x

Iklan

Aisy Putri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 22:56 WIB

Dan, Selesai

Cerpen ini diikutkan dalam Lomba Indonesiana.id 2021

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari ini hujan. Awan kelabu itu mengantar tetesan air ke tanah gersang, mereka saling bersahutan, berebut menjadi yang paling dulu untuk menghujam. Ada kilat dan petir yang bergantian menyambar dan menggelegar, ada sudut yang tak pernah usai menyelesaikan pertengkaran. Langit menghitam, seperti kumpulan kecewa, amuk serta marahnya berada pada gumpalan yang sama.

            Seseorang berjalan tanpa takut membelah hujan, melawan gelegar. Gaun selutut dengan warna lembut yang kini sudah setengah basah, begitu juga rambut hitam legamnya yang tergerai sepunggung. Senyum hangatnya menyambut langit pekat; sungguh terlihat tak menakutkan lagi. Ia berjalan dengan yakin, melewati bangunan-bangunan tua bercat putih dengan menawan dan dibawah naungan langit yang menantang.

            Pemandangan didepannya seperti karut-marut ketakutan. Gulungan ombak yang tinggi, hujan deras yang terus menghujam, kilat dan petir seperti bertanding—menjadi siapa yang paling menakutkan. Sayangnya, gadis itu tidak gentar. Ia berdiri tegap diatas pasir putih, menyaksikan gulungan ombak yang berkejaran, tetap tegar meski langit dan laut sama pekat; sama-sama ingin melahapnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Lima belas menit disana tidak membuatnya bosan menikmati adegan yang itu-itu saja. Kesendirian tidak membuatnya sepi, garangnya semesta tidak membuatnya takut. Gadis itu, dengan lemah dan lebihnya terus berdiri, dua kaki mungil yang dahulu berkejaran melempar pasir, memercikkan air—dua kaki mungil yang kini bergetar menyambut ingatan yang tak mau berkesudahan.

“Kita harus selesai.”

            Tatapannya nanar, matanya perih. Akhirnya, mereka telah sampai tujuan; sebuah perpisahan.

“Kita sampai disini. Janji ya, kamu harus bahagia.”

            Ia berusaha tersenyum, namun wajahnya gagal menyatakan itu—wajahnya terluka menghadapinya. Seperti babak belur menghadapi alur yang tak kunjung, perpisahan yang selalu diinginkannya untuk urung. Setelah menari ditengah dunia tanpa diiringi lagu apa-apa, mengais nama masing-masing dan menitipkannya pada angin. Berbaring dengan punggung yang lelah setelah membangun mimpi terlalu besar, kemudian bertengkar, terus bertengkar.

• • •

“Namamu?”

“Abhia, umurku tujuh belas.”

            Pria itu mengangguk. Tanpa bertanya, ia jelas tahu bahwa gadis yang bernama Abhia ini datang membawa seluruh masalahnya, hidup dengan seluruh masalahnya, dan kabur dengan seluruh masalahnya. Ia jelas tahu bahwa Abhia ingin menyelesaikan dunianya.

“Aku pernah mencoba bunuh diri tiga kali. Pertama, aku pernah melihat anak-anak tangga menyapaku dan mengajak bermain disana, memintaku untuk berguling ditubuh mereka. Kedua, aku pernah mendapati pecahan kaca, ia meminta agar menggoreskannya dipergelangan tanganku. Aku melakukan kedua hal itu, tapi tak mendapati apa-apa.”

“Yang ketiga?” tanya pria itu.

“Ketiga, ada sebelas butir obat yang kutelan. Kau bisa melihatku bernapas hari ini, berarti itu tidak membuatku sampai mati.”

            Tetapi yang pria itu tak tahu, gadis ini sudah tak ingin menyelesaikan hidupnya dengan berlari. Andai bumi cukup kecil untuknya, habis sudah terinjak dan remuk jadi remahan dikakinya. Apapun yang bisa menjadi pengganti, agar hidupnya tak perlu selesai dengan bodoh lagi—seperti masa lalu, sudah hancur ditangannya.

            Ingatan itu tidak lekang, ia tahu persis bagaimana dirinya memulai perkenalan dengan seseorang yang baru. Seseorang yang siap mendengarkannya; masa lalu yang lapuk dimakan waktu, masa depan yang entah siapa tahu. Itu kali pertamanya datang ke tempat ini, di usia tujuh belas tahun—tanpa membawa apa-apa, selain; nama, umur, dan putus asanya.

“Aku seperti memungut diriku yang berceceran dijalanan kota. Melihatnya telanjang, walau kutahu, ia pasti lelah menggunakan pakaian yang hanya jadi bahan pengakuan.”

            Ia menyeka matanya, berusaha tersenyum. Menarik napas, lalu melanjutkan ceritanya. “Tetapi aku tetap memakaikannya pakaian terbaik. Kau tahu itu apa?”

            Pria dihadapannya seperti bertanya, apa?

            Hanya dengan isyarat itu, Abhia paham dan kembali bercerita. “Sesuatu yang menjadikan aku menjadi diriku, bukan orang lain. Pendapatku, suaraku, karyaku dengan atau tanpa persetujuan siapapun. Sebab nilai diriku tidak jadi lebih atau kurang hanya karena orang lain setuju atau tidak setuju.”

            Abhia mengembuskan napas lega. Meski matanya masih basah, senyum tipis yang tertanggal disana seperti saksi bisu perjuangannya. Perjuangan memungut seluruh hidupnya; harga diri, kepercayaan, tanggung jawab, dan banyak hal lain yang membuat dirinya lebih  tegar menjalani hidup—lebih berani menjalani sesuatu yang esok lusa kita tak pernah tahu.

            Kekecewaan yang juga dipungutnya kembali, ia simpan ditempat terbaik. Ditatanya dengan sempurna, tidak ada yang terlewat atau tertinggal. Lalu dikemasnya dengan rapi, direkatkannya dengan kuat; kalau-kalau esok dikecewakan lagi, ia akan tahu, bagaimanya sesaknya menjalani itu, seorang diri—tanpa teman, tanpa keberanian.

“Aku tahu, kita tidak bisa mengendalikan seseorang untuk menyukai kita, membenarkan pendapat kita. Sebab apapun yang kita jalani didunia ini akan selalu memiliki dua sisi yang berbeda, benar menurut orang lain atau salah menurut mereka. Jadi, yang kulakukan selama ini adalah mencoba mengendalikan diriku agar tidak terpancing oleh pendapat orang lain.”

            Pondasi itu tidak dibuatnya dengan cuma-cuma. Ada banyak pengorbanan yang ia relakan, air mata yang mudah sekali jatuh, dan sakit yang tak kunjung sembuh.

“Orang-orang pernah menganggapku gila. Itu tidak benar.” Katanya lemah.

            Ia tahu, menceritakannya kembali berarti harus membuka satu per satu kunci yang telah lama ia simpan. Selain melelahkan, ini akan menguras air mata dan sesak di dadanya.

“Keluarga sepertinya malu padaku yang dianggap gila. Mereka tidak pernah tahu, bagaimana aku mencoba keluar dari sana; seperti lubang, kau terperosok. Ingin naik tanpa tangga, tanpa bantuan siapa-siapa.”

“Mereka melupakan itu, seperti menyembunyikanku. Tidak menganggap ada seseorang disini. Tidak membolehkan aku sedih, melarangku untuk marah, atau emosi lainnya. Mereka mungkin lupa kalau aku juga manusia. Sepertimu.”

            Ia hanya menatap kosong, tersenyum menyeringai.

“Aku sadar kalau itu akan menjadi batu loncatan. Aku tidak perlu lagi tangisan, teriakan, atau ketakutan. Aku hanya perlu diriku yang akan lebih kuat menghadapinya.”

            Suaranya terhenti pelan. Ia masih menatap kosong, seperti menceritakan bahwa tidak ada yang benar-benar sempurna untuk berusaha menjadi ‘ada’.

            Ini kedatangannya yang terakhir ke tempat ini, usianya genap dua puluh, panggilannya masih sama—Abhia.

“Aku telah melakukan banyak hal untuk bertahan hidup. Menghadapi kematian dihadapan mataku bersama penghinaan itu. Kau tahu, pencapaian dan seluruh usahaku tidak pernah ada apa-apanya untuk mereka. Baru-baru ini, aku mulai tahu kalau selain sedih, aku juga tidak berhak bahagia.”

            Ia tersenyum. Getir.

            Kedatangannya kali ini justru berbeda ditahun-tahun sebelumnya. Tak ada wajah kuyu, cemas atau apapun. Pakaian itu tampak sempurna, tanpa penyesalan atau kecewa.

“Kau tidak pernah bertanya mengapa aku sesedih ini atau mengapa aku sekacau ini. Kupikir ini adalah akhir dari seluruh pertemuan kita, aku akan menceritakannya padamu.”

            Semua tampak biasa saja, termasuk senyum atau kecewanya.

“Saat umurku empat belas tahun, seseorang membekap mulutku, menyeret tubuhku ke ruangan sempit dan bau. Ruangan lembab itu semakin membuatku pusing, sebelum ia membenturkan kepalaku, aku sudah pingsan lebih dulu.”

            Suaranya berhenti, matanya terpejam sesaat. Mengingat.

“Aku tidak tahu apa yang ia lakukan, entah karena aku yang terlalu kecil dan tidak mengerti itu atau karena aku benar-benar melupakannya. Namun, aku merasa sekotor itu dan menjijikkan. Aku pulang membawa kemarahan dan kesedihan, esok lusa itu sudah menjadi penyakit yang bertahun-tahun kusembunyikan.”

            Abhia menunduk, bukan untuk menangis. Ia hanya ingin menyembunyikan wajahnya yang bergidik ngeri mengingat itu.

“Itulah yang mereka lihat sebagai kesedihan-kesedihan diwajahku yang tak pernah bisa dibaca.” Ia tersenyum.

            Pria itu menatapnya campur-aduk. Tidak mengatakan apapun.

“Terima kasih karena kau adalah satu-satunya yang bisa mendengarkan ini, mendengarkan seluruh ceritaku. Mungkin ini keterlaluan, namun aku tidak bermaksud menjadikanmu tempat sampahku. Kau adalah ruangan disalah-satu bagian hatiku, akan aman dan takkan kubuat berantakan.”

            Tampaknya, Reliya ingin melanjutkan lagi kalimatnya, namun ia mengambil napas lebih panjang.

“Aku mencintaimu, Sa.”

            Ia gemetar. Hatinya pasti sedang gaduh.

“Tetapi biarlah ini menjadi patah hatiku. Aku sadar, tidak ada laki-laki yang menyukai perempuan yang sedih, penuh kesedihan, atau terbuat dari kesedihan.”

            Gadis itu menunduk. Seseorang dihadapannya seperti hendak mengeluarkan suara.

“Jangan merendahkan dirimu.” Katanya.

            Abhia mengangkat wajahnya, menatap pria itu. Suaranya membuat ia semakin gemetar.

“Sejauh ini, kamu menarik bagiku. Tetapi itu tetap tidak mungkin kita jalani. Aku tidak ingin melawan takdir, aku tidak tega merusak impianmu. Jadi, bukan hanya kau yang patah hati. Besar kemungkinannya aku juga mengalami hal yang sama.”

            Pria itu tersenyum. Tidak untuk Abhia, hatinya sedang berantakkan. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya, ia hanya mengangguk dan beranjak pulang. Bukankah ini lebih menyakitkan?

• • •

“Kalau kau pergi, aku juga akan pergi.”

            Matanya sudah basah, ia tak sanggup melihat pria itu—kalau mata mereka bertemu sekarang, ia akan kalah lagi, akan jatuh lagi. Abhia sudah merasa cukup.

            Pria itu diam sebentar, “Kalau sebuah iya membuatmu lebih tenang, maka iya.”

            Pada akhirnya, ini terjadi tidak seperti ledakan. Perpisahan mereka tidak datang tiba-tiba, sebagai gantinya, mereka tetaplah teman lama. Perpisahan ini menjemput mereka, memang sudah waktunya. Bukankah keduanya telah memaksakan waktu melebihi tenggat yang diberikan—menjadikan diri masing-masing sebagai percobaan.

            Abhia dan pria itu pernah meminta nama masing-masing, memanggil dan menitipkannya pada angin. Gadis itu sudah banyak menulis angan-angannya, naif menyebut ini adalah takdir. Gadis itu menangis di sepanjang garis pantai, menceritakan kesedihannya pada hujan dan laut, kilat dan petir.

            Dan akhirnya, selesai.

TAMAT

Ikuti tulisan menarik Aisy Putri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler