x

Iklan

Iwan Kartiwa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 November 2021

Rabu, 15 Desember 2021 15:35 WIB

Mencegah Kejahatan Seksual, Saatnya Pola Hubungan Pendidik dan Peserta Didik Ditata-ulang

Fenomena pelecehan kekerasan seksual di lembaga-lembaga pendidikan bah fenemona gunung es. Mungkin saja kejadian serupa jauh lebih banyak dari yang kita duga. Adalah tugas kita bersama mencegah kejadian sejenis terjadi lagi di masa akan datang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Iwan Kartiwa

(CKS SMA Tahun 2021 KCD Pendidikan Wilayah VIII Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Guru SMAN Rancakalong Kabupaten Sumedang)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

DUNIA pendidikan kita kembali diterpa prahara. Salah satu kasus muram yang menimpa dalam beberapa hari terakhir ini adalah tersiarnya kabar perkosaan seorang ustad di sebuah pesantren di Bandung dengan korban 12 santriwati. Selanjutnya ada pula kabar seorang guru agama yang mencabuli 15 siswinya di sebuah sekolah dasar di Cilacap, Jawa Tengah (Kompas.com, 11 Desember 2021).

Masih belum lekang dalam ingatan kita beberapa tahun yang lalu terjadi pula pelecehan sekusal oknum guru sebuah SMA di daerah Utan Kayu Jakarta terhadap para pelajar putrinya. Gubernur Jakarta waktu itu, Joko Widodo (saat ini sudah menjadi Presiden RI), langsung memerintahkan tindakan tegas dengan instruksi memecat oknum guru tersebut dari tugasnya. Menyusul kemudian peristiwa serupa terjadi di Kabupaten Garut, Jawa Barat, seorang guru di sebuah SLBN diduga melakukan pelecehan seksual kepada lima orang siswi (Koran Sindo, Sabtu 16 Maret 2013: 20). Jika terbukti secara hukum, peristiwa ini kembali akan menambah daftar panjang kasus tindakan asusila pendidik terhadap peserta didik yang terjadi di negeri ini.

Perlu disadari bersama bahwa fenomena pelecehan seksual oknum pendidik terhadap peserta didik secara kuantitatif terus meningkat jumlahnya. Layaknya fenomena gunung es, beberapa peristiwa tersebut mungkin hanya yang tampak dipermukaan. Tragisnya fenomena gunung es ini seperti tidak pernah menjadi peringatan yang keras baik itu bagi pendidik, peserta didik maupun institusi pendidikan secara umum. Kasus demi kasus sepertinya terus terjadi, dari waktu ke waktu dan dari satu sekolah ke sekolah lainnya ancaman kejahatan ini seperti tinggal menunggu waktu saja. Tidak mustahil juga banyak persitiwa serupa yang tidak terungkap secara hukum sehingga lenyap ditelan waktu. Hal tersebut bisa terjadi karena takutnya korban melaporkan kepada pihak yang berwajib, adanya ancaman dari pelaku atau adanya proses damai diantara pelaku dan korban yang mengakhiri kelanjutan proses hukum kejahatan tersebut.

Kejahatan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan pada umumnya hanya ditangani secara serius pada tataran penindakan. Otomatis hal ini tidak berlangsung efektif mencegah perilaku yang sama tidak bakal terjadi lagi pada waktu dan tempat yang berbeda. Sebaliknya upaya pencegahan belum dilakukan secara optimal. Tindakan pencegahan yang masiv dan sistematis dapat mengurangi dan menutup potensi terjadinya pelecehan seksual di lingkungan sekolah. Salah satu upayanya adalah dengan menata dan mengawasi pola interaksi pendidik dengan peserta didik. Berikut ini ada beberapa upaya praktis untuk memperbaiki pola interaksi pendidik dan peserta didik yang dapat mencegah terjadinya pelanggaran dan kejahatan kesusilaan.

Paling awal pola hubungan heterarki (sederajat) yang seolah tanpa batas seperti kecenderungan yang terjadi pada saat ini antara pendidik dan peserta didik perlu diganti atau dikembalikan kepada pola sebelumnya, yaitu pola hierarki (berjenjang dan ada batasan yang jelas). Dalam hal ini ada pola hubungan yang dibatasi secara tegas dalam posisinya masing-masing apakah itu guru atau siswa.

Kecenderungan yang terjadi sekarang ini hubungan guru-siswa baik di dalam kelas maupun di luar kelas terkesan terlalu dekat, seolah tanpa batas dan terlalu berlebihan. Kondisi ini dapat disalahgunakan dan disalahtafsirkan oleh salah satu pihak, pendidik atau peserta didik. Kondisi tersebut dapat dikatakan sebagai malleducation (kesalahan/pelanggaran dalam proses pendidikan). Pola hubungan heterarki sangat mungkin dipengaruhi oleh pola persepsi dan interpretasi terhadap kebijakan atau regulasi terkait kurikulum, tugas, pokok dan fungsi guru yang menuntut all out memberikan layanan pendidikan kepada peserta didik.

Hindari layanan person to person di luar jam kegiatan belajar mengajar. Kegiatan layanan pendidikan apapun namanya yang bersifat individual di luar jam belajar yang melibatkan subjek yang berbeda lawan jenis, sangat rawan dan mengundang potensi kejahatan seksual. Kalaupun sangat terpaksa harus ada pemberitahuan dan izin yang ketat serta ada pihak yang mengawasi proses kegiatan tersebut.

Tidak kalah pentingnya dalam konteks pola hubungan pendidik dan peserta didik ini adalah pedampingan. Artinya kegiatan-kegiatan bertema pembelajaran baik diluar jam kelas maupun diluar sekolah, baik itu siswa maupun guru sebaiknya didampingi dan diusahakan tidak melakukannya sendirian. Dalam hal ini khususnya guru yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler jangan sampai melakukannya seorang diri. Pihak sekolah sebisa mungkin dapat menunjuk pembina ekstrakurikuler lebih dari satu orang untuk satu jenis kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Pengkondisian ini akan efektif untuk mencegah terjadinya potensi kejahatan seksual di lingkungan pendidikan. Waktu dan tempat diluar sekolah inilah yang relatif banyak ”dimanfaatkan” oleh oknum pelaku untuk melaksanakan kejahatannya.

Selanjutnya sekolah juga perlu membangun jaringan sistem informasi berkaitan dengan aktivitas siswa dan guru di luar hubungan belajar mengajar. Untuk membangun jaringan informasi ini diperlukan informan berkualitas baik yang berasal dari kalangan guru-siswa maupun masyarakat luas yang tahu dan mampu mengawasi sepak terjang kegiatan siswa maupun guru di luar rutinitas hubungan belajar mengajar. Informasi yang masuk harus segera ditelusuri dan ditindaklanjuti oleh pimpinan sekolah. Jaringan sistem informasi yang baik akan sangat membantu mencegah berbagai potensi pelanggaran etika baik yang dilakukan oleh siswa maupun guru.

Demikianlah terbagai upaya tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kembali serangkaian tindak kejahatan seksual dari oknum pendidik kepada peserta didik melalui penataan pola hubungan guru-siswa. Upaya-upaya ini perlu didukung oleh kesadaran semua pihak khususnya para guru, peserta didik, sekolah dan masyarakat luas. Khususnya sekali para pendidik agar dapat menjaga amanah dan tugas sucinya sebagai guru yang senantiasa menjunjung tinggi norma, etika dan martabat guru. Sebaliknya peserta didik juga memliki kesadaran untuk menjaga kehormatannya, menjauhkan diri dari potensi pelanggaran susila dan mampu menolak dari setiap tipu daya yang menjebak yang akan menghancurkan masa depannya.

 

 

 

Iwan Kartiwa

(CKS SMA Tahun 2021 KCD Pendidikan Wilayah VIII Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Guru SMAN Rancakalong Kab. Sumedang)

 

 

Ikuti tulisan menarik Iwan Kartiwa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler