x

cover buku Covad Covid

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 20 Desember 2021 08:12 WIB

Covad-Covid, Bungkusan Boy Band, dan Menunggu Kabar Baik

Antologi esai-esai poluler tentang covid dan lainnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Covad-Covid Bungkusan Boy Band dan Menunggu Kabar Baik

Penulis: Agus Prasmono, dkk

Editor Afrisal Malna

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun Terbit: 2021

Penerbit: POD Media    

Tebal: xviii + 240

ISBN: 978-623-5654-01-0

 

Betapa beratnya tugas Afrizal Malna. Ia mendapat bagian untuk mengedit dan menata tulisan-tulisan yang disebut sebagai esai popular. Betapa tidak berat. Sebab kumpulan tulisan ini sungguh beragam dari sisi tema, latar belakang para penulis maupun cara menulisnya. Menata tulisan yang temanya beragam dan gaya menulis yang berbeda dari para penyumbang tulisan tentu amat sangat tidak mudah, kalau tak boleh dibilang mustahil. Namun toh Afrizal Malna tetap berhasil mewujudkan tulisan-tulisan yang beragam tersebut menyatu dalam sebuah buku.

Bayangkan bentuk yang dituang dalam bentuk esai terbentang dari renungan pribadi, ungkapan pengalaman, paparan gagasan dan paparan data-data ilmiah. Dari sisi penulisnya, meski kebanyakan berjenis kelamin perempuan, tetapi latar belakangnya relatif beragam. Ada penulis yang berlatar belakang aktifis perempuan, ada yang dokter, ada yang ibu rumah tangga dan sebagainya. Dari sisi tema, memang kebanyakan berhubungan dengan peristiwa pandemi covid 19 yang sedang melanda. Namun tidak semua tulisan bersangkut-paut dengan wabah yang membawa banyak kematian ini.

Satu-satunya benang merah yang dipunyai oleh Afrizal Malna adalah bahwa semua tulisan ini adalah hasil dari workshop penulisan esai popular yang diselenggarakan oleh Perempuan Penulis Padma (Perlima). Para peserta ini sama-sama mendapatkan pelatihan menulis esai popular secara daring.

Afrizal bukannya tidak menyadari betapa beratnya tugasnya. Di bagian Pengantar Afrizal sudah menyadari betapa beragamnya jenis tulisan yang harus disatukannya ke dalam sebuah buku. Apalagi ia disodori tulisan-tulisan yang sudah terkumpul tanpa punya kesempatan untuk melakukan “penjurian.”

Langkah pertama yang dilakukan Afrizal adalah memilih definisi esai secara luas. Seluas-luasnya. Afrizal memberi penjelasan cukup mendalam tentang esai popular yang dijadikan genre tulisan yang disatukannya di buku ini.

Langkah kedua, Afrizal mengelompokkan tulisan-tulisan tersebut menjadi kategori-kategori yang mempunyai tema yang mirip. Pengkategorian tulisan-tulisan dalam antogoli memang lazim dilakukan oleh seorang editor. Pengelompokan tulisan dalam sebuah antologi biasanya dilakukan jika tulisan-tulisan yang jumlahnya cukup banyak tersebut memiliki tema-tema atau ciri yang berdeda. Biasanya sebuah antologi hanya terdiri atas dua atau tiga kategori untuk membantu pembacanya menikmati tulisan-tulisan yang disatukan dalam sebuah buku.

Afrizal “terpaksa” membagi tulisan-tulisan tersebut kedalam lima kategori. Itu pun satu bagian (tema keempat), yaitu “Yang Hilang, Yang Baru, dan Tema-tema Kecil” terpaksa dipakainya untuk mewadahi tulisan-tulisan yang sulit untuk dimasukkan pada empat kategori lainnya, dan terlalu sedikit untuk dijadikan kategori terpisah. Kategori keempat ini - menurut saya, adalah cara kompromistis yang dilakukan oleh Afrizal supaya tidak ada tulisan yang terpaksa ditinggal.

Langkah ketiga Afrizal membuat judul yang bisa mewadahi berbagai tema yang terangkum dalam antologi ini. Afrizal memilih judul “Covad-covid, Bungkusan Boy Band, dan Menunggu Kabar Baik. Covad-Covid jelas menggambarkan tema utama dalam buku ini. Sebab kebanyakan tulisan memang berhubungan dengan peristiwa pandemi covid 19. Sedangkan “Bungkusan Boy Band dan Menunggu Kabar Baik” menggambarkan adanya tema-tema lain yang beragam.

Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kualitas tulisan-tulisan - khususnya yang dimasukkan oleh Afrizal di kategori empat, sebagai tulisan yang kurang bagus. Yang ingin saya sampaikan disini adalah tentang betapa sulitnya menyatukan tulisan yang terlalu beragam temanya dalam sebuah buku antologi.

Saya mengakui bahwa tulisan-tulisan yang terkumpul dalam buku ini sangat enak untuk dibaca sebagai tulisan lepas. Gaya tulisannya mengalir lancar. Tema-tema yang ingin dibahas tersampaikan dengan sangat jelas. Argumen-argumen yang dibangun dan fakta-fakta pendukung sangat kuat untuk menunjang gagasan/ide yang sedang disampaikan. Esai-esai yang menuliskan tentang pengalaman para keluarga korban covid 19 sangat menyentuh.

Hal ini bisa terjadi karena meski tulisan-tulisan ini adalah hasil “pelatihan,” namun sesungguhnya para penulisnya adalah orang-orang yang secara sehari-hari sudah menggunakan kegiatan menulis sebagai bagian dari hobi dan kehidupan profesionalnya. Sehingga dengan sedikit sentuhan melalui workshop, bakat dan kebiasaan menulis para penyumbang tulisan di antologi ini langsung bisa memunculkan tulisan-tulisan yang semakin enak untuk dinikmati. Sentuhan materi workshop seakan menjadi bumbu penyedap bagi para chef yang sehari-hari sudah terbiasa meramu kata.

Namun bagaimanapun juga, tulisan-tulisan yang terlalu beragam temanya sebaiknya tidak disatukan dalam sebuah buku antologi. Sebab terlalu beragamnya tema membuat sebuah buku antologi kurang enak dinikmati sebagai sebuah kesatuan. 640

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler