x

Pemilik The Able Art, Tommy Budianto, bersama Sadikin Pard, salah satu seniman difabel. The Able Art didirikan untuk memberdayakan para seniman difabel agar tetap bisa berkarya dan memperoleh pendapatan tetap. (Dok. Tokopedia/ akurat.co)

Iklan

sangpemikir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Oktober 2021

Sabtu, 11 Desember 2021 05:58 WIB

Dengan Teknologi Ajak Disabilitas Melintasi Keterbatasan

Teknologi digital dapat membebaskan dari keterbatasan dan meretas beragam peluang, bahkan bagi kaum disabilitas. Evolusi teknologi juga ikut memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi para penguna yang memiliki keterbatasan. Tomy, terpanggil untuk berkontribusi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bermula dari kecintaan terhadap dunia sosial, Tommy Budianto mendirikan The Able Art di Pasuruan pada 2017. Bukan karya-karya dari seniman biasa, Tommy membantu lukisan-lukisan karya seniman difabel untuk dijual—‌offline maupun online—‌dan direproduksi menjadi berbagai produk seperti hijab, tas, bantal, dan lain-lain.

“The Able Art didirikan untuk memberdayakan para seniman difabel agar tetap bisa berkarya sehingga mereka bisa memperoleh pendapatan tetap. Kami ingin setiap karya memiliki nilai sosial bagi masyarakat Indonesia,” kata Tommy.

Tommy menggandeng seniman lukis difabel dari sejumlah daerah di Indonesia, mulai dari Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Malang hingga Bali. Tak jarang, untuk mendapatkan hasil reproduksi lukisan yang berkualitas tinggi, Tommy datang langsung ke tempat para seniman.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Di awal berjualan, penjualan kami hanya berkisar 10-20%. Kami lalu memanfaatkan Tokopedia. Akhirnya The Able Art bisa mengirimkan rata-rata 100 pesanan dalam sebulan ke berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Papua,” kata Tommy. Selain memanfaatkan penjualan melalui marketplace, Tommy juga memasarkan karya-karya disabilitas melalui website www.theableart.com yang dirancangnya sendiri.

Mengajak kaum disabilitas melintasi keterbatasan dengan teknologi menjadi keputusan terbaik bagi Tommy yang saat itu merasa terpanggil melakukan pemberdayaan bagi mereka. Walaupun ia harus keluar dari pekerjaannya.

Awalnya, Januari 2016, Tommy menyaksikan show Kick Andy yang mengundang narasumber seniman disabilitas dengan tema Melukis dengan Hati. Acara ini menyadarkan Tommy yang telah 14 tahun lamanya berkarier di bidang teknologi informasi. Dia kemudian terpanggil untuk melakukan sesuatu bagi orang-orang di luar sana. Ia mempertanyakan diri sendiri, kontribusi apa yang bisa diberikannya.

Tommy pun berinisiatif untuk mengunjungi para narasumber tersebut yakni, Sadikin Pard di Malang. Dirinya menggali banyak informasi mengenai bagaimana pelukis yang memiliki keistimewaan ini bisa berjuang lewat seni.

Ia pun menggali informasi mengenai para disabilitas yang berkemungkinan masih hidup di bawah garis kemiskinan dan kesulitan. “Pak Sadikin menceritakan ternyata masih banyak para disabilitas yang merupakan seniman dan kesulitan jual lukisan. Dari situ Pak Sadikin banyak cerita dan memberikan banyak jaringan dari teman-teman beliau. Salah satunya Mas Rodhi,” ujar Tommy.

Keterbatasan yang dihadapi para pelukis yang Tommy datangi tak lantas membuat semangat juang mereka surut. “Dengan adanya The Able Art, kami jadi lebih semangat dan punya titik terang. Apalagi bagi pemula. Karya kami jadi bisa ada yang dukung,” kata Rodhi Mahfur asal Kendal, pelukis yang menjual produknya di The Able Art.

Setelah berkenalan, Tommy membutuhkan 1 tahun untuk mempersiapkan dan mendirikan gerakan The Able Art. Ia menemui banyak para penyandang disabilitas yang melakukan kegiatan seni. Tommy bahkan berani untuk keluar dari pekerjaannya agar total dan fokus menjalankan The Able Art.

Tommy memulai usahanya dengan merepro karya-karya seniman disabilitas. Dia lalu mengaplikasikan berbagai karya lukisan reproduksi itu ke dalam berbagai produk, terutama fesyen.  Produk inilah yang kemudian merupakan bisnis utama yang digeluti oleh The Able Art.

Tommy dibantu  istrinya Siane mulai merintis bisnis sosial ini sejak 2017. Hanya bermodal bisnis yang masih terhitung kasar saat itu, Tommy menggaet Sadikin untuk berkolaborasi. Sejak saat itu, The Able Art pun mulai berjalan.

“Waktu itu Mas Tommy datang ke rumah lalu mengatakan ingin bekerja tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarga, tapi juga untuk orang lain. Saya pun ingin memberikan manfaat kepada orang lain juga, saya pun bergabung dengan Mas Tommy,” ujar Sadikin yang disampaikan lewat tayangan video.

Bentuk kerja sama antara The Able Art dan para pelukis disabilitas ialah berupa hak cipta melakukan reproduksi lukisan. Karya lukisan tersebut akan difoto untuk kemudian diaplikasikan ke berbagai macam produk sehingga selain mendapatkan keuntungan royalti, para seniman disabilitas juga bisa menjual karya lukis aslinya kepada siapa saja.

Konsep The Able Art bukan sekadar bisnis semata, Tommy dan Siane memiliki misi untuk memperkenalkan karya lukisan para seniman disabilitas dan mampu meningkatkan perekonomian mereka. Mereka bahkan bermimpi untuk meluaskannya hingga pasar internasional.

Pada awalnya, Tommy mengerjakan gerakan ini sembari bekerja juga. Akan tetapi dirinya merasa tidak maksimal dalam proses pengembangan produk tersebut. Akhirnya Tommy memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus untuk The Able Art.

Keputusan ini pun disetujui Siane. Bagi Siane gerakan ini harus berjalan dan dilakukan dengan serius. “Ini harus dijual dan desainnya harus segera jadi. Awalnya memang takut, saya nangis setiap hari. Karena harus mengawali sesuatu, yang belum tahu hasilnya. Ya, takut itu wajar. Tapi saya langsung berlutut dan berdoa kepada Tuhan untuk menguatkan saya,” tutur Siane.

Maklum, Tommy dan Siane terhitung pemula dalam bisnis fesyen ini. Mereka berdua pun mengaku belajar banyak hal secara autodidak, mulai dari soal fesyen, bisnis, hingga desain. Beberapa produk akhirnya dihasilkan mereka, seperti tas, tote bag, pouch, hingga hijab. Tapi, sepasang hati ini akhirnya yakin dan bisa berbagi.

Gerakan ini membuat para seniman disabilitas merasa dihargai karya-karyanya dan menjadi lebih dikenal. Tak hanya itu, mereka pun makin lebih percaya diri lagi untuk berkarya. “Sebagian besar profit dari penjualan produk The Able Art akan dikembalikan kepada seniman bersangkutan. Sebagian kecil profitnya akan digunakan untuk memfasilitasi seniman-seniman difabel baru lainnya untuk bisa berkarya. Ini membantu para difabel agar mereka mempunyai kemampuan sendiri dan tidak bermental peminta-minta,” ungkap Tommy.

The Able Art memiliki konsep pembagian pendapatan berupa 55% untuk para pelukis sebagai royalti. Kemudian, 5% dari semua pendapatan pelukis disatukan dalam funding basket untuk dibelikan alat-alat melukis dan menggambar bagi para seniman yang mau belajar melukis. Menyishkan sebagian itu juga karena lukisan mereka yang belajar belum bisa direproduksi karena belum bisa dijual.

Lalu, 40% pendapatan digunakan untuk The Able Art sebagai keberlanjutan bisnis. “Lambang The Able Art adalah hati yang melambangkan kehidupan kita. Kalau lilin menggambarkan terang. Jadi, maknanya hidup kita itu harus menyala, sekecil apa pun cahayanya bagi teman-teman kita atau orang lain. Kita harus menjadi terang bagi sesama kita,” kata Tommy.

Sukses memanfaatkan teknologi dan berkontribusi terhadap perekonomian digital, Tokopedia pun mengangkat perjuangan Tommy dan membagikan cerita inspiratif difabel di balik UMKM dalam rangkaian menyambut Hari Difabel Sedunia yang jatuh pada Jumat (3/12/2021) lalu.

Melalui fasilitasi yang dilakukan oleh Tommy dan The Able Art, keterbatasan tak membuat para disabiltas berpangku tangan. Sebaliknya, mereka membuktikan diri bahwa mereka mampu berdikari dan mandiri, bahkan bisa memberikan sumbangsih bagi perekonomian digital nasional. ***

Ikuti tulisan menarik sangpemikir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler