kuat menjadi anak laki-laki dan anak pertamanya Mama dan Papa. Terima kasih karena sudah lebih tegar ketika Mama dan Papa memilih pergi untuk selamanya. Terima kasih karena selalu berada di sisi adik perempuannya, Venus. Terima kasih karena selalu berdiri di baris terdepan untuk melindungi Venus terhitung sejak kita dilahirkan."

"Venus sayang Kakak Mars."

Mars tak lagi mampu membendung tangisnya. Dadanya sakit ketika Venus telah menyelesaikan kalimat manisnya. Didekapnya tubuh mungil itu erat-erat. Nafas tenang milik Venus terdengar berhembus dengan teratur. Namun semakin lama, Mars menyadari bahwa nafas yang tenang itu seakan perlahan menghilang bersamaan dengan melemahnya pelukan dari Venus. Detik ini, Mars tidak bisa menerima kenyataan pahitnya. Kenyataan tentang adiknya yang benar-benar pulang ke rumah. Rumah yang Venus maksud adalah rumah dimana kedua orang tuanya sekarang berada. Ia kecup dengan lembut puncak kepala adiknya, kemudian bergerak untuk merebahkan Venus di ranjangnya. Mars menatap wajah Venus yang begitu tenang dengan senyum kecil yang belum luntur dari wajahnya.

Tubuhnya bergerak semakin dekat, di elusnya pipi Venus yang sudah amat pucat. "Kakak Mars lebih sayang sama Venus. Terima kasih, ya, sudah bertahan sejauh ini. Venus manusia paling cantik, pintar, juga kuat yang Kakak Mars sayang di dunia yang jahat ini. Janji, ya, untuk sering-sering mampir di mimpi Kakak Mars?"

"Terima kasih, Venus."

Ikuti tulisan menarik Silmi Nur Afifah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB