x

Iklan

Nurul Miftahul Jannah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 22:18 WIB

Nelangsa Anak Jalanan

Cerita tentang mimpi-mimpi dari anak jalanan dan keinginan mereka untuk bisa bersekolah seperti halnya anak-anak seumuran mereka. Namun, terhalang dalam hal ekonomi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sore ini, hujan turun membasahi kota–menumpahkan segala kerinduan dari langit untuk bumi. Padahal siang tadi, matahari bersinar begitu terik, tapi lihatlah sekarang hujan turun begitu derasnya. Huh, cuaca memang tidak bisa ditebak. Aku mengajak Endang dan Riri ke toko yang adalah di seberang jalan–sebuah toko bangunan yang kuketahui memang hanya beroperasi hingga sore hari. Setibanya di sana, Riri menggelar sebuah kardus untuk dijadikan sebagai pengganti tikar katanya.

Aku mengulurkan tanganku–merasakan setiap rintik hujan yang jatuh. Suara air hujan yang bersentuhan dengan atap bangunan terdengar seperti sebuah melodi yang menyenangkan. Belum lagi bau tanah yang basah–khas ketika hujan turun semakin membuat sesuatu membuncah di dalam hatiku yang 'tak pernah kutahu apa namanya. Aku hanya tahu, aku merasakan 'kedamaian' saat hujan turun.

Dari emperan toko ini, dengan pengamatan yang baik aku bisa melihat trotoar yang berlubang, mobil-mobil yang bergerak lambat–dan semakin lambat karena hujan, belum lagi motor-motor yang selalu menyelinap di antara kendaraan besar saat ada celah, ataupun berhenti berteduh seperti kami. Dan satu yang 'tak lepas dari pengamatanku adalah anak sekolah yang menunggu angkot di halte seberang jalan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Bintang!?" Teriakan seseorang memanggil namaku membuat lamunanku buyar. Aku menoleh ke belakang–ke arah pelaku yang hampir saja membuat gendang telingaku pecah.

"Ada apa sih 'Ndang?" tanyaku setengah berteriak agar tidak teredam oleh suara hujan.

"Kau tahu, dari tadi aku memanggilmu tapi kau tidak mendengarnya," jawab Endang–sahabat karibku yang bertubuh gembul dengan kulit cokelatnya.

Aku hanya cengengesan.

"Jangan terlalu sering melamun Bintang, kamu tahu 'kan terakhir kamu melamun kamu kesurupan," ujar Riri–sahabatku yang polosnya keterlaluan.

"Hey Ri, waktu itu 'kan Bintang cuman bercanda." Endang memukul bahu Riri dengan pelan.

*Sakit tahu. Eh, tapi benar waktu itu cuman bercanda? Wah, hebat banget kamu Bintang. Cuman pura-pura tapi bisa buat semua orang panik." Aku hanya tertawa mengingat kejadian waktu itu, di mana aku berpura-pura kesurupan agar tidak dipalak oleh anak-anak nakal yang selalu menunggu di ujung gang.

Suasana kembali hening, hanya ada suara gemercik air hujan dan klakson kendaraan yang saling bersahut-sahutan. Angin berembus memberikan sensasi dingin yang menusuk hingga ke tulang.

"Apa kalian pernah berpikir ingin sekolah, seperti anak-anak seumuran kita?" tanyaku dengan pelan tapi cukup untuk didengar oleh Endang dan Riri.

*Sekolah?" ulang Riri. "Aku ingin sekali merasakan yang namanya sekolah," lanjutnya.

"Ya, aku juga ingin. Katanya sekolah itu menyenangkan," ucapku menyetujuinya. "Bagaimana denganmu Endang?"

"Aku tidak ingin sekolah. Asal kalian tahu ya, sekolah itu tidak seperti yang kalian pikirkan. Lihat di seberang jalan sana, setiap pagi mereka berangkat untuk sekolah dan sore hari seperti ini mereka baru pulang," ujar Endang. Aku dan Riri menatap anak sekolah yang kini satu persatu mulai memasuki angkot.

"Tapi apa bedanya dengan kita yang setiap hari harus bekerja dan lihatlah sore hari seperti ini kita juga baru akan pulang ke rumah 'kan?" bantah Riri.

"Ya ... Tentu saja berbeda. Kalian pasti belum tahu 'kan, setiap hari mereka yang bersekolah selalu mengeluh karena tugas yang diberikan oleh guru mereka. Belum lagi katanya pelajaran yang bernama Mat ... Mak ... Ah iya, Matimatika yang setiap hari selalu membuat mereka sakit kepala," ujar Endang menggebu-gebu.

"Bagaimana kau tahu semua itu?" tanyaku heran, pasalnya Endang 'kan tidak pernah sekolah. Lalu, darimana dia tahu pelajaran anak-anak yang bersekolah.

"Aku tahu dari temanku yang sekolah di dekat Pasar Cendana. Setiap bertemu denganku, dia pasti mengeluh tentang guru-gurunya yang selalu marah-marah dan menghukumnya. Menyeramkan bukan?" Aku mendengarkan semua cerita Endang dengan saksama.

Riri sudah menggeleng dan mengatakan tidak mau bersekolah. Aku pun sebenarnya cukup takut mendengar cerita dari Endang, tapi apa iya sekolah semenyeramkan itu?

*Oh ya, kalian tahu? Di sekolah ternyata tukang palak itu juga ada loh. Mereka yang lebih tua akan memalak uang jajan dari anak-anak yang di bawahnya," tambah Endang.

"Tukang palak? Lebih seram mana dari bang Agis?" celetukku bertanya.

"Bang Agis ya? Mungkin masih lebih seram bang Agis," jawab Endang mengecilkan sedikit suaranya. Aku dan Riri lantas tertawa.

"Kalau begitu mah belum ada apa-apanya," ucap Riri dengan sisi tawanya.

*Sudah ah, jangan sebut-sebut nama bang Agis, nanti dia datang lagi." Bang Agis adalah salah satu preman yang selalu nongkrong di ujung gang menuju kampung Kicempreng–tempat tinggal kami bertiga. Dia terkenal dengan julukan 'Si pemalak' karena tidak akan pernah membiarkan orang-orang lolos melewati gang sebelum diberi uang.

Kami membicarakan banyak hal. Dari yang lucu hingga seram, yang penting hingga tidak penting sama sekali. Hujan ternyata baru berhenti pukul 10 malam. Tentunya kami bertiga tidak akan bodoh menunggu sampai larut malam. Kami memutuskan untuk pulang sambil bermain hujan saja dan tiba di rumah tepat saat adzan magrib. Hal yang aku syukuri hari ini adalah karena tidak ada bang Agis yang memalak kami.

Setelah bersih-bersih aku menyusul bapak yang ada di dapur. Beliau sedang memperbaiki atap rumah kami yang bocor. Aku tidak tahu apakah ini pantas disebut sebagai rumah atau tidak karena dindingnya hanya dari tripleks dan atapnya dari seng warga yang sudah tidak terpakai yang dikumpulkan oleh bapak dan ditambal. Lantai rumah kami juga masih full tanah. Meskipun begitu, aku selalu bersyukur. Setidaknya kami mempunyai rumah ini untuk ditempati berlindung dari teriknya matahari dan derasnya hujan dibandingkan dengan teman-temanku di luar sana yang harus berpindah-pindah tempat dari emperan toko satu ke emperan toko yang lainnya agar bisa tidur.

Selepas membantu bapak, kamu berkumpul di ruang tengah. Ini adalah salah satunya hal yang aku suka, setiap malam kami akan bercerita tentang apa yang dialami hari ini. Mulai dari hal menyenangkan ataupun menyedihkan. Malam ini aku dibuat menangis oleh cerita dari bapak yang katanya beberapa kali diusir dari toko hanya karena mencari kardus bekas. Namun, aku kembali dibuat tersenyum oleh cerita dari ibu yang katanya diberikan uang oleh salah satu orang baik di luar sana.

Ya, setidaknya aku menjadi tahu bahwa sebanyak apapun orang jahat, pasti akan ada orang baik. Kita tidak boleh selalu men-judge bahwa semua orang itu jahat.

Sekarang adalah giliranku untuk bercerita. Aku menceritakan tentang 'sekolah' yang sempat kubahas bersama sahabatku tadi. Ya, aku sudah tahu bagaimana tanggapan mereka karena aku juga sudah berulang kali membahas hal ini bersama mereka.

"Nak, maafkan kami tapi sepertinya mimpimu untuk bersekolah itu tidak akan pernah terwujud. Untuk menghasilkan sesuap nasi saja kita harus berusaha dengan sangat keras, apalagi jika kamu sekolah. Bapak sama Ibu tidak punya uang sebanyak itu." Itulah perkataan bapak tadi malam yang menjadi penutup dari pembahasan kami sebelum akhirnya kami tidur.

*****

Setelah malam itu, aku tidak pernah membahas mengenai sekolah lagi kepada orang tuaku maupun teman-temanku. Hingga, dua minggu setelahnya aku mendapatkan sebuah kabar yang membuatku merasa sangat bahagia.

"Bintang!? Keluar cepat, ada kabar gembira yang harus kau dengar!? Bintang!?" teriak Riri sembari menggedor-gedor pintu rumahku.

"Iya, sebentar!?" Aku membuka pintu dan melihatnya yang sudah tersenyum dengan sangat lebar.

"Ada apa?" tanyaku.

"Kau ingin bersekolah bukan?" Aku mengangguk. "Kalau begitu ayo ikut denganku." Sebelum mendapat persetujuanku Riri dengan cepat menarikku tanpa memberikan celah untukku kembali bertanya. Riri membawaku ke sebuah tanah lapang dekat kampung, di sana sudah berkumpul banyak anak-anak seusiaku dan ada Endang juga. Riri mengajakku duduk tepat di dekat Endang. Aku mengalihkan pandanganku ke depan, ada seorang gadis dewasa dengan rambut panjangnya yang diurai. Tubuhnya tinggi semampai dan kulitnya putih bersih, apa mungkin dia mahasiswa yang hendak melakukan sosialisasi?

"Baik sudah terkumpul semua ya?" tanya kakak itu.

"Sudah kak," jawab semua anak, terkecuali aku.

"Oke, perkenalkan nama Kakak Bella Saphira Ahmad. Kalian bisa panggil Kak Bella. Beberapa hari yang lalu, Kakak sudah melakukan wawancara dengan beberapa anak-anak di sini mengenai keinginan mereka untuk bisa bersekolah dan kebanyakan dari kalian ingin sekali untuk bisa bersekolah. Maka dari itu Kakak berinisiatif untuk membuka sebuah sekolah khusus untuk kalian. Eits, tapi tenang kalian tetap bisa bekerja ... seperti biasanya. Karena sekolah kalian ini akan Kakak buka setiap sore hari. Silahkan meminta persetujuan kepada orang tua kalian. Jika sudah mendapat persetujuan, maka silahkan datang besok sore dan kita akan langsung memulai kelasnya," jelas Kak Bella panjang lebar.

Aku tidak bisa berkata apa pun lagi. Apa benar kami bisa bersekolah?

"Kalian cukup datang mengikuti pembelajaran dan tidak perlu menyiapkan alat tulis karena semuanya sudah tersedia. Setiap pekannya Kakak juga akan memberikan hadiah bagi kalian yang bisa cepat menguasai pelajaran. Oke, sekian dulu dari Kakak sampai bertemu besok."

Oh, Tuhan. Ternyata masih ada manusia sebaik ini? Terima kasih Tuhan telah mengutus kak Bella untuk kami. Aku segera berlari ke rumah–memberitahu bapak dan ibu tentang sekolah kak Bella yang tentunya disetujui oleh mereka.

Keesokan harinya, setelah bekerja menjual koran aku dengan cepat menuju ke lapangan. Aku mendapatkan alat tulis dan juga tas .Ada sekitar 20 anak yang ikut dalam sekolah kak Bella. Sore ini, kami diajari mengenal huruf dan menulis oleh kak Bella. Kami diberikan tugas untuk menuliskan nama kami sebanyak 10 kali. Awal yang menyenangkan.

Tepat seminggu aku bersekolah, kak Bella memberiku hadiah atas kerajinanku ke sekolah dan karena cepat memahami pelajaran. Sebuah T-shirt dan topi dengan tulisan 'You Are The Best.' Saat itu aku belum mengetahui apa maksud dari tulisan itu, bahkan untuk membacanya saja aku tidak bisa.

Hari berganti hari, 'tak terasa sudah lima bulan aku bersekolah. Namun, semakin hari semakin merosot pula jumlah anak-anak yang hadir. Hanya aku, Endang dan Riri yang bertahan dan juga lima anak-anak lain. Lihat 'kan, Endang saja yang awalnya tidak mau bersekolah sekarang adalah orang yang paling semangat. Kami bertiga bergantian menerima hadiah dari kak Bella setiap pekannya.

Sore ini, seperti biasanya kami menunggu kak Bella, tapi ada yang aneh. Biasanya kak Bella yang datang lebih awal dari kami tapi hingga sejam kami menunggu kak Bella tidak datang juga. Kami mencoba berpikiran positif, mungkin kak Bella terkena macet. Namun, hingga malam hari tidak ada tanda-tanda kedatangan kak Bella. Hal ini tidak berlangsung sore itu saja, tapi hingga seminggu ke depannya.

Hari ini, kami kembali menunggu kak Bella–berharap dia akan datang dan mengajari kami lagi. Sebuah mobil terparkir di sisi barat lapangan, aku dengan cepat berdiri. Itu mobil kak Bella. Kami semua bersorak kegirangan–kak Bella akhirnya datang. Namun, saat pintu mobil itu berbuka yang keluar justru seorang laki-laki dan gadis asing yang tentunya bukan kak Bella. Dua orang itu mendekati kami sembari tersenyum.

"Hai semuanya!" sapa gadis itu.

"Halo kak!" seru kamu menjawab.

"Kak, bukannya itu mobil kak Bella ya? Kakak temannya kak Bella?" tanyaku memberanikan diri.

Kulihat dua orang itu saling menatap satu sama lain, seolah mencari jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaanku.

"Ah, iya kamu benar. Kami ke sini untuk menyampaikan hal penting kepada kalian," ujar lelaki itu. Gadis di sampingnya menghela nafas panjang, sebelum akhirnya berbicara. "Maaf sebelumnya, kami ingin menyampaikan kepada kalian bahwa .... Bella sudah tidak bisa datang untuk mengajar kalian," ujar gadis itu.

"Kenapa Kak Bella tidak datang? Apa karena kami nakal, ya, Kak jadi Kak Bella nggak mau datang lagi?" tanya Riri sudah menangis.

"Tidak sayang, kalian nggak nakal. Tapi, emang kak Bella sudah tidak punya waktu untuk mengajari kalian. Tapi, jangan khawatir karena kalian masih bisa tetap bersekolah," ucap Kakak yang masih belum kuketahui namanya itu.

"Bella sudah mendaftarkan kalian semua di sekolah yayasan orang tuanya, jadi kalian hanya perlu menandatangani surat persetujuan untuk orang tua kalian ini dan lusa kalian sudah bisa masuk sekolah, meskipun terlambat tapi Bella yakin kalau kalian pasti bisa. Semua seragam dan alat tulis sudah disediakan, ini kesempatan yang besar bagi kalian jadi manfaatkan dengan baik ya," jelas laki-laki itu dengan panjang lebar.

Ini adalah hal yang sangat membahagiakan. Namun, tanpa kami sadari kabar bahagia ini justru juga adalah kabar yang menyedihkan. Hari itu, tidak ada dari mereka yang memberitahu kami di mana kak Bella dan apa alasannya tidak mau mengajar lagi. Kami baru mengetahui kebenarannya setelah kami lulus SMP.

*****

"Mas, mas! Hujan mas!?"

Sebuah tepukan pada bahuku berhasil menyadarkanku dari lamunan yang panjang. Aku terlalu asyik menyelami masa lalu hingga tidak sadar kalau sekarang sudah hujan. Aku menatap sekali lagi sebuah gundukan tanah yang ada di depanku dengan nisan bertuliskan 'Bella S.A binti Ahmad', sebelum akhirnya aku beranjak menuju mobil. Aku harus kembali ke rumah sakit, jangan sampai pasienku menunggu lama.

"Aku pamit ya Kak!"

 

SELESAI

Ikuti tulisan menarik Nurul Miftahul Jannah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler