x

ilustr: NPR

Iklan

Desy Tri Wulandari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 Desember 2021

Selasa, 21 Desember 2021 09:52 WIB

Kesinambungan Makna Standardisasi Kecantikan Wanita dengan Puisi Menjenguk Wajah di Kolam Karya Sapardi Djoko Damono

mMnyangkal standardisasi kecantikan perempuan dengan memaknai puisi Menjenguk Wajah di Kolam karya Sapardi Djoko Damono.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Cantik, merupakan cita-cita setiap perempuan. Mereka berlomba-lomba untuk dapat memiliki predikat cantik untuk dirinya. Bahkan ada beberapa perempuan yang rela merubah diirnya secara drastic, hingga ‘meronggoh kocek’ yang fantasitis demi satu kata enam huruf tersebut, yakni ‘cantik’.

Berbicara perihal cantik, Eyang Sapardi Djoko Damono melahirkan sebuah puisi yang berjudul “Menjenguk Wajah di Kolam”, puisi ini terdapat dalam buku karya beliau dengan judul “Perihal Gendis”. Berikut puisi “Menjenguk Wajah di Kolam”.

Menjenguk Wajah di Kolam

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jangan kau ulang lagi menjenguk
wajah yang merasa sia-sia, yang putih
yang pasi itu.

Jangan sekali-kali membayangkan
Wajahmu sebagai rembulan.

Ingat, jangan sekali-kali. Jangan.

Baik, Tuan.”

Puisi singkat namun memiliki makna yang dalam. Jika ditafsirkan secara sederhana bahwa puisi di atas memberikan pesan kepada para pendengar atau pembacanya terutama bagi kaum perempuan. Apabila diberikan wajah yang sempurna, cantik dan indah dipandang, maka hal ini tidak boleh membuat kita sebagai perempuan menjadi besar kepala. Makna ini dicitrakan dengan larik kolam yang terdapat pada judul tersebut. Ketika kita melihat ke kolam maka bayangan wajah kita menjadi bias atau tidak nyata.

Pada bait kedua tertulis larik jangan sekali-kali membayangkan wajahmu sebagai rembulan. Penulis memiliki persepsi bahwa larik ini bermakna, untuk berhenti berkhayal menjadi si ‘dia’ yang kalian anggap lebih mempesona. Bahkan jangan sampai berpikir untuk merubah apa yang sudah Tuhan berikan hanya untuk mendapatkan kepuasan yang semu.

Selain itu jika kita lihat, di dalam puisi tersebut banyak terdapat larik-larik yang bermakna imperatif (perintah) sebagai suatu upaya penekanan serta peringatan dari penulis kepada para pembaca puisi atau pendegar puisi ini untu tidak melakukan hal yang ditujukkan dalam puisi ini, yaitu untuk tidak sombong dan selalu bersyukur atas wajah yang sudah diciptakan oleh Tuhan kepada diri kita.

Hal ini secara tidak langsung menyadarkan kita untuk berpikir bahwa yang sebenar-benarnya sempurna hanyalah Tuhan yang kita percaya. Tuhan yang Maha Sempurna dan Maha Agung. Dalam puisi ini kita diajak untuk selalu bersyukur dengan wajah yang sudah diberikan Tuhan sudah kepada kita. Karena apa pun yang sudah diciptakan oleh Nya maka itulah yang terbaik untuk diri kita sendiri.

Sangkal lah segala hal yang katanya menjadi standardisasi kecantikan. Perempuan harus berkulit putih, cantik, tidak memiliki luka, berbadan langsing, bertubuh tinggi dan sebagainya. Karena itu semua tidak benar, semua perempuan istimewa tidak hanya cantik. Mau berkulit hitam, kuning langsat, putih, berhidung mancung atau pesek, berbadan gendut atau kurus kita adalah perempuan yang cantik dan istimewa bagaimanapun bentuknya.

 

Ikuti tulisan menarik Desy Tri Wulandari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler