x

Iklan

Desy Tri Wulandari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 Desember 2021

Selasa, 21 Desember 2021 08:27 WIB

Korelasi Kehidupan Beragama dengan Kisah Hasan dalam Novel Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja

Artikel ini mendeskripsikan kehidupan beragama dalam kehidupan sehari-hari dengan kisah Hasan yang yang dicitrakan dalam novel Atheis karya Achdiat Karta Mihadja

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Novel Atheis adalah karya Achdiat Karta Mihardja yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1949 oleh Balai Pustaka. Novel ini menceritakan benturan paham ideologi Marxisme-komunisme dengan Islam. Benturan kedua paham tersebut masih sangat terlihat gesekan antara keduanya hingga saat ini.

Berdasarkan sekilas kisah yang tertulis di atas menunjukkan bahwa pada novel Atheis karya Achdiat menceritakan berbagai konflik kehidupan yang selalu dijumpai dari zaman dahulu hingga masa saat ini. Konflik-konflik yang diceritakan tersebut berupa konflik percintaan, rumah tangga dan juga ideologi.

Hasan, merupakan seorang tokoh utama yang diceritakan dalam novel ini. Hasan seseorang yang memiliki citra taat dalam beribadah. Kesehariannya sangat lekat dengan aktivitas peribadatan yang diajarkan dalam ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tidak hanya itu, Hasan dapat dibilang seorang penganut tarekat. Hasan dalam kesehariannya tidak hanya mengerjakan amalan-amalan yang diwajibkan saja. Namun, juga menjaga amalan-amalan sunah sebagai pertanda katakwaannya kepada Allah swt, Tuhan yang diimaninya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hasan dikisahkan memiliki teman dekat yang bernama Rusli. Rusli adalah penganut paham Marxisme komunisme. Hal ini membuat Rusli menjadi seorang anak muda yang mengandalkan kemampuan berpikirnya dengan baik. Rusli hanya menerima hal-hal yang logis dan selalu memperdebatkan segala hal yang dianggapnya ‘tidak masuk di akal’.

Perdebatan-perdebatan tentang agama sering terjadi antara Hasan dengan Rusli. Rusli selalu mempertanyakan hal-hal yang dipercayai oleh Hasan dalam ajaran agamanya dan tak jarang pula meminta Hasan untuk menunjukkan bukti kongkrit dari apa yang dipercayainnya. Begitupula dengan Hasan, tidak hanya satu atau dua kali menanyakan kepada Rusli terkait apa saja yang dipercayai oleh dia.

Setiap perdebatan yang dilakukan antara Hasan dan Rusli, Hasan selalu melakukan resistensi atau perlawanan terhadap pernyataan-pernyataan Rusli. Namun, ketika hal itu usai seringkali Hasan bertanya-tanya dalam diri sendiri terkait segala hal yang sudah dipercaya oleh nya nyata atau tidak (halusinasi). Kejadian ini biasa terjadi karena ketika seseorang mepertanyakan tentang suatu hal, maka akan terjadi pertentangan dalam dirinya.

Bentuk resitensi yang dilakukan oleh Hasan disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya, yakni dipengauhi oleh faktor keluarga, faktor agama, lingungan dan ekonomi. Adanya faktor-faktor tersebut melahirkan pemaknaan terhadap resistensi yang dilakukan oleh Hasan.

Perdebatan terkait paham ideologi antar keduanya menyebabkan goyah-nya keimanan Hasan terhadap agama yang dipercayainnya. Hingga membuat Hasan memilih untuk menjadi seorang atheis atau tidak percaya dengan adanya tuhan. Goyahnya keimanan ini mungkin saja bisa terjadi karena Hasan dalam menjalankan ajaran Islam tidak dibangun berdasarkan tradisi berpikir, melainkan hanya mengikuti rutinitas yang diajarkan oleh orang tua dan guru agamanya saja. Penulis contohkan seperti solat zuhur pada waktu zuhur, solat magrib pada waktu magrib dan seterusnya. Kebanyakan orang hanya mengikuti dan menjalaninya saja tanpa berpikir serta bertanya, mengapa harus dikerjakan hanya pada waktu nya saja?, apa yang melatar belakangi pemabgian waktu tersebut?, siapa yang membuat peraturan tersebut?, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang mungkin dapat dilontarkan.

Berdasarkan ajaran agama Islam sebagai agama rahmatan lil alamin mengajarkan kepada pemeluknya untuk menggunakan akal sebagai salah satu pondasi keimanan. Hal itu terlihat dalam riwayat Nabi Ibrahim ketika ingin mencari Tuhannya yang terdapat dalam surat Al An’am ayat 74-78. Di sisi yang lain, Nabi Muhammad Saw. memerintahkan kaumnya untuk menggunakan akal dalam beragama. Hal ini sesuai dengan sabdanya yang bermakna: “tidak beragama orang yang tidak berakal”. Sabda Nabi itu menunjukkankan bahwa Islam adalah agama fitrah yang dibangun tidak hanya berdasarkan peranan wahyu belaka, melainkan terpakainya fungsi akal yang membuat pengikutnya dapat menyakini kebenaran Islam itu sendiri.

Islam mengajarkan para umatnya untuk memahami agamanya dengan pemahaman hasil olah pikirnya. Perkataan Rasul ini rupanya kurang diresapi oleh pemikiran Hasan khususnya dan para umat Islam pada umumnya. Lemahnya tradisi berpikir umat Islam acap kali membuat para kaum agama Islam mudah di ‘adu domba’ dengan orang lain, baik pengaruh dari agama selain Islam ataupun dari orang-orang yang beragama Islam itu sendiri. Perpecahan sering terjadi antara umat sesame Islam maupun tidak.

Belajar dari kisah Hasan yang diceritakan dalam novel “Atheis” ini, maka kita harus bisa memaknai lebih dalam agama yang dipercayai oleh kita saat ini. Sesuai dengan sabda Rasul di atas bahwa sebagai umat Islam harus menggunakan akal sebagai salah satu pondasi keimanan. Semoga dengan hal ini juga mampu memupukkan rasa keimanan kita menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, penulis merepresentasikan bahwa “segala hal bidang ilmu atau ideology-ideologi yang ada di dunia ini bagaikan ‘pisau tajam’ yang dapat menusuk bahkan membunuh diri sendiri jika salah digunakan”.

Ikuti tulisan menarik Desy Tri Wulandari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler