x

Iklan

Belvaninda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 21:47 WIB

Argumen Maya yang Tak Kunjung Nyata

Selalu muncul dipikiran, namun hanya kahayalan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Argumen Maya yang Tak Kunjung Nyata

 

“Kok bisa sampai kayak gini kejadiannya?! Kalau sampai kabarnya kesebar ke tetangga-tetangga terus jadi buah bibir, gimana?? Harus ngomong apaaa Bundaa?!”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 “Ya kan orang gak tau Bun apa yang sebenernya terjadi!! Aku deh yang bakal jelasin ke semua orang kalau gitu-”

“Siapa yang mau dengerin penjelasan kamu?! Siapa yang butuh klarifikasi kamu? Nggak semua orang peduli sama kejadian aslinya!! Gosip secepat itu menyebarnya, satu bibir berbicara, 1000 telinga mendengar!! Kamu mau datengin tiap rumah terus jelasin satu persatu??”

Argumen lantang yang masih terus berulang di kepalaku, sembariku menyusuri jalan setapak menuju rumah dengan hati gugup berdegup kencang. Aku baru saja pulang setelah pergi bersama dengan temanku, Hani, ke Nusantara Mall 2. Di sini, adalah tempat di mana para remaja biasa berkumpul dan bercengkrama, sambil memandang bulan menggantikan jam kerja matahari. Setelah 6 jam berkeliling dan hampir seluruh toko sudah kita datangi, Hani mengajakku untuk makan malam bersama karena waktu makan malam hampir tiba.

“Ayo kita kesini, gue tau restoran yang enak banget dan gue biasa disitu. Harganya yaa gak pricy laah, dan environment-nya…. Bagus kok!”, sangat bahagia Hani ketika mengatakan itu sambil menarik-narik tanganku saking senangnya. Aku termasuk orang yang jarang pergi kesana, jadi aku tak begitu hafal dengan semua toko dan restoran yang berada di mall tersebut. Aku yang tertawa melihat tingkahnya lucunya itu langsung mengikutinya dari belakang. Namun, makin lama perjalanan ke restoran tersebut, makin gelap jalan yang kita telusuri.

Tak lama kemudian, Hani berteriak “Yeyy kita sudah sampai!! Yuk masuk!” Aku terdiam, tempat yang gelap disinari oleh lampu warna warni,  tempat yang penuh asap dengan aroma yang menyengat, ruangan yang dipenuhi oleh remaja dengan suara tawa canda mereka beserta alunan musik keras. Ya, klub malam namanya. Seumur-umur, aku belum pernah sama sekali pergi kesana, itu bukan budayaku dan keluargaku sedari kecil sudah mengajarkanku untuk menjauhi hal-hal yang buruk. Saat aku menengok ke kanan, Hani sudah tidak berada di sampingku, Ia sudah sibuk bergaul dan tertawa bersama dengan orang asing yang berada di sana.

Tiba-tiba saja seorang pria menarikku, menawarkanku minuman, dan mengajakku berkenalan. Aku menolak. Ia marah kepadaku, melemparkan gelas yang tadi dia tawarkan, mulai berbicara dengan suara nada yang lebih tinggi daripada sebelumnya, dan menamparku dengan keras. Aku gemetar ketakutan, langsung mengalihkan pandangan dan mencari di mana Hani berada. Tak ku sangka, Hani sudah menghilang dari pandanganku. Dalam keadaan panik, Aku langsung mengabaikan pria itu dan Hani, berlari menuju pintu keluar, dan memesan taksi lewat telepon dengan tanganku yang masih gemetar.

Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan ketika masuk ke dalam taksi. Hati gelisah masih tidak menyangka apa yang telah terjadi. Meskipun rasa kaget masih menyelimuti, namun aku merasa lega bahwa diriku sudah lepas dari situasi tidak mengenakan itu. Saat diriku mulai tenang dan memejamkan mata, suara-suara mulai muncul di kepalaku. Aku mulai membayangkan bagaimana reaksi Bunda ketika tahu tentang kejadian hari ini. Pasti ia akan memarahiku, atau mungkin tidak mengizinkan aku bermain bersama teman lagi, atau bahkan kita akan berargumen semalaman sampai fajar tiba.

Pak supir taksi menarik rem, aku langsung membuka mata dan menyadari bahwa kita sudah sampai di depan gang rumah. Setelah membayar, aku lekas turun dari taksi dan berjalan kaki. Meskipun gang itu tidak terlalu sempit, namun kendaraan beroda empat tidak bisa melaluinya. Berjalan di jalan yang hanya disinari oleh lampu taman itu, membuatku semakin gugup, dan semakin penuh kepalaku memikirkan apa yang akan terjadi di rumah sesaat aku sampai disana. Aku tiba-tiba tersadarkan, bahwa bajuku berbau asap dan alkohol. Baunya mirip sekali dengan apa yang aku cium saat di klub malam itu. “Aduh…. pake bau segala lagi, gue harus bilang apanihh ke Bunda?? Aduh repot banget kalau begini ceritanya…” Situasi yang mendadak ku sadari itu semakin membuat hatiku tidak tenang, apalagi hanya tersisa 10 langkah lagi dan aku akan sampai di gerbang depan rumah.

Aku merenung sejenak, lalu mengetuk pintu depan rumah yang sudah tua itu dengan hati-hati. Tentu, ini masih jam 10 malam, Bunda masih sibuk mengerjakan pekerjaan kantornya. Bunda membuka pintu dengan senyuman. “Kamu jam segini baru pulang? Darimana-” tiba-tiba Bunda terdiam dan mendekatkan dirinya kepadaku, sambil sepertinya, ia sedang mengendus bau bajuku. “Aduh… Bunda kan orangnya peka… Bisa-bisa abis ini…” bicaraku dengan diriku sendiri dalam hati. Tiba-tiba raut wajah Bunda berubah, menjadi lebih serius dan menatapku. Namun, Ia tersenyum lagi dan berkata, “Ahh sudah nanti saja, kamu masuk dulu aja, pasti capek”. Dengan muka terkejut, Aku masuk ke dalam rumah.

Aku melihat Ayah di meja makan, Ia mengayunkan tangannya dan mencoba menyapaku dalam kesunyian. Lantas aku balas dengan nada gugup, “Ha.. halo Ayah… i-i-i iya Maya baru balik. Maya ke kamar dulu ya…” Aku langsung tergesa-gesa pergi ke ruangan dengan pintu berwarna merah maroon di depanku. Sesampainya di kamarku, aku terheran-heran, “Bunda perasaan tadi nyadar deh…. Kok dia nggak ngomong apa-apa ya?? Yasudahlah… gue bisa lebih tenang sekarang..” hela napasku panjang. Aku tau diriku tidak salah, dan itu hanyalah sebuah kejadian yang tidak disengaja, dan… Akulah yang menjadi korban. Tapi, mengapa Aku merasa bersalah dan takut dimarahin ya? Pikiran bagai labirin itu muncul lagi… Mengabaikan kejadian tadi, Aku langsung rapih-rapih, melempar diri ke kasur, dan dalam sekejap akupun terlelap.

 

                                                                                                ***

Hari ini hari Sabtu, matahari sudah mulai bersinar, aroma nasi goreng Bunda sudah sampai di jendela kamarku. Aku bergegas keluar dari kamar dan menunggu di meja makan. Ayah yang sudah lebih dulu menjadi pelanggan pertama, mencoba mengatakan sesuatu padaku dan mengisyaratkan melalui ayunan tangannya. ‘Pagi Maya, capek ya semalam pulang malem? Ngga ada masalah apa-apa kan?’, itulah arti bahasa isyarat yang Ayah sampaikan kepadaku. Ayahku, memang spesial. Ia sudah tunarungu sejak umur 3 tahun. Meskipun banyak orang memandangnya sebelah mata karena tunarungu, namun bagiku, Ayah tidak berbeda jauh dari yang lain. Banyak orang yang tidak menginginkannya, tapi bukan berarti ia tidak berguna. Hanya saja, orang tidak melihat dari sudut pandang lain.

Aku pun membalasnya menggunakan bahasa isyarat,

‘Hmm.. Iya yah, capek hehe… Semalam ngga ada apa-apa kok pa, memangnya kenapa?’

‘Bunda tadi bilang, sepertinya pipi kamu merah semalam, dan Bunda nggak mencium wangi parfum kamu, melainkan sepertii… bau alkohol’, balas Ayah.

Aku terkejut tentang apa yang disampaikan oleh Ayah, Bunda benar-benar tau dan menyadari hal itu, ‘Iya Yah, Maya nggak bisa bohong sama Ayah dan Bunda, tapi Maya nggak kesitu atas kemauan sendiri Yah..’ jawabku dan akupun menceritakan kejadiannya pada Ayah.

‘Ohh begitu kejadiannya… kemarin sebenarnya Bunda mau menanyakan hal ini sama kamu. Cuman Bunda takut kalau kamu sudah mengalami hari yang berat, pertanyaan ini akan memberatkan kamu lagi. Nanti Ayah ceritakan ke Bunda ya soal ini.’

‘Tapi Ayah, Maya takut Bunda marah…’

‘Kamu sudah berani jujur, kamu liat raut wajah Bunda sekarang… Dia baik-baik aja kan? Nggak terlihat muka marah atau jutek tuh, atau kayak mau menginterogasi kamu..’

Aku hanya mengangguk, dan merenung. Ini diluar ekspetasi, dan diluar apa yang aku pikirkan sedari semalam. Aku tidur dengan baik, tidak ada berargumen dengan Bunda hingga ayam berkokok. Aku juga beranggapan Bunda akan marah besar kepadaku. Namun nyatanya, jauh dari apa yang aku pikirkan.

Ini bukan pertama kalinya, kejadian yang dari awal ada di pikiranku dan aku bayangkan, namun tidak terjadi. Ini hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak kejadian serupa yang bahkan mungkin akan terus berlanjut nanti. Apabila aku flashback, aku juga pernah bolos sekolah sehari pada kelas 10 SMA. Ketika menuju rumah, pikiranku menyusun dialog argumen dengan sendirinya. Bagaimana salah satu guruku akan mengabarkannya kepada Bunda, lalu Bunda akan memarahiku, dan mulai besoknya, dia akan mengawasiku setiap hari aku pergi ke sekolah. Namun, hal itu tidak terjadi.

Begitu juga dengan tanggal 10 Oktober lalu, Tifanny, teman sekelasku, mencoba untuk mnegintimidasiku dengan kata-kata pedasnya. Dia memandang diriku sebagai orang yang lemah, orang yang tidak tahu diri, berbeda dari mereka karena Ayahku adalah seorang tunarungu, di depan kelas dengan suara lantang. Aku ingat sekali kejadian itu dan sangat membekas dipikiranku. Saat itu, aku ingin sekali membalasnya, dengan mengatakan bahwa dia orang yang sangat lemah dan pengecut, karena hanya mengata-ngatai kelemahan orang lain, dan tidak pernah terdengar satu kata pun hal baik tentang seseorang. Dia menjelek-jelekan seseorang supaya dirinya terlihat hebat dan bagus dimata orang lain. Namun nyatanya… lagi…. Aku hanya terdiam disitu dan memilih menatapnya hingga bel jam pulang berbunyi. Dan sesampainya aku di rumah, aku hanya menangis. Entah menyesal tak membalasnya, atau karena sakit hati atas omongannya.

Mengapa pikiranku bisa seperti itu? Apa hal ini hanya terjadi padaku? Mengapa pikiranku terus membuat cerita seolah dia tau apa yang akan terjadi. Nyatanya, dia salah total tuh. Bagaimana cara menghentikan hal ini? Apa yang harus ku lakukan? Apa hal ini bisa ku hentikan? Kalau ditanya apakah terganggu dengan pikiran seperti itu, tentu sangat mengganggu adalah jawaban tegasku. Terkadang aku bisa menjadi tidak fokus, melamun, terlalu memikirkannya sehingga rasa cemas muncul, emosi yang tidak menentu, dan rasa lelah yang menghampiri padahal aku tidak melakukan kegiatan fisik apapun, alias lelah secara psikologis. Dan mengapa yang muncul di kepalaku, selalu kejadian yang negatif? Dan kebanyakan berisi argumen yang sangat keras dan membuat kepalaku pusing?

Pertanyaan-pertanyaan ini yang sampai saat ini masih belum bisa kujawab. Tidak bisa kucari lewat Google ataupun situs pencarian lainnya. Mungkin argumen maya yang tak kunjung nyata ini masih akan terus terjadi kepadaku sampai entah kapan, tetapi aku berharap itu juga akan membantuku untuk mencari tahu, tentang sesuatu, yang sangat ingin aku tahu, dan yang mungkin semua orang pun tidak tahu jawabannya.

Ikuti tulisan menarik Belvaninda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler