x

Ilustrasi dinasti oligarki. Sumber foto: jejakrekam.co.id

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 29 Desember 2021 06:43 WIB

Kursi Wamen Bikin Kabinet Makin Tambun

Mengapa begitu banyak wamen di kabinet sekarang, padahal di kabinet periode pertama Jokowi hanya ada tiga wamen? Apakah ini menandakan bahwa saat ini para menteri kewalahan dalam menangani tugas-tugasnya? Ataukah kursi wamen itu untuk mengakomodasi para pendukung yang belum memperoleh tempat?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dulu, bahkan di masa kampanye pilpres 2014, Presiden Jokowi menjanjikan kabinet yang ramping bila terpilih, tapi penambahan kursi wakil menteri kelihatannya menjauhi janji itu. Namanya juga janji, tidak selalu bisa ditepati karena satu dan lain alasan. Harap dimaklumi.

Bahkan, dulu juga, ada politisi yang juga akademisi bilang bahwa yang salah itu orang yang berharap bahwa kabinet ramping akan terwujud. “Mana mungkin?” kata profesor ini. Masih menurut profesor ini, dari sudut logika politik, kabinet yang tidak ramping itu wajar. Ia memakai istilah ‘logika politik’, karena pembentukan kabinet itu merupakan proses dari tarik-menarik kepentingan politik yang melibatkan partai politik, elite partai, maupun elite lain yang mendukung pencalonan dan terpilihnya seorang presiden. Logikanya: kalau pendukungnya banyak, sebagai konsekuensinya kursi yang harus disediakan juga banyak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Orang yang berharap kabinet ramping akan terwujud justru melupakan logika itu, juga lupa bahwa itu janji—yang bisa  menjadi kenangan, yah mirip-mirip dua merek kopi. Mungkin pula, banyak orang lupa bahwa janji itu diucapkan oleh orang yang dapat berubah pikiran antara sebelum terpilih dan setelah terpilih. Ketika para pendukung, secara politis maupun finansial, mulai mengajukan permintaan ini dan itu, mungkin saja presiden terpilih tidak selalu mampu menolaknya. Ia goyah, sehingga menampung permintaan itu, termasuk barangkali kursi di kabinet—jika bukan menteri, setidaknya wakil menteri. Lagi-lagi, harap dimaklumi.

Penetapan adanya kursi wakil menteri [wamen] sosial berlangsung ketika kabinet telah separo jalan. Sebelumnya, pada tahun 2021 ini, telah diterbitkan sejumlah peraturan mengenai jabatan wakil menteri, di antaranya wamen PAN-RB, wamen Dikbudrisettek, wamen Investasi, wamen Perencanaan Pembangunan Nasional, dan wamen Energi dan SDM. Sejauh ini kursi-kursi tersebut masih belum terisi. Yang juga belum terisi ialah wamen Ketenagakerjaan, wamen Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, serta wamen Perindustrian. Hingga kini sudah 15 posisi wamen yang terisi.

Bila kosong karena tidak dibutuhkan, mengapa dibuat struktur dan peraturannya? Apakah langkah ini ditempuh untuk mengantisipasi bila sewaktu-waktu perlu mengakomodasi keinginan pihak tertentu untuk sebuah jabatan dan bukan karena kebutuhan untuk perbaikan kinerja kementerian?

Soalnya ialah mengapa begitu banyak wamen di kabinet sekarang, padahal di kabinet sebelumnya pada periode pertama hanya ada tiga wamen? Apakah ini menandakan bahwa saat ini para menteri kewalahan dalam menangani tugas-tugasnya? Tapi, bukankah sudah ada pejabat di bawah menteri, seperti dirjen, yang mengelola implementasi kebijakan menteri? Tidakkah para pembantu menteri itu cukup meringankan tugas menteri?

Ataukah karena ada alasan lain yang mungkin lebih masuk akal, yaitu mengikuti logika politik bahwa masih ada pendukung yang belum memperoleh kursi. Misalnya saja, yang terbaru adalah dukungan Partai Amanat Nasional [PAN] yang mungkin—meminta atau tidak—dipandang perlu diakomodasi secara formal di pemerintahan. Bila benar demikian, efisiensi dikorbankan demi mengakomodasi kepentingan politik yang telah memberi dukungan.

Masalahnya kemudian, apakah para wamen itu memberi kontribusi signifikan pada perbaikan kinerja kementerian? Apakah orang yang menduduki kursi wamen memang memiliki kualifikasi, kompetensi, kapasitas, serta karakter yang dibutuhkan untuk mendukung kerja menteri?  Persoalan siapa yang duduk di kursi wamen penting benar untuk jadi pertimbangan. Jangan sampai seperti beberapa waktu lalu ada wamen yang bermain medsos layaknya relawan dan hingga kini tidak terdengar kabarnya mengenai apa yang sudah ia kontribusikan sesuai jabatannya. Barangkali karena ia sebelumnya memang relawan, tapi tidak menyadari ataupun memahami bahwa ia kini menjabat sebagai wamen.

Yang tak boleh dilupakan, pengisian setiap satu kursi wamen akan membawa konsekuensi bertambahnya pengeluaran negara untuk mendukung wamen menjalankan tugasnya. Di saat utang negara terus bertambah, penambahan kursi wamen akan menambah beban pula. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler