x

perjuangan kaum perempuan

Iklan

Muhamad Hasim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 November 2021

Minggu, 12 Desember 2021 14:04 WIB

Iyah

Iyah adalah seorang gadis desa yang rada aneh dan sering menjengkelkan teman-temannya. Dan kejadian di malam itu, sunggug membuat teman-temannya shock.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Iyah

 

Iyah adalah kakak sulung perempuan Surani teman sepermainanku; kakak dari Syafei dan Bakrie yang juga kakak Surani. Seperti Surani, aku juga punya tiga kakak, tapi kakak-kakakku dua perempuan dan satu laki-laki, sedang kakak-kakak Surani dua laki-laki dan satu perempuan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Iyah usianya kira-kira sebaya dengan kakak sulung perempuanku. Mereka sering bermain bersama, meski tidak bersekolah di sekolah yang sama. Iyah bersekolah di madrasyah Ibtidaiyah, sedangkan kakak sulung perempuanku bersekolah di SD.

Namun Iyah sering pula bermain bersama kami yang lebih muda. Ia pulalah yang pernah mendadani aku sebagai pengantin lelaki dan seorang anak perempuan saudaranya sebagai pengantin wanita. “Kita main kawin-kawinan,”katanya sampil menyeret kami menuju sebuah gubuk di tengah sawah. Dan di gubuk itu kami disuruhnya tidur berdekatan.

Tapi kalau sedang bermain karet gelang, main bekel, atau main apa pun dengan kakak perempuanku yang nomer dua, dia suka curang dan melanggar aturan. Oleh karena itu, mereka sering bertengkar dan kemudian tak bertegur sapa selama beberapa hari.

Sebenarnya, hubungan kakak perempuanku yang sulung dengan Iyah bukanlah hubungan pertemanan yang akrab. Mereka hanya bertemu sekali-sekali saja jika sedang saling membutuhkan. Selebihnya adalah pertengkaran dan huru hara.

Pernah sekali, setelah dia bertengkar hebat dengan kakak perempuan sulungku, keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kami mendapati tanaman labu yang menjalar di pohon randu di depan rumah kami sudah terputus oleh sayatan pisau. Kami menduga Iyah, gadis yang suka bertindak semaunya, agak kurang akal, dan sia-sia ini berpostur kurus, berkulit gelap dengan rambut acak-acakan, dan ada bekas coretan luka di pelipisnya inilah pelakunya. Siapa lagi.

Di lain hari, Iyah pernah dimarahi habis-habisan oleh emaknya gara-gara minyak goreng. Waktu itu ia disuruh emaknya membeli minyak goreng di pasar, menggunakan botol Sarsaparilla. Tapi sial, di tengah jalan botol tersebut jatuh dan minyaknya tumpah hingga hanya tertinggal sedikit. Karena takut dimarah emaknya, dia lalu mengisi botol tersebut dengan air sawah, yang warnanya mirip dengan minyak goreng, sebagai gantinya. Tak ayal, ketika emaknya menggunakan minyak tersebut untuk mengoreng, kualinya meledak-ledak seperti petasan dalam acara kawinan di Kampung Betawi.

Sekolah bukanlah tempat yang nyaman bagi Iyah dan adik-adiknya. Syafei dan Bakrie sudah keluar sebelum menginjakkan kaki di kelas tiga SD, dengan predikat sebagai buta huruf, alias tidak bisa membaca. Tapi Iyah masih bertahan di bangku kelas enam Ibtidaiyah, setelah keluar dari SD dan mogok sekolah selama setahun. Kudengar, di sana pun dia malasan-malasan; bersekolah kapan dia mau saja; kalau mood-nya sedang baik.

Adik-adik Iyah, Syafei dan Bakrie adalah teman kakak lelakiku. Dan seperti aku dan Surani, mereka juga sering bertengkar dan berkelahi.

***

Kalau boleh memilih, tentu kami; aku dan kakak-kakakku, tak akan memilih teman seperti Iyah. Tapi apa daya. Kami tinggal di tempat terpencil; sebuah tempat yang jauh dari keramaian, terkucil, tak terjangkau pergaulan orang-orang kampung, juga sanak saudara dan kerabat. Bapakku rupanya adalah seorang yang keras kepala dan tak pandai bergaul yang lebih suka tinggal berjauhan dari saudara-saudaranya, paman-pamanku. Dialah yang memilih tempat ini untuk kami.

Rumah kami terbuat dari kayu, berbentuk panggung, berdinding bambu, beratap daun rumbia, terletak di pinggir sungai yang airnya dangkal, sejuk dan tenang, namun dalam, ganas dan membabi buta ketika banjir. Aku mengumpamakan sungai itu sebagai orang tua pendiam, yang menyimpan bara di hatinya, yang bisa mengamuk dan membahayakan jika diganggu.

Kami hampir tidak punya tetangga. Hanya ada satu rumah di sebelah kiri sungai, yang keadaannya juga tidak jauh berbeda dengan rumah kami, terletak di hulu sungai, bersembunyi di balik semak-semak dan pohon-pohon lebat di dekat mulut hutan: Rumah Mang Dul yang anak-anaknya misterius karena tidak pernah bergaul dengan kami. Dan, di kejauhan, di sebelah kanan sungai, di pinggir bukit, di batas antara persawahan dan hutan, terdapat sebuah rumah gubuk berlantai tanah yang juga tidak lebih bagus dari rumah kami. Di rumah itulah Iyah, Surani—teman  mainku yang bertubuh sintal yang sangat membanggakan kemahirannya memanjat pohon dan suka meniru-nirukan perkataan kakak-kakaknya itu—dan adik-adiknya yang lain tinggal.

Selebihnya, di kiri-kanan sungai, adalah hamparan sawah luas dan hutan di mana terdapat pohon-pohon tinggi.

Di sebelah kiri sungai, di antara rumah kami dengan kampung di mana paman-paman dan kerabat kami tinggal terdapat sebuah kuburan luas yang tidak berani kami dekati, bahkan menunjuknya pun kami tidak berani. Kata Surani, kuburan tidak boleh ditunjuk, dan kalau sudah telanjur ditunjuk, maka jari yang digunakan untuk menunjuk itu harus dijilat. Seingatku, aku sudah beberapa kali menjilati jari telunjukku.

Jalan satu-satunya menuju kampung di mana paman-paman kami tinggal adalah dengan melewati kuburan itu. Oleh karena aku tidak pernah pergi ke kampung itu kalau tidak karena terpaksa, dan itu pun harus beramai-ramai, dan dengan berlari terbirit-birit, wajah memerah,, dan tidak berani menoleh.

Ketika panen tiba, aku dan Surani biasa bermain di sawah-sawah yang batang-batang padinya sudah dibabat, berlompatan ditumpukan Jerami yang siap dibakar, atau berlarian mengejar layang-layang putus. Tapi kalau layang-ayang itu jatuh di kuburan, kami hanya bisa memandangnya dari kejauhan.

“Aku pernah melihat hantu,” kata Surani suatu ketika.

“Emang siapa yang belum,” jawabku.

“Waktu itu menjelang magrib. Rambutnya Panjang. Kakinya tidak menjejak tanah. Dia terbang di depan rumah kami, lalu hinggap di pohon randu. Wuzzzzhh ...!” Surani bercerita dengan menggebu-gebu, wajahnya memerah, matanya mendelik, suaranya mencekam, urat di lehernya menjelma sebesar kelingking.

Tapi aku tidak percaya dengan omongan Surani. Selain memanjat pohon, membual adalah salah satu keahliannya.

Menjelang magrib adalah saatnya aku dan Surani berpisah. Dan di malam hari, kami tidak punya hiburan sama sekali, dan kami tidak pernah ke mana-mana. Jangankan pesawat TV, radio saja kami tak punya. Kalau tidak cepat-cepat tidur, biasanya kami pergi memancing udang di sungai di samping rumah. Kakak-kakak Surani sangat pandai memancing udang.

Maka ketika terdengar berita akan diadakan pasar malam, kami langsung tenggelam dalam euforia. Aku berjingat-jingkat, menari-nari saking gembiranya. Surani melompat-lompat seperti anjing yang bertemu kembali dengan tuannya yang lama menghilang.

Seingatku, sudah lama tak diadakan pasar malam. Pasar malam yang terakhir diadakan sebelum aku bersekolah. Tapi aku tak ingat secara pasti. Aku hanya tahu dari cerita kakak-kakakku karena waktu itu aku tidak ikut; aku masih terlalu kecil untuk nonton pasar malam.

“Nanti malam kita bareng, ya,” kata Surani.

“Iya, kita rame-rame,” kataku.

Aku berjanji dengan Surani. Kakak-kakakku berjanji dengan kakak-kakaknya.

Nanti malam kami akan pergi Bersama.

Tapi kakakku yang lelaki ada menyimpan kenangan pilu tentang pasar malam ini. Dia pernah dimarah-marahi oleh kakak sulung perempuan kami karena dia tak berani mencuri obat-obatan yang ditaruh di meja ketika si penjual obat sedang beraksi dengan bualan-bualannya di hadapan penonton yang ramai berjubel.

“Bakrie aja berani mencuri. Kau tidak,”kata kakak sulung perempuan kami membentak. Kakak lelakiku itu hanya bisa terdiam. Kami semua juga terdiam Aku iba melihat kakak lelakiku itu.

Memang, kalau dibandingkan dengan Surani dan saudara-saudaranya, tentu kami kalah jauh dalam bidang curi-mencuri, berkelahi, atau memanjat pohon.

***

“Ayo, cepat. Mau ikut tidak,” kata kakak sulung perempuanku menghardik.

Aku tersentak dari kantuk. Waktu telah lewat Isya. Bukankah kami; aku, Surani, kakak-kakak Surani, dan kakak-kakakku berjanji akan berangkat selepas Isya. Sesuai perjanjian, mereka akan datang menyamperi kami karena mereka akan melewati rumah kami dalam perjalanan mereka.

Dan aku sangat bersemangat. Ini adalah pasar malam pertama bagiku.

Kami langsung bergegas. Salah seorang kakakku meraih obor dan menyalakannya.

Pasar malam diadakan di kota kecamatan yang jaraknya sekitar satu kilometer dari rumah kami, bukan di kampung di mana paman-paman kami tinggal. Untuk menuju ke sana, kami harus menempuh arah berlawanan, di sebelah kanan sungai, melewati sawah luas, dan tidak harus melewati kuburan itu.

Cahaya obor langsung menyambar wajah kami, menerangi jalan menuju sungai, dan menerangi sungai ketika kami menyeberanginya menuju tempat di mana kami akan menunggu Surani dan kakak-kakaknya. Dalam hati, aku berdoa semoga tidak akan ketemu tukang obat di pasar malam nanti.

“Iyah …!” teriak kakak sulung perempuanku.

“Kemarilah …!” terdengar jawaban dari Iyah di kejauhan.

Sayub-sayub, terdengar suara adik-adik Iyah; Surani, Syafei dan Bakrie sedang berceloteh.  Kami berjalan mendekat. Tapi selang beberapa Langkah, kami terhenti.

“Iyah ….” teriak kakak sulung perempuanku lagi.

“Kemari …,” terdengar jawaban yang sama dari kejauhan.

Kami pun melangkah lagi. Kegelapan yang pekat menyebabkan kami tak bisa melihat apa-apa di kejauhan, di tempat Iyah dan adik-adiknya. Celakanya, mereka tak membawa obor seperti kami. Hanya suara-suara yang terdengar. Itupun tidak jelas.

“Iyah ….” teriak kakakku lagi untuk yang ketiga kalinya.

“Kemari …” terdengar lagi jawaban yang sama. Kami terhenti lagi. Tak berani melangkah lebih jauh. Suara Iyah malah terdengar menjauh, menuju hutan.

“Cukup. Kita berangkat sendiri saja. Tak usah bersama mereka,” kata kakakku yang lelaki.

“Tapi kita sudah berjanji akan bersama-sama.”

“Biarkan saja. Kita duluan. Mereka belakangan.”

Akhirnya, di tengah kegalauan kami itu, sesosok laki-laki tua muncul dari kegelapan. Suaranya menggelegar seperti guntur menjelang hujan.

“Mau ke mana kalian? Iyah dan adik-adiknya sudah pergi sedari tadi,” kata Mang Dul meyakinkan kami.

Kami semua terkejut, sepeti disambar petir.

Aku merinding. Mencoba menguasai diri.

Dalam kebisuan, kakakku perempuan sulungku menjunjung obor. Menerangi jalan. Memastikan kami menempuh arah yang benar, bukan menuju ke arah suara Iyah.

Entah bagaimana perasaan kakak perempuan sulungku ketika itu.

***

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Iyah langsung datang menghampiri kami, menemui kakak sulung perempuanku.

“Kalian pergi duluan ya,” hardiknya.

“Kalianlah yang duluan,” balas kakak sulung perempuanku sengit.       

Lalu mereka bertengkar hebat.

 

                                                                        Krui, awal September 2021

 

Ikuti tulisan menarik Muhamad Hasim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler