x

Iklan

yopi ana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 20:40 WIB

Burung-Burung Pemberi Kabar


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Burung-Burung Pemberi Kabar

 

Teruntuk kamu,

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seseorang yang bahkan tidak mungkin menjadi sebuah titik pada pandangku

 

Ia berhenti setelah menuliskan beberapa kata pada belakang selembar kertas propaganda sebuah destinasi pariwisata di dalam saku celananya, kertas propaganda yang didapatkannya dari sebuah agen perjalanan yang melakukan promosi di sepanjang Delft. Getar tangannya membuat tulisan tangannya tidak rapi.

Jedanya beberapa detik, mungkin lebih. Pijar senja yang tampak turun perlahan, sinarnya memenuhi pandangan yang dijarak oleh gerimis yang tak kunjung henti. Untuk kali yang tak terhitung, ia menyaksikan senja yang digeluti gerimis dari jarak yang begitu dekat.

Seorang diri. Senja yang menangis. Begitu ia menamakannya.

Sinar senja membuat matanya menyipit. Sepanjang hidupnya dia sudah menulis puluhan bahkan ratusan surat, yang separuhnya tidak berbalas dan sisanya kembali kepada sang pengirim. Menulis surat-surat itu telah menjadi kebiasaannya. Tak dikirimkan pun tak apa-apa. Hanya pada saat-saat rudung rindunya tak terbendung, ia akan menyendiri, di dalam kamar kerjanya yang berantakan, di salah satu sudut taman di tepi rumahnya di Delft, sesekali dipertengahan jalan pulangnya dari Oude Kerk, lalu pada saat dia menyaksikan senja dan gerimis, sekaligus. Seperti hari ini.

Ia akan menuliskannya dimana saja, terkadang bertumpuk pada kata-kata di sekujur tubuh De Telegraaf, lalu pada kertas bekas pembungkus leiden, tak jarang dia menuliskannya pada selembar daun kering, dan dimana saja, dimana saja saat rindunya menyerangnya layaknya badai.

Tak ada niatnya lagi untuk mengirimkan surat-surat itu sejak tahun-tahun lalu surat itu kembali kepadanya, hanya pada angin ia berharap, rindu dan isi hatinya akan sampai pada kekasih hatinya.

Bukan ia tak berusaha untuk membuat surat-surat itu sampai kepada penerimanya, tapi ia tak mampu melakukannya. Ia terusir dari rumahnya sendiri dan tidak diperbolehkan pulang. Sampai sekarang pun ia tak paham kesalahan apa yang diperbuatnya, tanpa alasan yang patut diketahuinya, namanya dicoret dari rumah dimana seharusnya dia berasal.

Baginya, hidup adalah lingkaran yang berisi bongkahan-bongkahan penyesalan yang tak akan bisa diperbaiki. Seharusnya ia tidak pergi meninggalkan Ling, sejak awal ia tak seharusnya menerima beasiswa ke Delft untuk menambah gelar pada ujung namanya. Sejak awal ini adalah kesalahannya. Begitu ia selalu menyalahkan dirinya sendiri.

Surat-surat ini adalah luapan penyesalan dan juga kerinduan

Ling, sepanjang hidupku, tak sedetikpun aku melupakanmu

Rinduku melebihi hujan yang menjatuhi dunia tempat kau berada begitu juga dengan pisahan dunia tempatku bersinggah

Ling, Ling, Ling, namamu tak ubahnya mantera bagiku

Aku merindukanmu Ling, sungguh

Dari burung yang mengabari perihal kabarmu yang terbaru, sesungguhnya membuat hatiku yang banjir karena merindukanmu menjadi gersang seketika, tapi aku tetap menamakannya kerinduan, kerinduan yang semakin menjadi, Ling

 

Sepanjang hidupnya hampir dihabiskannya dengan menerka, apakah Ling merindukannya sebanyak gerimis yang meracau sekarang? Sebanyak rindunya pada Ling.

Sudah puluhan kali bumi merotasi matahari, tak sedetikpun Ling meninggalkan memorinya. Bulan sabit sempurna yang dibentuk kedua sudut bibirnya, kerling tajamnya saat marah, bahkan pada takar kopi buatan Ling. Semuanya…semuanya disimpan didalam sebuah kotak yang sengaja disisihkannya di dalam ruang otaknya yang diberi label ‘milik Ling’.

Kerinduan tak ada beda dengan sebuah penyiksaan baginya, sebuah dilema batin yang tak terselesaikan. Kecemasan menjadi mimpi buruk, jika ia tidak akan pernah bertemu dengan Ling sampai masanya habis dan asanya tak tersampaikan.

Ia melanjutkan paragraf selanjutnya. Tidak menghiraukan secangkir kopi yang baru saja tersaji didepannya.

Ling,

Daripada meminta pengampunan atas dosa-dosaku dihadapan Tuhan, aku malah menyebut namamu sekaligus menyampaikan rinduku disetiap doaku

Ia selalu mengibaratkan tubuhnya adalah onggokan daging telanjang yang penutupnya tertinggal di rumah dimana tempatnya seharusnya berada bersama Ling.

Dari Amsterdam, beralih ke Den Haag, lalu berlabuh di sebuah gemeente  yang berada di selatan Holland, Delft. Tempat-tempat itu tak lain baginya adalah baju-baju yang bisa dipakainya kapan saja dan ditanggalkan di sudut paling dalam lemari bajunya. Begitu saja. Tidak ada yang benar-benar membuatnya betah, rasanya hanya sementara, tak ada yang terasa seperti ‘rumah’ baginya.

Tak jarang pun ia merasa sedang terpenjara di dalam dunia yang lebih luas. Sesekali, di kala rindunya berubah menjadi bah yang menembus bendungan-bendungan yang mendindinginya.

Saat siang begitu gersang baginya, jelma malam pun menjadi begitu usang.

Seorang diri.

Tak terhitung kali ia menyalahkan Tuhan. Atas pengusirannya, atas haknya yang dirampas, atas fitnah tak berdasar yang diarahkan kepadanya, atas tuduhan yang tak dilakukannya, atas cintanya kepada Ling, begitu juga atas kerinduan yang menggerogoti detik hidupnya yang terus berjalan menuju akhir jaman.

Ia tau, bukan hanya ia seorang. Di Delft, ia juga bertemu orang-orang yang memiliki kisah yang sama. Terusir tanpa bisa kembali.

Di tepi Sungai Nieuew Maas yang meliuk membentuk kanal-kanal di bawah Jembatan Erasmus, kisah serta cerita tentang masa lalu mengalir seiring getir kerinduan yang dipuas pias tak tersampaikan. Senja di kala itu menjadi sedikit lebih menghibur, juga secangkir kopi hangat yang disajikan dengan roti gandum.

Meskipun pada akhirnya malam pun tetap akan usang lalu berakhir tandus.

Ling, asaku padamu tak pernah memudar

Puluhan burung boleh saja mengabariku perihal yang sama, namun aku tetap mengharapkan sebuah pertemuan kembali denganmu

Gerimis yang masih bersolek seakan menjatuhinya, rintiknya, beberapa ikut menjatuhi tulisan tangannya kemudian berbaur, luntur bersama aneka warna penghias kertas propaganda.

Tiba-tiba saja ia rindu dengan senja yang pernah dilewatinya dengan sang kekasih hati. Senja yang seolah berhenti di tepi Pantai Banyuwangi yang dihiasi lembayung senja. Saat paling romantis dalam hidupnya, jauh, sangat jauh sebelum akhirnya ia terusir dan tidak bisa kembali di kemudian hari.

Hanya bersisa sebelas hari, waktu itu, sebelum akhirnya ia bisa kembali kerumahnya. Tiket kereta, tiket pesawat, beserta dambri sudah di dalam genggaman, namun siapa sangka lembaran kertas itu saat ini menjadi penghuni kardus di kolong ranjangnya bersama sepasang sepatu usang pemberian Ling pada hari keberangkatannya.

Hari itu akhir September, saat Indonesia menorehkan sejarahnya sendiri.

Pulau Buru. Tempat para pengasing. Dipaksa. Diburu. Manusia menjadi orang-orangan sawah. Hanya seperti itu. Seterusnya. Bertahun. Tanpa arti.

Pandangnya menerawang, jauh. Sampai-sampai tak bisa dijangkaunya sendiri.

Ia menjadi ingat, hari puluhan September yang lalu, hari pertama Ling berkabar melalui burung yang terbang puluhan mil.

 

Hari itu hatiku berkeping Ling, butuh puluhan September lagi untuk memperbaikinya

 

Ia patah hati, hari puluhan September yang lalu. Bukan karena Ling yang meninggalkannya lalu menikah dengan lelaki lain, lebih dari itu, lebih dari seorang lelaki yang menggantikannya. Ling memiliki puluhan lelaki yang menggantikannya untuk diajak menjadi petualang setiap malam. Setiap malam bagi Ling, pun baginya adalah sebuah medan perang.

Kata burung-burung pemberi kabar itu, Ling menjajakan tubuhnya setelah ayah dan kakak laki-lakinya tak pernah kembali dari Pulau Buru.

Ia menyingkap cangkir kopinya yang sudah hampir kehilangan panasnya yang seolah berbaur dengan angin dari ketinggian 30.000 kaki di atas permukaan laut. Kopi pemberian seorang pramugari bermata biru keturunan Skotlandia-Holland. Pahitnya, sampai ke pangkal lidah. Mungkin akan bertahan selamanya.

Awan di luar sana bergelombang kecil dan pendek, mirip buntal kasur kapuk buatan Ling. Tapi, warnanya tak rona, pucat seperti senja yang terjatuh diantara himpitan pepohonan jauh di bawah sana.

Ling,

Aku mencintaimu

Meski tubuhmu remuk redam dalam rangkulan tangan-tangan tak kukenal, aku tetap ingin memilikinya. Meski aromamu telah menjadi milik bersama, aku pun tetap ingin merasakannya. Aku pemujamu, selalu akan seperti itu.

Dukamu karena aku, pun laramu.

Kau tak perlu memaafkanku karena telah meninggalkamu, kau tak juga harus memaafkanku karena terus menerus mengirimi surat-surat, pun kau tak wajib memaafkanku karena aku masih mencintaimu ketika menyandang status lelaki beristri.

Tapi aku selalu mendoakan kebahagiaanmu Ling, kau bisa mempercayaiku untuk hal itu. Lalu, sebuah harapan untuk bertemu kembali denganmu. Dan sekali lagi, kita akan bertemu di tepi Pantai Banyuwangi seperti puluhan September lalu di senja hari  yang ranum dengan sempurna.

Ling, aku akan menunggu hari itu, hari dimana burung-burung pemberi kabar mengabariku tentang keberadaanmu dan aku akan datang dari negeri tempat pelarianku.

                                                                       

 

                                                Teruntuk Ling, Surat Yang Kuterbangkan Bersama Angin

****

 

 

 

Ikuti tulisan menarik yopi ana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB